Thursday 26 March 2015

METODOLOGI PENULISAN SEJARAH AGAMA DAN PENDEKATANNYA DENGAN BERBAGAI ILMU

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Sejarah
            Kaidah pertama sejarah itu fakta, perbedaan pokok antara sejarah dengan fiksi ialah sejarah  menyughkan fakta, sedangkan fiksi menyuguhkan khayalan, imajinasi atau fantasi. Buku-buku otobiografi bukan fiksi tetapi berisi fakta, bila kita dapat menyisihkan imajinasi, persepsi, pembelaan dan kesimpulan pengarangnya. Adapun terhadap kronik, hikayat, sejarah, syair dan babad yang kebanyakan ditulis  jauh sesudah kejadian, harus diterapkan prosedur standar dari kritik sejarah. Kaidah kedua sejarah itu diakronis, ideografis  dan unik, sejarah itu diakronis, sedangkan ilmu sosial itu sinkronis. Artinya sejaarh itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu sosial meluas dalam ruang.
            Sejarah berusaha melihat segala sesuatu dari sudut rentaang waktu, artinyya melihat perubahan, kesinambungan, ketertinggalan dan loncatan-loncatan. Sementara itu ilmu sosial bersifat sinkronis, artinya meluas dalam ruang, ruangnya luas tapi waktunya pendek. Pada awal abad ke 20 di Amerika sudah berkembang The New History yang menganjurkan pemakaian penemuan ilmu-ilmu sosial untuk penelitian sejarah. Di Indonesia metodologi itu berkembang pada akhir 1960-an, pelopornya adalah Sartono Kartodirdjo, maka dalampenelitain sejarah di Indonesia sekarang ini kedua pendekatan itu diakronis dan sinkronis digabung.
            Sejarah itu juga ideografis artinya melukiskan (menggambarkan, memaparkan, memceritakan) saja.  Ilmu sosial itu (dalam bahasa Yunani nomos berarti hukum) artinya berusaha mengemukakan hukum-hukum. Misalnya sama-sama menulis sebuah revolusi secara mendetail sampai hal-hal kecil. Sebaliknya ilmu sosial akan menyelidiki revolusi-revolusi dan berusaha mencari hukum-hukum yang umum berlaku dalam semua revolusi. Karenanya sejarah itu bersifat unik, sedangkan ilmu sosial itu generic. Penelitian sejarah akan mencari hal-hal yang unik, khas hanya berlaku pada sesuatu, di situ dan waktu itu (untuk itulah sejarah juga di sebut sebagai ilmu yang idiografis), sejarah menulis hal-hal yang tunggal dan hanya sekali saja terjadi.
            Jika diakronis dan sinkronis sudah bergabung, maka sejarah akan menjadi konsumen teori sosial, sementara itu unsur-unsur ideografis dan unik masih tetap. Dalam ilmu sosial pendekatan sosila selalu ada, seperti dalam penelitian politik, sosial atau ekonomi. Selebihnya akhir-akhir ini ada kecenderungan sejarah yang narrative, sehingga sejarah mirip dengan novel. Kaidah ketiga sejarah itu empiris, inilah yang membedakan sejarah dengan ilmu agama. Sejarah itu empiris, ilmu agam itu normative. Empiris berasal dari kata yunani empera artinya pengalaman, maka sejarah itu empiris sebab sejarah bersandar pada pengalaman manusia yang sungguh-sungguh. Ilmu agama itu normatif tidak berarti tidak ada unsur empirisnya, hanya saja yang normatiflah yang menjadi rujukan. Sejarah itu murni empiris berdasarkan fakta tidak berdasarkan hukum-hukum (baik normative, ilmiah atau konstitusional), tanpa empiris, pengalaman dan fakta sejarawan tidak bisa bicara.

B.  Sejarah Agama
            Penelitian tentang dari spekulatif ilmu-ilmu umum berbeda denga penelitian agama dari sudut pandang ilmu-ilmu agama, bedanya ialah ilmu-ilmu melihat agama dari sudut empirisnya, sedangkan ilmu-ilmu agama melihat dari segi normatifnya. Semua ahli ilmu sosial mempunyai definisi  sendiri tentang agama, sesuai dengan displin ilmunya. R.N Bellah memberikan definisi agama sebagai berikut “a set of symbolic forms and acts which relate man to the ultimate condition of this existence”. Definisi ini sangat berwarna antropologi simbolis yang tentu saja berbeda dengan definisi-definisi ilmu sosial lain dan agama-agama mengenai agamanya sendiri serta agama lain.
