Kartago Kuno
Kartago Kuno adalah
peradaban yang berpusat di negara kota Kartago, yang terletak di Afrika Utara
di Teluk Tunis, yang sekarang adalah Tunisia. Peradaban tersebut didirakan pada
tahun 814 SM. Semula jajahan Tirus, Kartago meraih kemerdekaannya sekitar tahun
650 SM dan mendirikan hegemoni di pemukiman Fenisia yang lain di seluruh Afrika
Utara yang sekarang bernama Spanyol yang berlangsung hingga tahun 146 SM. Pada
masa keemasan kota tersebut, pengaruhnya hingga ke sebagian besar Mediterania
barat.
Kartago terus menerus
berada dalam situasi perlawanan dengan Republik Romawi, yang menyebabkan
serangkaian konflik yang dikenal sebagai Perang Punisia, Kartago hancur dan
kemudian diduduki oleh pasukan Romawi. Hampir semua negara kota Fenisia lain
dan yang dulunya merupakan jajahan Kartago jatuh ke tangan Romawi mulai saat
itu.
Perluasan Pemukiman Fenisia.
Untuk menyediakan
tempat peristirahatan bagi armada kapal pedagang, untuk mempertahankan monopoli
Fenisia di sumber daya alam daerah, atau untuk melakukan perdagangannya
sendiri, warga Fenisia mendirikan kota-kota kolonial di sepanjang pantai
Mediterania. Mereka dirangsang untuk mendirikan kota-kota mereka oleh kebutuhan
untuk revitalisasi perdagangan untuk membayar upeti kepada Tirus, Sidon, dan Byblos
oleh suksesi kerajaan yang memerintah mereka dan oleh karena rasa takut
terhadap kolonisasi Yunani di bagian Mediterania tersebut yang cocok untuk
perdagangan. Warga Fenisia kekurangan populasi atau keperluan untuk mendirikan
kota-kota mandiri di luar, dan kebanyakan kota memiliki penduduk kurang dari
seribu, tapi Kartago dan beberapa kota lainnya berkembang menjadi kota-kota
besar.
Kurang lebih 300
koloni didirikan di Tunisia, Maroko, Aljazair, Iberia, dan dengan tingkat lebih
rendah di pantai kering Libia. Warga Fenisia mengendalikan Siprus, Sardinia,
Korsika, dan Kepulauan Balearik, serta sedikit harta benda di Pulau Kreta dan
Sisilia. Pemukiman berikutnya berada dalam konfilik terus menerus dengan
Yunani. Warga Fenisia berhasil mengendalikan semua wilayah Sisilia untuk
beberapa waktu. Seluruh wilayah kemudian berada di bawah kepemimpinan dan
perlindungan Kartago, yang pada gilirannya mengutus orang-orangnya untuk
membangun kota-kota baru atau untuk memperkuat pihak yang menolak Tirus dan
Sidon.
Koloni pertama
didirikan pada dua jalur ke sumber mineral Iberia, sepanjang pantai Afrika
Utara dan di Sisilia, Sardinia dan Kepulauan Balearik. Pusat dunia warga
Fenisia adalah Tirus, yang berfungsi sebagai pusat ekonomi dan politik.
Kekuatan kota ini berkurang setelah banyak pengepungan dan akhirnya dihancurkan
oleh Alexander Agung, dan peran sebagai pemimpin diberikan ke Sidon, dan
akhirnya ke Kartago. Setiap koloni membayar upeti baik kepada Tirus atau Sidon,
tapi tak satupun yang memiliki kendali sebenarnya terhadap koloni-koloni. Hal
ini berubah dengan munculnya Kartago, karena warga Kartago menunjuk pembesarnya
sendiri untuk memerintah kota-kota dan Kartago memperoleh banyak kontrol
langsung atas koloni-koloni. Kebijakan ini mengakibatkan sejumlah kota Iberia
berpihak pada Roma selama Perang Punisia.
Perjanjian dengan Roma.
Pada tahun 509 SM,
sebuah perjanjian ditandatangani antara Kartago dan Roma, menunjukkan suatu
pembagian pengaruh dan kegiatan perdagangan. Ini merupakan sumber pertama yang
menunjukkan bahwa Kartago telah mendapatkan kendali atas Sisilia dan Sardinia.
