|
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Budak-budak
merupakan modal dan kekayaan utama untuk pribumi, karena budak banyak
manfaatnya dan sangat diperlukan untuk menggarap ladang pertanian mereka. Maka
buda-budak pun dijual, ditukar dan diperdagangkan sama seperti barang-barang
dagang lainnya, dari kampung ke kampung, dari propinsi ke propinsi dan tentu
saja dari pulau ke pulau. Demikian gambaran seorang penulis kronik spanyol
paling di percaya mengenai peranata sosial yang barang kali terpenting di
Filipina pada abad ke 16.
Penggambaran
diatas adalah satu contoh kritikal dari puluhan sumber barat yang coba
melukiskan aneka ragam masyarakat asia tenggara yang dijumpai pada abad 16 dan
17 dapatkah kita membebaskan konsep-konsep tertentu dari bias asosiasi dan
cultural yang terkandung dalam tradisi dan bahasa kita sendiri dan bias
membuatnya berlaku universal. Hanya sedikit pranata tampak sedemikian universal
seperti hal nya perbudakan. Banyak pihak mengharapkan agar kita meningalkan
istilah yang sarat di bebebani asosiasi Eropa Amerika yang bersifat merendahkan
namun jika kita menggantinya dengan istilah penghambaan, ketergantungan atau
hak-hak di dalam diri seseorang berarti kita menukar sebuah katagori dengan
batas-batas sulit di tentukan menjadi suatu katagori terlalu luas yang nyaris
tak bermakna.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang melatar belakangi perbudakan di
Asia Tenggara?
2.
Wilayah mana saja perbudakan terjadi di
Asia Tenggara?
3.
Bagaimana keadaan Budak di Asia
Tenggara?
4.
Kapan Berakhirnya perbudakan di Asia
Tenggra?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Awal Perbudakan di Asia Tenggara
Hanya
sedikit pranata tampak sedemikian universal seperti halnya”perbudakan”. Banyak
pihak mengharapkan agar kita menanggalkan istilah yang sarat dibebani
asosiasi-asosiasi Eropa-Amerika bersifat merendahkan ini. Namun jika kita
menggantikannya dengan istilah “penghambaan,” “ketergantungan,” “hak-hak di
dalam diri seseorang (rights-in-persons),”
atau “ikatan diadyc,” berarti kita
menukar sebuah katagori dengan batas-batas sulit ditentukan menjadi suatu
katagori terlalu luas yang nyaris tak bermakna. Miers dan Kopytoff (1977: 12)
mendesak kita supaya “menanggalkan konsep-konsep Barat apabila kita mencoba
memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh para pengamat Barat, dengan berbagai
alasan, saat menyebut ‘perbudakan’ di Afrika.
Meskipun
batasannya sulit ditentukan, konsep teoritis mengenai pebudakan
setidak-setidaknya sama terangnya dengan sebagian besar katagori yang digunakan
oleh para sejarawan. Penyebab dari kesulitan itu adalah fungsi,bentuk dan,yang
terpenting, asosiasi yang timbul dari istilah ini.
Bukan
fenomena aneh dalam sejarah ketika sejumlah besar orang asing jatuh miskin atau
menjadi tawanan menyediakan diri sebagai tenaga kerja budak, maka budak-budak
pribumi dapat meniti jenjang social lebih tinggi untuk menjadi anggota baru
kelompok dominan, sekalipun masih dalam ststus hamba sahaya. Ada sejumlah
contoh dalam sejarah Asia Tenggara, khususnya di kota-kota niaga Melayu yang
makmur seperti Malaka, Aceh, atau Patani pada masa puncak kejayaan mereka.
Tentang Malaka, de Barros melaporkan, “Anda tidak bakal menemukan seorang
melayu pribumi yang bersedia memanggul barang milik sendiri atau milik orang
lain, berapa pun anda tawarkan kepadanya untuk melakukan hal itu” (dikutip
Crawfurd 1856: 404). Demikian pula Suku Tausug dari sulu abad ke-18 yang bisa mengasimilasi
generasi kedua atau ketiga dari tawanan ke dalam kedalam kelompok dominan
karena senantiasa tersedia pasikan tawanan baru untuk dijadikan budak.