            Dengan definisi iyu, aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pastilah termasuk agama, padahal dalam praktik pemerintahan di Indonesia dianggap sebagai kebudayaan dan berada dibawah Direktorat Jendral Kebudayaan. Sementara itu, isntitusional terutama Islam, juga tidak mengakuinya sebagai agama. Banyak masalah agama yang sulit disentuh mahasiswa yang berasal dari ilmu-ilmu empiris, mahasiswa yang berasal dari ilmu-ilmu empiris hanya peka pada satu dimensi agama yaitu dimensi konsekuensi sosial. Padahal dimensi agama adal lima hal yaitu keyakinan (belief system), praktik keagamaan , pengetahuan keagamaan, pengalaman keagamaan dan konsekuensi sosial. Jadi mereka yang berasal dari ilmu-ilmu agama mempunyai keunggulan komparatif 5:1, disbanding mereka yang berasal dari ilmu-ilmu umum.
            Pengalaman keagamaan yang sering dianggap sebagai dimensi terpenting dari agama dalam sosiologi dan antropologi agama akan disebut sebagai mistisisme. Mistisisme (sufisme, tarekat) yang menyangkut juga sosial keyakinan, praktik dan pengetahuan hanya dapat dikerjakan oleh mereka yang berasal dari ilmu-ilmu agama. Mereka yang berasal dari ilmu-ilmu umum paling-paling hanya dapat mencapai aspek sejarah, institusionalisasi, jaringan dan pengaruh timbal-baliknya dengan masyarakat.

·      Model-Model Pendekatan
            Sejarah kontemporer mudah melihatnya, untuk peristiwa penting berita-berita ada di Koran-koran, sumber lisan melimpah, foto-foto masih tersedia dan orang pun dengan senang bersedia membuka dokumentasi pribadi.
            Pendekatan Sejarah Politik. Dari semua pendekatan model inilah yang paling mudah dijangkau sebab peristiwanya ada di permukaan, sumbernya mudah dicari dan dari segi publisitas juga paling populer.
            Pendekatan Sejarah Ekonomi. Kita belum menemukan tulisan sejarah yang menghubungkan anatara agama dan ekonomi, padahal hipotesisnya jelas. Clifford Gertz juga seorang antropologi dalam “Peddlers and Princes: Social Changes and modernization in Two Indonesian Towns”, mengatakan bahwa di Mojokuto (Pare, Kediri) para pedagang reformislah yang mengubah ekonomi bazaar ke ekonomi firam. Jika  kesimpulan itu benar maka ada hubungannya antara etika agama dan etika ekonomi. Dengan kata lain pada waktu industrialisasi awal dengan ekonomi komersial dan manufakur serta sekarang urban sederhana, mereka bisa berada di garis depan ekonomi, tetapi kedudukan itu telah digantikan kelompok lain dalam ekonomi industrilasasi dan masyarakat kota besar dan kota metropolitan. Dalam penelit
Ian sejarah harus memperhatikan perubahan-perubahan, untuk meneliti agama dari perspektif sejarah ekonomi, seorang sejarawan harus melihat korelasi anatar perubahan keagamaan masyarakat dengan perubahan ekonomi atau sebaliknya.