Pada awal abad ke-5
SM, Kartago telah menjadi pusat perdagangan wilayah Mediterania Barat, posisi
itu ditahan sampai kemudian digulingkan oleh Republik Romawi. Kota tersebut
telah menaklukkan sebagian besar koloni lama Fenesia, seperti Hadrumetum,
Utica, dan Kerkouane, menaklukkan suku-suku Libia (warga Numidia dan Kerajaan
Mauretania menjadi lebih atau kurang merdeka), dan mengendalikan seluruh pantai
Afrika Utara dari Maroko modern ke perbatasan Mesir (tidak termasuk Cyrenaica,
yang akhirnya dimasukkan ke dalam Helenistik Mesir). Pengaruhnya juga telah
diperluas ke Mediterania, mengambil alih Sardinia, Malta, Kepulauan Balearik,
dan setengah bagian barat Sisilia, di mana benteng pesisir seperti Motya atau
Lilybaeum menyimpan hartanya. Koloni-koloni penting juga telah didirikan di
semenanjung Iberia. Pengaruh budaya mereka di Semenanjung Iberia
didokumentasikan, tapi tingkat pengaruh politik mereka sebelum penaklukan oleh
Hamilcar Barca masih diperdebatkan.
Perang Sisilia Pertama.
Keberhasilan ekonomi
Kartago, dan ketergantungannya pada proses pengiriman untuk melakukan sebagian
besar perdagangan, menyebabkan terbentuknya angkatan laut Kartago yang kuat.
Hal ini ditambah lagi dengan keberhasilan dan hegemoninya yang berkembang,
membawa Kartago ke peningkatan konflik dengan orang-orang Yunani dari Syracuse,
yang merupakan kekuatan besar lainnya yang bersaing untuk mengendalikan
Mediterania pusat.
Pulau Sisilia, yang
terletak di depan pintu Kartago, menjadi arena di mana konflik ini dimainkan.
Dari awalnya, baik Yunani maupun Fenisia telah tertarik pada pulau besar
tersebut, mereka mendirikan sejumlah besar koloni dan pos perdagangan di
sepanjang pantainya, pertempuran telah terjadi di antara kedua pemukiman ini
selama berabad-abad.
Pada tahun 480 SM,
Gelo, pemimpin tiran dari Syracuse Yunani, didukung sebagian oleh negara kota
Yunani lain, berusaha untuk menyatukan pulau ini di bawah pemerintahannya.
Ancaman ini tidak dapat diabaikan, dan Kartago, mungkin sebagai bagian dari
aliansi dengan Persia, kemudian terlibat kekuatan militer, di bawah
kepemimpinan jendral Hamilcar. Hamilcar memiliki tiga ratus ribu orang, meski
hampir berlebihan, seharusnya merupakan kekuatan tangguh.
Namun, pasukan
Hamilcar berkurang (mungkin banyak) dalam perjalanan ke Sisilia karena cuaca
buruk. Mendarat di Panormus (sekarang Palermo), Hamilcar menghabiskan 3 hari
untuk reorganisasi paukan dan memperbaiki armadanya. Warga Kartago berbaris di
sepanjang pantai ke Himera, dan berkemah sebelum terlibat dalam Pertempuran
Himera. Hamilcar entah tewas dalam pertempuran atau bunuh diri karena malu.
Akibatnya bangsawan menegosiasikan perdamaian dan menggantikan monarki lama
dengan republik.
Perang Sisilia Kedua.
Pada tahun 410 SM,
Kartago telah pulih setelah kekalahan serius. Ia telah menaklukkan sebagian
besar wilayah Tunisia modern, memperkuat dan mendirikan koloni baru di Afrika
Utara. Walaupun pada tahun itu koloni Iberia memisahkan diri, yang memotong
suplai utama perak dan tembaga Kargo, Hannibal Mago, cucu dari Hamilcar,
memulai persiapan untuk merebut kembali Sisilia, sementara ekspedisi itu juga
dipimpin ke Maroko dan Senegal, juga ke Atlantik.
Pada tahun 409 SM,
Hannibal Mago berangkat ke Sisilia dengan kekuatannya. Dia berhasil menguasai
kota-kota kecil Selinus (Selinunte modern) dan Himera sebelum kembali ke
Kartago penuh kemenangan dengan rampasan perang. Akan tetapi musuh utamanya
Syracuse tetap tak tersentuh, dan pada tahun 405 SM, Hanibal Mago memimpin ekspedisi
Kartego kedua untuk mengklaim seluruh pulau. Namun kali ini ia bertemu dengan
perlawanan sengit dan ketidakberuntungan. Selama pengepungan Agrigentum,
pasukan Kartago dilanda wabah, Hannibal Mago sendiri mengalah untuk itu.