Kendati
sulit untuk mengatakan secara pasti mengenai kurun waktu lebih awal dari
sejarah Asia Tenggara, asumsi semacam itu tidak membantu dalam memahami porsi
perbudakan dan perhambaan di dalam lingkup pranata-pranata Asia Tenggara. Semua
bukti menunjukkan bahwa ikatan vertical merupakan hal yang sangat kuno dan
utama bagi hampir semua masyarakat Asia Tenggara, dan tidak bisa membantu jika
kita menggambarkannya sebagai faktor eksternal atau muncul belakangan. Apa yang harus kita
pahami adalah bagaimana sistem penghambaan ini bekerja dalam situasi historis
yang amat beragam dan sistem mana yang bisa disamakan dengan perbudakan
sebagaimana yang kita temukan di belahan dunia lainnya.
Konsep teoritis kesetaraan manusia
(walaupun tersembunyi dalam tiga agama besar dunia di Asia Tenggara), sejauh
yang kita ketahui, tidak muncul dalam teks-teks besar berbagai kebudayaan
tinggi Asia Tenggara.
Apa yang ingin kita katakan di sini
adalah bahwa sebagai macam sistem perhambaan yang diketemukan dalam cacatan
sejarah sepanjang delapan abad terakhir, termasuk sistem yang kemudian dikenal
sebagai perbudakan, merupakan perkembangan yang berasal dari dalam wilayah itu
dengan latar belakang penerimaan khas Asia Tenggara terhadap kewajiban
timbal-balik antara yang tinggi dan yang rendah, atau pemberi utang dan
penerima utang.
Kunci pokok sistem sosial Asia
Tenggara adalah kontrol terhadap manusia. Tanah tersedia berlimpah, dan oleh
karenanya bukan mrupakan indeks kekuasaan (kecuali bagian-bagian tertentu Jawa
da Thailand Tengah pada zaan yang relatif
modern). Inilah yang membedakan negara-negara tradisional Asia Tenggara dengan
negara feodal. Masyarakat dipertautkan oleh ikatan-ikatan vertikal dari
kewajiban antarmanusia. Kekayaan sikaya dan kekuasaan si kuat terletak pada
tenaga laki-laki (dan perempuan) yang tergantung dan berkumpul di sekitar
mereka. Sebaliknya, bagi semiskin dan si lemah, jaminan keamanan dan kesempatan
bergantung sepenuhnya pada ikatan diri seseorang yang cukup kuat menhidupi
mereka.
Orang-orang yang terikat bisa
dipersembahkan sebagai hadiah perkawinan, disumbangkan kepada sebuah kuil,
ditawarkan sebagai sebuah upeti, diserahkan sebagai jaminan utang, dijual atau
diwariskan tanpa perlu dibicarakan dengan mereka yang akan mengalami perubahan
total dalam kehidupannya.
Dari zaman sangat kuno sampai zaman
modern sekarang masih ada manusia yang bekerja untuk orang lain karena
menyakini suatu kewajiban, bukan demi mendapatkan upah dari pekerjaan itu,
kendati dalam banyak kasus para pekerja, bahkan yang jelas-jelas masuk dalam
katagori budak, menerima bahan makanan sekedarnya an kadang-kadang juga “uang
saku”. Jika asal usul tunggal sistem kewajiban itu ditelusuri, maka ini pasti
karena utang.
Bahkan
didalam masyarakat relatif sederhana yang sangat sedikit tersentuh uang, ada
kebutuhan-kebutuhan untuk menyelenggarakan upacara yang memerlukan biaya sangat
besar, pembayaran mas kawin pernikahan dan penyembelihan kerbau saat
meninggalnya seorang anggota keluarga. Banyak laporan membeberkan bahwa
kebutuhan ritual semacam ini menjadi alsan paling umum mengapa simiskin
terlibat utang.
Di Kepulauan Kei, terletak di
Indonesia bagian timur, suatu bentuk perhambaan digambarkan terjadi tatkala
submarga tertentu tidak sanggup menanggung pembayaran mas kawin yang diperlukan
untuk meminang istri, dan seorang maduan (diterjemahkan sebagai tuan atau
pemilik) kaya raya membantu membayar segala ongkos, maka seluruh submarga
enjadi koi atau hamba seorang tersebut. Anak-anak hasil perkawinan
berdasarkan perjanjian kontrak itu diceritakan menjadi milik maduan,
dan dia juga bisa mengambil kembali istri yang disediakannya jika orang-orang
terikat ini tidak bisa menjalankan kewajiban yang dikenakan kepada mereka.
