BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sejarah
Kaidah
pertama sejarah itu fakta, perbedaan pokok antara sejarah dengan fiksi ialah
sejarah menyughkan fakta, sedangkan
fiksi menyuguhkan khayalan, imajinasi atau fantasi. Buku-buku otobiografi bukan
fiksi tetapi berisi fakta, bila kita dapat menyisihkan imajinasi, persepsi,
pembelaan dan kesimpulan pengarangnya. Adapun terhadap kronik, hikayat,
sejarah, syair dan babad yang kebanyakan ditulis jauh sesudah kejadian, harus diterapkan
prosedur standar dari kritik sejarah. Kaidah kedua sejarah itu diakronis,
ideografis dan unik, sejarah itu
diakronis, sedangkan ilmu sosial itu sinkronis. Artinya sejaarh itu memanjang
dalam waktu, sedangkan ilmu sosial meluas dalam ruang.
Sejarah
berusaha melihat segala sesuatu dari sudut rentaang waktu, artinyya melihat
perubahan, kesinambungan, ketertinggalan dan loncatan-loncatan. Sementara itu
ilmu sosial bersifat sinkronis, artinya meluas dalam ruang, ruangnya luas tapi
waktunya pendek. Pada awal abad ke 20 di Amerika sudah berkembang The New
History yang menganjurkan pemakaian penemuan ilmu-ilmu sosial untuk penelitian
sejarah. Di Indonesia metodologi itu berkembang pada akhir 1960-an, pelopornya
adalah Sartono Kartodirdjo, maka dalampenelitain sejarah di Indonesia sekarang
ini kedua pendekatan itu diakronis dan sinkronis digabung.
Sejarah
itu juga ideografis artinya melukiskan (menggambarkan, memaparkan,
memceritakan) saja. Ilmu sosial itu
(dalam bahasa Yunani nomos berarti hukum) artinya berusaha mengemukakan
hukum-hukum. Misalnya sama-sama menulis sebuah revolusi secara mendetail sampai
hal-hal kecil. Sebaliknya ilmu sosial akan menyelidiki revolusi-revolusi dan
berusaha mencari hukum-hukum yang umum berlaku dalam semua revolusi. Karenanya
sejarah itu bersifat unik, sedangkan ilmu sosial itu generic. Penelitian
sejarah akan mencari hal-hal yang unik, khas hanya berlaku pada sesuatu, di
situ dan waktu itu (untuk itulah sejarah juga di sebut sebagai ilmu yang
idiografis), sejarah menulis hal-hal yang tunggal dan hanya sekali saja
terjadi.
Jika
diakronis dan sinkronis sudah bergabung, maka sejarah akan menjadi konsumen
teori sosial, sementara itu unsur-unsur ideografis dan unik masih tetap. Dalam
ilmu sosial pendekatan sosila selalu ada, seperti dalam penelitian politik,
sosial atau ekonomi. Selebihnya akhir-akhir ini ada kecenderungan sejarah yang
narrative, sehingga sejarah mirip dengan novel. Kaidah ketiga sejarah itu
empiris, inilah yang membedakan sejarah dengan ilmu agama. Sejarah itu empiris,
ilmu agam itu normative. Empiris berasal dari kata yunani empera artinya
pengalaman, maka sejarah itu empiris sebab sejarah bersandar pada pengalaman
manusia yang sungguh-sungguh. Ilmu agama itu normatif tidak berarti tidak ada
unsur empirisnya, hanya saja yang normatiflah yang menjadi rujukan. Sejarah itu
murni empiris berdasarkan fakta tidak berdasarkan hukum-hukum (baik normative,
ilmiah atau konstitusional), tanpa empiris, pengalaman dan fakta sejarawan
tidak bisa bicara.
B. Sejarah Agama
Penelitian tentang dari spekulatif
ilmu-ilmu umum berbeda denga penelitian agama dari sudut pandang ilmu-ilmu
agama, bedanya ialah ilmu-ilmu melihat agama dari sudut empirisnya, sedangkan
ilmu-ilmu agama melihat dari segi normatifnya. Semua ahli ilmu sosial mempunyai
definisi sendiri tentang agama, sesuai
dengan displin ilmunya. R.N Bellah memberikan definisi agama sebagai berikut “a
set of symbolic forms and acts which relate man to the ultimate condition of
this existence”. Definisi ini sangat berwarna antropologi simbolis yang tentu
saja berbeda dengan definisi-definisi ilmu sosial lain dan agama-agama mengenai
agamanya sendiri serta agama lain.