            Pendekatan Sejarah Sosial. Selain yang normatif agama adalah sebuah intstiusi sosial. Sebagai institusi sosial inilah agama jadi bahan kajian sejarah, banyak tema dan topik yang bisa dikerjakan, tetapi kuliah ini menekankan perlunya mengenai perubahan sosial. Ada dua model dalam perubahan sosial. Pertama, model evolusi sejarah umpamanya yaitu:
1.      Perubahan birokrasi: tradisional, kolonial dan nasional
2.      Perubahan kelas pemeluk: kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah
3.      Perubahan likasi: desa, kota dan metropolitan
4.      Perubahan pendidik
5.      an: pesantren, madrasah dan sekolah
Kedua modeal kekuatan sejarah , umpamanya yaitu:
1.      agama dan modrenisasi
2.      agama dan penetrasi agama lain
3.      agama dan pribadi kreatif
4.      agama dan masyarakat pasca industrial
            Contoh kongkret bagaimana penelitian telah dikerjakan dari model evolusi sejarah diambil perubahan pendidikan. Karel A. Steenbrink telah menulis pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern Kita tahu bahwa bentuk modern pendidikan agama itu tidak berjalan lurus, artinya ketiganya tidak mutually exclusive tetapi bercampur dan tidak merupakan proses yang bertahap tapi berdampingan. Namun model evolusi mempunyai kegunaan heuristic, memberikan ilham dan arahan,
            Pendekatan Sejarah Intelektual. Model ini mendekati sejarah agama dengan melihat pada perkembangan intelektulitasnya, dalam sejarah intelektual dikemukakan hasil pemikiran perorangan, berbeda dengan sejrah mentalitas yang mementingkan pemikiran kolektif. Agar supaya tidak hanya deskriptif tapi ada analisi, dalam sejarah intelektual perlu dikemukakan adanya korespondensi antar tokoh yaitu reaski atau pemikiran terdahulu. Jadi ada kesinambungan pemikiran, selain itu perlu dijelaskan latar belakang sosial dari pemikiran masing-masing.
            Tidak hany sejarah denga rentang waktu, tetapi studi kasus juga dapat menjadi sasaran penelitian sejarah intelektual, kita lihat bahwa sejarah intelektual tidak jauh dari jangkauan ilmu-ilmu agama. Denga bekal ilmu agama bagi mereka yng berasal dari displin ilmu-ilmu agama untuk mengatakan bahwa menulis topik sejarah itu jauh dari bekal yang sudah ada.
            Pendekatan Sejarah Kebudayaan. Kebudayaan adalah simbol, nilai dan perilakunya. Tugas sejarah kebudayaan, menurut Johan Huizinga dalam “The Task of Cultural History”, Men and Ideas: History, the Middle Ages, tehe Rennaissance, ialah mencari pola-pola kehidupan, kesenian, dan cara berfikir secara bersama-sama dari sutau zaman. Secara bersama-sama artinnya tidak terpisah satu dengna yang lainnya. Untuk keperluan itu harus dicari central concept yang dapat merangkai ketiganya.
            Kuliah ini menganjurkan untuk menekankan pola-pola kehidupan yaitu mitologi, mistisisme, upacara siklus kehidupan, upacar-upacara semi ritual, spinter group, busana muslim-muslimah, sekularisai dan privatisasi. Untuk empat gejla pertama (mitologi, mistisisme, upacara siklus kehidupan, upacara-upacara semi-ritual) dapat dimasukan dalam budaya pedesaan dan untuk empat gejala terakhir (spinter group, busana muslim-muslimah, sekularisasi dan privatisasi dimasukkan dalam budaya perkotaan, Contoh kajian mengenai mistisme yang baik adalah buku Martin von Bruinessen tentang tarekat, sekalipun buku mengenai mistisisme itu bukanlha karya sejarah tapi antropologi ada juga unsure sejarahnya  jadi agak komprehensif.
            Pendekatan Sejarah Kesenian. Buku-buku sejarah kesenian yang ada kebanyakan berupa buku teks zaman kejayaan Islam, juga hanya melukiskan seni (arsitektur, lukis, sastra) zama klasik. Pengetahuan kita tentang seni Islam sangat minimal, dapat dikatakan belum ada kajian tentang seni Islam modern di Indonesia. Padahal seni Islam merupakan living tradition yang banyak menarik perhatian orang, seniman Islam lahir dan berkembang, seni likus, musik dan sinetron maju pesat dan mendapatkan lahan yang subur. Tetapi kajian mengenai perkembangan itu tidak ada sama sekali, hampir semua buku adalah buku politik.
            Pendekatan Sejarah Mentalis. Sejarah mentalis, menurut arti kata “mentalitas” sebenarnya dapat mencakup banyak hal yaitu hal-hal yang termasuk dalam sejarah intelektual, sejarah sosial, sejarah kebudayaan, sejarah kesenian dan sejarah sensibilitas. Sangat pervasif, karena itu kita perlu definisi kerja, supaya pnelitian efektif. Michele Vovelle sejarawan Prancis dalam terjemahan Belanda “Mentaliteitsgeschiedenis: essays over leef-en beeldwereld”, mengemukakan tiga istilah pokok dalam sejarah mentalis yaitu pikiran kolektif (Ideologi, attitude), perasaan kolektif dan imajinasi kolektif, ketiganya dengan ketentuan sudah ada sociabilite (tersosialisasikan). Di sini tekanan ialah pada pikiran kolektif, sebab dua yang lain (perasaan kolektif, imajinasi kolektif) akan dimasukan dalam Sejarah Sensibiltas. Pikiran kolektif itu umpamanya ialah nasionalism, anti-feodalisme, kemerdekaaan, konsep negara dan demokrasi.