Bentuk penghambaan serupa, kadang-kadang berwujud pengabdian kepada calon ayah
mertua, dilaporkan masih terjadi di Filiphina, Sulawesi, Sumatra, dan Thailand
bagian utara, dan mungkin dulu pernah tersebar lebih luas.
Seorang pemilik budak diharapkan
menyediakan istri bagi budaknya, dan ini menjadi salah satu alasan mengapa
budak sering dianggap lebih beruntung daripada orang merdeka yang miskin. Setidak-tidaknya
di Philipna dan Sulawesi. Pembantu rumah tangga yang selalu siap menerima
perintah sang majikan cenderung disediakan untuk orang terikat yang belum
menikah, yang pada akhirnya diberikan hadiah berupa perkawinan, rumah milik
sendiri, dan ikatan kewajiban yang lebih longgar.namun anak-anak dari hasil
perkawinan semacam itu tetap terikat kepada sang majikan yang telah menyediakan
semua biaya, termasuk untuk mas kawin.
Kewajiban untuk melayani pemberi
utang dengan cara apapun yang dianggap pantas (Reid 1983b). Menjual diri dan
menghamba berdasarkan hukum, kendati berada dibawah peraturan-peraturan khusus,
dapat dianggap berasal dari prinsip dasar yang sama. Penjualan atau pemberian
harga atas diri seseorang dan / atau istri serta anak-anaknya kepada orang yang
lebih makmur dilaporkan terjadi di semua masyarakat, khususnya pada masa-masa
sulit. Menghamba senantiasa lebih disukai ketimbang menderita kelaparan atau
mengemis.
Hukuman mati tentu sering terjadi,
khususnya bagi mereka yang melakukan kejahatan terhadap penguasa atau mereka
yang melanggar larangan tradisional seperti inses.
Islam melarang bunga (riba),
dan lebih memilih perjanjian bagi keuntungan antara pemberi dan penerima utang.
Hal ini agaknya tidak menimbulkan masalah bagi orang Asia Tenggara.
Dalam hubungan antara pengutang
(cecunguk atau penjahat) dan pemberi utang ini, pelayanan kerja pihak penerima
utang selalu dianggap sebagai pembayaran atas apa yang disebut bunga dari sisa
pinjaman, hal ini terlihat jelas dalam kasus Thailand modern (Terwiel 1983) dan
tampak tersirat di tempat-tempat lain. Hasil kerja tidak pernah bisa melunasi
pinjaman. Utang tidak lantas berkurang oleh perjalanan waktu dan umumnya
dianggap bersifat permanen, dan dengan demikian ikatan penghambaan diwariskan turun-temurun
dari orang tua kepada anak-anak mereka.
B. Perbudakan yang terjadi di Asia Tenggara
Tawanan-tawanan perang atau orang yang diperoleh dari
ekspedisi penaklukan biasanya dperbudak, setidak-tidaknya untuk sementara
waktu, dan aturan-aturan hukum pidana kita tidak membedakan status mereka
dengan budak yang lain. Namun pada prakteknya pampasan perang berbeda dengan
posisi budak dalam setiap masyarakat, baik di Asia Tenggara maupun Eropa atau
dunia Muslim. Pada masa kejayaan Angkor abad ke-13, misalnya, sebagian besar
penduduk tampaknya pernah menjadi budak tahanan atau dibeli dari penduduk
perbukitan sekitar atau dari negara-negara tetangga. Sebagaimana diterangkan
oleh Chou Ta-kuan, kesenjangan sosial antara budak-budak “liar” dan penduduk
Khmer yang dominan terbentang sangat lebar bahkan menurut ukuran-ukuran Dunia
baru, karena budak bawaan ini diberi rajah atau dicap dan hubungan seksual
dengan prempuan budak dianggap menjijikkan.
Namun situasi biasanya bersifat
sementara. Kebanyakan tawanan perang secara kultural lebih dekat dengan pihak
yang menangkap mereka dibanding kasus Angkor, sedemikian rupa sehingga dalam
waktu satu sampai dua generasi mereka pun bisa menggunakan bahasa, memeluk
agama, dan menjalankan gaya hidup yang sama dengan penduduk dominan.