Dengan definisi iyu, aliran
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pastilah termasuk agama, padahal dalam
praktik pemerintahan di Indonesia dianggap sebagai kebudayaan dan berada
dibawah Direktorat Jendral Kebudayaan. Sementara itu, isntitusional terutama
Islam, juga tidak mengakuinya sebagai agama. Banyak masalah agama yang sulit
disentuh mahasiswa yang berasal dari ilmu-ilmu empiris, mahasiswa yang berasal
dari ilmu-ilmu empiris hanya peka pada satu dimensi agama yaitu dimensi
konsekuensi sosial. Padahal dimensi agama adal lima hal yaitu keyakinan (belief
system), praktik keagamaan , pengetahuan keagamaan, pengalaman keagamaan dan
konsekuensi sosial. Jadi mereka yang berasal dari ilmu-ilmu agama mempunyai
keunggulan komparatif 5:1, disbanding mereka yang berasal dari ilmu-ilmu umum.
Pengalaman keagamaan yang sering
dianggap sebagai dimensi terpenting dari agama dalam sosiologi dan antropologi
agama akan disebut sebagai mistisisme. Mistisisme (sufisme, tarekat) yang
menyangkut juga sosial keyakinan, praktik dan pengetahuan hanya dapat
dikerjakan oleh mereka yang berasal dari ilmu-ilmu agama. Mereka yang berasal
dari ilmu-ilmu umum paling-paling hanya dapat mencapai aspek sejarah,
institusionalisasi, jaringan dan pengaruh timbal-baliknya dengan masyarakat.
·
Model-Model
Pendekatan
Sejarah kontemporer mudah
melihatnya, untuk peristiwa penting berita-berita ada di Koran-koran, sumber
lisan melimpah, foto-foto masih tersedia dan orang pun dengan senang bersedia
membuka dokumentasi pribadi.
Pendekatan
Sejarah Politik. Dari semua pendekatan model inilah yang paling mudah
dijangkau sebab peristiwanya ada di permukaan, sumbernya mudah dicari dan dari
segi publisitas juga paling populer.
Pendekatan
Sejarah Ekonomi. Kita belum menemukan tulisan sejarah yang menghubungkan
anatara agama dan ekonomi, padahal hipotesisnya jelas. Clifford Gertz juga
seorang antropologi dalam “Peddlers and Princes: Social Changes and
modernization in Two Indonesian Towns”, mengatakan bahwa di Mojokuto (Pare,
Kediri) para pedagang reformislah yang mengubah ekonomi bazaar ke ekonomi firam. Jika kesimpulan itu benar maka ada hubungannya
antara etika agama dan etika ekonomi. Dengan kata lain pada waktu
industrialisasi awal dengan ekonomi komersial dan manufakur serta sekarang
urban sederhana, mereka bisa berada di garis depan ekonomi, tetapi kedudukan
itu telah digantikan kelompok lain dalam ekonomi industrilasasi dan masyarakat
kota besar dan kota metropolitan. Dalam penelit
Ian sejarah
harus memperhatikan perubahan-perubahan, untuk meneliti agama dari perspektif
sejarah ekonomi, seorang sejarawan harus melihat korelasi anatar perubahan
keagamaan masyarakat dengan perubahan ekonomi atau sebaliknya.
Pendekatan Sejarah Sosial. Selain
yang normatif agama adalah sebuah intstiusi sosial. Sebagai institusi sosial
inilah agama jadi bahan kajian sejarah, banyak tema dan topik yang bisa
dikerjakan, tetapi kuliah ini menekankan perlunya mengenai perubahan sosial.