Meskipun penggantinya, Himilco, berhasil memperpanjang operasi militer dengan
menghancurkan pengepungan Yunani, menguasai kota Gela dan berulang kali
mengalahkan tentara Dionysius yang merupakan tiran baru Syracuse, dia juga
dilemahkan oleh wabah dan dipaksa untuk memohon perdamaian sebelum kembali ke
Kartago.
Pada tahun 398 SM,
Dionysius telah memperoleh kembali kekuatannya dan melanggar perjanjian damai,
menyerang kubu Kartago di Motya. Himilco menjawab tegas, memimpin sebuah
ekspedisi yang tak hanya mengklaim kembali Motya, tapi juga menguasai Messina.
Akhirnya, ia mengepung Syracuse itu sendiri. Pengepungan itu hampir berhasil
sepanjang tahun 397 SM, tapi pada 396 SM lagi-lagi wabah melanda pasukan
Kartago, dan mereka runtuh.
Sisilia setelah itu
telah menjadi obsesi bagi Kartago. Selama 60 tahun berikutnya pasukan Kartago
dan Yunani terlibat dalam serangkaian pertempuran terus menerus. Pada tahun 340
SM, Kartago telah sepenuhnya ditekan hingga ke sudut barat daya pulau itu, dan
perdamaian yang tak tenang memerintah atas pulau itu.
Perang Sisilia Ketiga.
Pada tahun 315 SM,
Agathocles, (gubernur administrasi) sang tiran dari Syracuse, merebut kota
Messene (sekarang Messina). Pada tahun 311 SM ia menyerbu kepemilikan terakhir
Kartago di Sisilia, melanggar persyaratan perjanjian damai saat itu, dan mengepung
Akragas.
Hamilcar, Cucu dari
Hanno sang Pelaut, memimpin respon warga Kartago dan menemukan kesuksesan yang
sangat besar. Pada tahun 310 SM, ia menguasai hampir seluruh Sisilia dan telah
mengepung Syracuse itu sendiri. Dalam keputusasaan, Agathocles diam-diam
memimpin ekspedisi 14.000 orang ke daratan, berharap untuk menyelamatkan
pemerintahannya dengan memimpin serangan balik ke Kartago itu sendiri. Dalam
hal ini ia berhasil. Kartago dipaksa untuk memanggil Hamilcar dan sebagian
besar pasukannya dari Sisilia untuk menghadapi ancaman baru dan tak terduga.
Meskipun tentara Agathocles akhirnya dikalahkan pada tahun 307 SM, Agathocles
sendiri lolos kembali ke Sisilia dan mampu menegosiasikan perdamaian yang
menjaga Syracuse sebagai benteng kekuasaan Yunani di Sisilia.
Perang Pyrrhic.
Antara tahun 280 dan
275 SM, Pyrrhus dari Epirus melancarkan dua operasi militer besar di
Mediterania barat, yaitu satu melawan kekuatan yang muncul dari Republik Romawi
di Italia selatan, dan satunya lagi terhadap Kartago di Sisilia.
Pyrrhus mengirim
sebuah pengawalan depan ke Tarentium di bawah komando Cineaus dengan 3.000
infanteri. Pyrrhus membariskan pasukan utama di semenanjung Yunani dan terlibat
dalam pertempuran dengan Tesalia dan tentara Athena. Setelah sukses awal
gerakan tersebut Pyrrhus memasuki Tarentium untuk bergabung kembali bersama
pengawalan depannya.
Di tengah operasi
militer Italia-nya, Pyrrhus menerima utusan dari kota-kota Sisilia di
Agrigentum, Syracuse, dan Leontini, meminta bantuan militer untuk menghapus
dominasi Kartago atas pulau itu. Pyrrhus setuju, dan membentengi kota-kota
Sisilia dengan tentara yang terdiri dari 20.000 infanteri dan 3.000 kavaleri
dan 20 Gajah Perang, didukung oleh sekitar 200 kapal. Awalnya, operasi militer
Pyrrhus di Sisilia melawan Kartago sukses, mendorong kembali pasukan Kartago,
dan menguasai benteng kota Eryx, meskipun ia tidak mampu menangkap Lilybaeum.