                Pendekatan Sejarah Senbilitas. Lucien      Febvre dalam A New Kind of History ( London: Harper Torchbook, 1973) mengatakan bahwa sejarah senbilitas ialah sejarah kandungan emosional manusia dalam suatu kurun. Sejarah senbilitas adalah bagian dari sejarah mentalitas atau sebagian spesibilitas adalah bagian dari sejarah mentalitas atau sebagai spesialisasinya. Maka supaya nyambung dengan sejarah mentalitas. Disini akan menunjuk pada perasaan kolektif. Setiap orang tahu bahwa antara tahun 1945-1950 ada perasaan kebencian kolektif dari umat terhadap kolonialisme Belanda, umat yang paling banyak menderita, dan umat juga di persangkakan paling banyak menumpahkan darah, tetapi itu hanya kenangan, buku-buku tentang revolusi tidak mencatat umat itu. Untunglah baru-baru ini terbit buku tentang Hizbullah-Sabilillah yaitu sejarah perjuangan Hizbullah Sabilillah Devisi Sunan Bonang ( Yayasan Bhakti Utama Surakarta).Dengan modal ketrampilan sejarah lisan,kita dapat meneliti sensibilitas umat pada Zaman Jepang Revolusi,1948,1966 dan 1998. Sejarah lisan sangat tergantung pada memori,memerlukan saksi mata yang masih hidup.
            Pendekatan Biografi, Psycho-history,Prosopografi.( Biografi dan otobiografi) menekankan pengalaman pribadi, proses “menjadi” dan karakter seorang tokoh. Sudah banyak biografi ditulis, kebanyakan mengenai tokoh politik dan dari sudut pandang politik. Bahkan banyak yang menyebutkan buku-bukunya sebagai biografi politik. Dari tokoh agama yang sudah ditulis biografinya ialah KH Hasyim Asy’ari, KH Walid Hasyim, dan KH Ahmad Dahlan. Semua tokoh besar dalam islam, sedangkan dari tokoh bisnis dan dermawan ada Haji Sulchan, Selebihnya adalah tokoh-tokoh Islam dalam politik.
            Pschohistory (sejarah kejiwaan)adalah panduan psikoanalisis dan sejarah. Pertama kali dimulai oleh Erik H. Erikson dengan Gandhi’s Truth dan Young Man Luther. Jejak Erikson, seorang neo-freudian, di Amerika diikuti di antaranya oleh Bruce Mazlish (in Search of Nixon: A Psychohistorical Inquiry| New York: Basic Books, Inc 1972) sebagai seorang neo-freudian ia berpendapat bahwa persaingan dengan saudara-saudaranya lah yang menjadi pendorong Nixon untuk sukses.
            Prosopography atau biografi kolektif, berasal dari bahasa Yunani proposan, artinya orang. Biografi kolektif belum berakar dalam historiografi Indonesia.Biografi kolektif dipakai untuk menunjukan bahwa suatukurun sejarah tertentu, melahirkan para tokoh yang mempunyai semangat yang sama. Dalam sejarah agama, biorafi kolektif dapat dipakai untuk menunjukan bahwa ada semangat yang sama pada para tokoh agama. Sebagai contoh dapat disebut buku terjemahan karya Ali Rahmena (ed), para perintis Zaman Baru Islam ( Bandung: Mizan, 1995). Meskipun buku itu tidak sengaja ditulis sebagai biografi kolektuig, tetapi buku itu dapat dipakai sebagai contoh. Dalam sejarah Indonesia dapat ditulis, misalnya biografi kolektif dari KH. Hasyim Asy’ri, KH Achmad Chatib dan KH. Nawawi Al-Bateni yang diprasangkakan semuanya pernah bertemu di Mekah.



No comments:

Post a Comment