Ada dua model dalam perubahan sosial. Pertama, model evolusi sejarah umpamanya
yaitu:
1. Perubahan
birokrasi: tradisional, kolonial dan nasional
2. Perubahan
kelas pemeluk: kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah
3. Perubahan
likasi: desa, kota dan metropolitan
4. Perubahan
pendidik
5. an:
pesantren, madrasah dan sekolah
Kedua
modeal kekuatan sejarah , umpamanya yaitu:
1. agama
dan modrenisasi
2. agama
dan penetrasi agama lain
3. agama
dan pribadi kreatif
4. agama
dan masyarakat pasca industrial
Contoh kongkret bagaimana penelitian
telah dikerjakan dari model evolusi sejarah diambil perubahan pendidikan. Karel
A. Steenbrink telah menulis pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern Kita tahu bahwa bentuk modern pendidikan agama itu tidak
berjalan lurus, artinya ketiganya tidak mutually exclusive tetapi bercampur dan
tidak merupakan proses yang bertahap tapi berdampingan. Namun model evolusi
mempunyai kegunaan heuristic, memberikan ilham dan arahan,
Pendekatan
Sejarah Intelektual. Model ini mendekati sejarah agama dengan melihat pada
perkembangan intelektulitasnya, dalam sejarah intelektual dikemukakan hasil
pemikiran perorangan, berbeda dengan sejrah mentalitas yang mementingkan
pemikiran kolektif. Agar supaya tidak hanya deskriptif tapi ada analisi, dalam
sejarah intelektual perlu dikemukakan adanya korespondensi antar tokoh yaitu
reaski atau pemikiran terdahulu. Jadi ada kesinambungan pemikiran, selain itu perlu
dijelaskan latar belakang sosial dari pemikiran masing-masing.
Tidak hany sejarah denga rentang
waktu, tetapi studi kasus juga dapat menjadi sasaran penelitian sejarah
intelektual, kita lihat bahwa sejarah intelektual tidak jauh dari jangkauan
ilmu-ilmu agama. Denga bekal ilmu agama bagi mereka yng berasal dari displin
ilmu-ilmu agama untuk mengatakan bahwa menulis topik sejarah itu jauh dari
bekal yang sudah ada.
Pendekatan
Sejarah Kebudayaan. Kebudayaan adalah simbol, nilai dan perilakunya. Tugas
sejarah kebudayaan, menurut Johan Huizinga dalam “The Task of Cultural
History”, Men and Ideas: History, the Middle Ages, tehe Rennaissance, ialah
mencari pola-pola kehidupan, kesenian, dan cara berfikir secara bersama-sama
dari sutau zaman. Secara bersama-sama artinnya tidak terpisah satu dengna yang
lainnya. Untuk keperluan itu harus dicari central concept yang dapat merangkai
ketiganya.
Kuliah ini menganjurkan untuk
menekankan pola-pola kehidupan yaitu mitologi, mistisisme, upacara siklus
kehidupan, upacar-upacara semi ritual, spinter group, busana muslim-muslimah,
sekularisai dan privatisasi. Untuk empat gejla pertama (mitologi, mistisisme,
upacara siklus kehidupan, upacara-upacara semi-ritual) dapat dimasukan dalam
budaya pedesaan dan untuk empat gejala terakhir (spinter group, busana
muslim-muslimah, sekularisasi dan privatisasi dimasukkan dalam budaya
perkotaan, Contoh kajian mengenai mistisme yang baik adalah buku Martin von
Bruinessen tentang tarekat, sekalipun buku mengenai mistisisme itu bukanlha
karya sejarah tapi antropologi ada juga unsure sejarahnya jadi agak komprehensif.
Pendekatan
Sejarah Kesenian. Buku-buku sejarah kesenian yang ada kebanyakan berupa
buku teks zaman kejayaan Islam, juga hanya melukiskan seni (arsitektur, lukis, sastra)
zama klasik. Pengetahuan kita tentang seni Islam sangat minimal, dapat
dikatakan belum ada kajian tentang seni Islam modern di Indonesia. Padahal seni
Islam merupakan living tradition yang banyak menarik perhatian orang, seniman
Islam lahir dan berkembang, seni likus, musik dan sinetron maju pesat dan
mendapatkan lahan yang subur. Tetapi kajian mengenai perkembangan itu tidak ada
sama sekali, hampir semua buku adalah buku politik.
Pendekatan
Sejarah Mentalis. Sejarah mentalis, menurut arti kata “mentalitas”
sebenarnya dapat mencakup banyak hal yaitu hal-hal yang termasuk dalam sejarah
intelektual, sejarah sosial, sejarah kebudayaan, sejarah kesenian dan sejarah
sensibilitas. Sangat pervasif, karena itu kita perlu definisi kerja, supaya
pnelitian efektif. Michele Vovelle sejarawan Prancis dalam terjemahan Belanda
“Mentaliteitsgeschiedenis: essays over leef-en beeldwereld”, mengemukakan tiga
istilah pokok dalam sejarah mentalis yaitu pikiran kolektif (Ideologi,
attitude), perasaan kolektif dan imajinasi kolektif, ketiganya dengan ketentuan
sudah ada sociabilite (tersosialisasikan). Di sini tekanan ialah pada pikiran
kolektif, sebab dua yang lain (perasaan kolektif, imajinasi kolektif) akan
dimasukan dalam Sejarah Sensibiltas. Pikiran kolektif itu umpamanya ialah
nasionalism, anti-feodalisme, kemerdekaaan, konsep negara dan demokrasi.