Menindaklanjuti
kekalahan ini, Kartago memohon perdamaian, tapi Pyrrhus menolak kecuali Kartago
bersedia melepaskan sepenuhnya klaim terhadap Sisilia. Menurut Plutarch,
Pyrrhus mengarahkan pandangan untuk menaklukkan Kartago itu sendiri, dan untuk
tujuan ini, mulai merencanakan ekspedisi. Namun, perlakuan kejamnya pada
kota-kota Sisilia dalam persiapannya untuk ekspedisi ini, dan eksekusinya
terhadap dua penguasa Sisilia yang dia klaim telah berkomplot melawan dia,
menyebabkan munculnya kebencian terhadap orang Yunani, sehingga Pyrrhus menarik
diri dari Sisilia dan kembali untuk menangani peristiwa yang terjadi di Italia
selatan.
Operasi militer
Pyrrhus di Italia tidak meyakinkan, dan Pyrrhus akhirnya mundur ke Epirus. Bagi
Kartago, ini berarti kembali ke status quo. Namun bagi Roma, kegagalan Pyrrhus
untuk mempertahankan koloni di Magna Graecia berarti bahwa Roma menyerap mereka
ke dalam lingkaran pengaruhnya, membawa lebih dekat ke dominasi utuh
semenanjung Italia. Dominasi Roma akan Italia dan bukti bahwa Roma dapat
mengadu kekuatan militernya dengan sukses melawan kekuatan internasional, akan
membuka jalan ke konflik Roma dan Kartago di kemudian hari dalam Perang
Punisia.
Perang Punisia.
Ketika Agathocles
meninggal pada tahun 288 SM, sebuah kompi besar tentara bayaran Italia yang
sebelumnya bekerja padanya, tiba-tiba tidak lagi memiliki pekerjaan. Daripada
meninggalkan Sisilia, mereka merebut kota Messana. Menamakan diri Mamertines
(anak-anak Mars), mereka menjadi hukum bagi diri mereka sendiri, meneror daerah
sekitarnya.
Mamertines menjadi
ancaman bagi Kartago dan juga Syracuse. Pada tahun 265 SM, Hiero II, mantan
jendral Pyrrhus dan tiran baru Syracuse, mengambil tindakan terhadap mereka.
Dihadapkan pada kekuatan yang jauh lebih unggul, Mamertines terbagi menjadi dua
faksi, satu meminta penyerahan kepada Kartago, yang lain lebih memilih untuk mencari
bantuan dari Roma. Sementara Senat Romawi memperdebatkan
tindakan yang terbaik, warga Kartago dengan penuh semangat setuju untuk
mengirim garnisun ke Messana. Sebuah garnisun Kartago diijinkan masuk ke kota
itu, dan armada Kartago berlayar ke pelabuhan Messanan. Namun, tak lama
kemudian mereka mulai melakukan negosiasi dengan Hiero. Khawatir, Mamertines
mengutus duta lain ke Roma meminta mereka untuk mengusir warga Kartago
tersebut.
Intervensi Hiero telah
menempatkan pasukan militer Kartago secara langsung ke saluran air sempit yang
memisahkan Sisilia dari Italia. Selain itu, kehadiran armada Kartago memberi
mereka kendali efektif atas saluran ini, Selat Messina, dan menunjukkan bahaya
jelas ke Roma yang berjarak dekat dan kepentingannya.
Sebagai hasilnya,
Majelis Romawi meskipun enggan untuk bersekutu dengan sekelompok tentara
bayaran, mengirim pasukan ekspedisi untuk mengembalikan kendali Messana ke
Mamertines.
Serangan Romawi pada
pasukan Kartago di Messana memicu Perang Punisia pertama. Selama abad
berikutnya, ketiga konflik besar abtara Roma dan Kartago akan menentukan
jalannya peradaban Barat. Perang-perang tersebut termasuk invasi Kartago yang
dipimpin Hannibal, yang hampir mencegah munculnya Kekaisaran Romawi.
Dalam tahun 266/265 SM
bangsa Romawi, di bawah komando Regulus, mendarat di Afrika dan setelah
mengalami beberapa kekalahan awal, pasukan Kartago akhirnya memukul mundur
invasi Romawi.
Tak lama setelah
Perang Punisia Pertama, Kartago menghadapi pemberontakan besar tentara bayaran,
yang mengubah lanskap politik internal Kartago (membawa keluarga Barcid ke
ketenaran), dan mempengaruhi kedudukan internasional Kartago, ketika Roma
menggunakan peristiwa perang tersebut untuk mendasarkan klaim bahwa mereka
merebut Sardinia dan Korsika.
No comments:
Post a Comment