Pendekatan Sejarah
Senbilitas.
Lucien
Febvre dalam A New Kind of History ( London: Harper Torchbook, 1973)
mengatakan bahwa sejarah senbilitas ialah sejarah kandungan emosional manusia
dalam suatu kurun. Sejarah senbilitas adalah bagian dari sejarah mentalitas
atau sebagian spesibilitas adalah bagian dari sejarah mentalitas atau sebagai
spesialisasinya. Maka supaya nyambung dengan sejarah mentalitas. Disini akan
menunjuk pada perasaan kolektif. Setiap orang tahu bahwa antara tahun 1945-1950
ada perasaan kebencian kolektif dari umat terhadap kolonialisme Belanda, umat
yang paling banyak menderita, dan umat juga di persangkakan paling banyak
menumpahkan darah, tetapi itu hanya kenangan, buku-buku tentang revolusi tidak
mencatat umat itu. Untunglah baru-baru ini terbit buku tentang
Hizbullah-Sabilillah yaitu sejarah perjuangan Hizbullah Sabilillah Devisi Sunan
Bonang ( Yayasan Bhakti Utama Surakarta).Dengan modal ketrampilan sejarah
lisan,kita dapat meneliti sensibilitas umat pada Zaman Jepang
Revolusi,1948,1966 dan 1998. Sejarah lisan sangat tergantung pada
memori,memerlukan saksi mata yang masih hidup.
Pendekatan Biografi,
Psycho-history,Prosopografi.( Biografi dan otobiografi) menekankan
pengalaman pribadi, proses “menjadi” dan karakter seorang tokoh. Sudah banyak
biografi ditulis, kebanyakan mengenai tokoh politik dan dari sudut pandang politik.
Bahkan banyak yang menyebutkan buku-bukunya sebagai biografi politik. Dari
tokoh agama yang sudah ditulis biografinya ialah KH Hasyim Asy’ari, KH Walid
Hasyim, dan KH Ahmad Dahlan. Semua tokoh besar dalam islam, sedangkan dari
tokoh bisnis dan dermawan ada Haji Sulchan, Selebihnya adalah tokoh-tokoh Islam
dalam politik.
Pschohistory
(sejarah kejiwaan)adalah panduan psikoanalisis dan sejarah. Pertama kali
dimulai oleh Erik H. Erikson dengan Gandhi’s Truth dan Young Man Luther. Jejak
Erikson, seorang neo-freudian, di Amerika diikuti di antaranya oleh Bruce
Mazlish (in Search of Nixon: A Psychohistorical Inquiry| New York: Basic Books,
Inc 1972) sebagai seorang neo-freudian ia berpendapat bahwa persaingan dengan
saudara-saudaranya lah yang menjadi pendorong Nixon untuk sukses.
Prosopography
atau biografi kolektif, berasal dari bahasa Yunani proposan, artinya orang.
Biografi kolektif belum berakar dalam historiografi Indonesia.Biografi kolektif
dipakai untuk menunjukan bahwa suatukurun sejarah tertentu, melahirkan para
tokoh yang mempunyai semangat yang sama. Dalam sejarah agama, biorafi kolektif
dapat dipakai untuk menunjukan bahwa ada semangat yang sama pada para tokoh
agama. Sebagai contoh dapat disebut buku terjemahan karya Ali Rahmena (ed),
para perintis Zaman Baru Islam ( Bandung: Mizan, 1995). Meskipun buku itu tidak
sengaja ditulis sebagai biografi kolektuig, tetapi buku itu dapat dipakai
sebagai contoh. Dalam sejarah Indonesia dapat ditulis, misalnya biografi
kolektif dari KH. Hasyim Asy’ri, KH Achmad Chatib dan KH. Nawawi Al-Bateni yang
diprasangkakan semuanya pernah bertemu di Mekah.
No comments:
Post a Comment