Budak
Perkotaan
Angkor
sebagaimana diperlihatkan oleh Chou Ta-kuan, dengan orang-orang kaya memiliki
ratusan budak dan orang miskin tidak memiliki budak sama sekali, mewakili bukan
hanya negara penakluk tetapi juga kota Asia tenggara yang makmur. Kota-kota
besar dengan jumlah penduduk mencapai 100.000 orang seperti Angkor, Ayutthaya,
Melaka, Banten, Aceh, dan Makassar yang sedang berada di puncak kejayaan
prakolonial tampaknya membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar untuk berpacu
mengimbangi pertumbuhan mereka yang pesat. Hal ini tidak diberikan oleh migrasi
sukarela dan kerja upahan, tetapi oleh arus masuk manusia secara besar-besaran
terwujud perhambaan. Sebagian datang dengan rombongan para saudagar dan pejabat
yang berbondong-bondong memasuki kota-kota besar, sebagian lagi dibawa pulang
sebagai tawanan perang yang kemudian di bagi-bagikan, dijual, atau bekerja
untuk raja. Sementara yang lain dimasukkan ke kota-kota oleh para pedagang
budak
Di
kota-kota niaga yang sedang tumbuh subur ini disusun kitab-kitab hukum pidana
yang merupakan sumber rujukan terpenting. Mudah dipahami mengapa perbudakan
menjadi sebuah masalah yang demikian banyak mendapat perhatian disebagian besar
kitab-kitab hukum tersebut.
Budak
adalah satu-satunya barang berharga paling penting. Diperlukan hukum untuk
mencegah mereka dibunuh, diperkosa, dicederai atau diculik, serta mengatur hak
kepemilikan anak-anak mereka.
Proses
yang sama di Negara-kota Yunani juga menghasilkan antithesis tajam antara kaum
budak dan orang merdeka yang pernah dikenal dunia.
Namun dalam situasi perkotaan ini
pun karakter perbudakan Asia Tenggara senantiasa mempertahankan kekhasannya
sendiri: hubungan majikan-budak mengikuti model kekerabatan dimana budak bebas
mencari penghasilan tambahan untuk diri mereka sendiri, dan kecendrungan untuk
membebaskan atau mengasimilasi generasi kedua budak-budak ini kedalam bentuk
hubungan perhambaan yang lebih ambivalen.
Budak
Milik Orang Eropa
Ke dalam budaya
perkotaan Asia Tenggara yang sedang mencapai puncak kejayaan komersial inilah
orang Eropa datang sebagai saudagar dan kolonis, orang-orang Portugis dan
Spanyol abad ke-16 dan orang-orang dari Eropa Utara pada abad ke-17. Seperti
saudagar –saudagar India, Arab, dan Cina yang datang lebih dulu, mereka juga
memperoleh tenaga kerja dengan cara-cara Asia Tenggara.
Asia
Tenggara merupakan bukti terpenting tentang bagaimana kolonis-kolonis Eropa
mengambil-alih dan berinteraksi dengan system perbudakan Asia alih-alih
memaksakan system mereka sendiri di sebuah ruang hampa sebagaimana di Dunia
Baru atau Afrika Selatan. Kita mengasumsikan bahwa orang-orang Eropa terutama
menghadapi sejenis tenaga kerja terikat di kota-kota Asia Tenggara yang mereka
sebut “budak”, karena memang begitulah hamba sahaya ini dilukiskan oleh
pendatang-pendatang lebih awal dalam berbagai bahasa yang dipakai sebagai
bahasa perdagangan.
Namun
demikian orang Eropa, juga melihat bahwa kebanyakan budak diperlakukan sama
seperti pelayan di Eropa, bahkan kadang-kadang lebih baik.
Pada awalnya mereka mencari budak
dari tempat-tempat paling jauh, India, Arakan, Madagaskar, atau New Guinea.
Untuk memperkecil budak melarikan diri akibat perlakuan yang barangkali tidak
biasa mereka terima. Namun perlahan-lahan mereka mulai menyesuaikan diri dengan
system perkotaan Asia Tenggara, dimana budak-budak diberi makanan dan pakaian
yang memadai (ini berarti kemewahan) atau memperbolehkan budak mencari nafkah
untuk memenuhi keburuhan mereka sendiri.
Karena
cemas tidak dapat mencegah bahaya pemberontakan atau pelarian besar-besaran,
VOC pada 1625 melarang pemilik-pemilik budak Batavia merantai budak mereka atau
memberi hukuman lebih dari sekedar “”hukuman sipil dan domestic” sebelum memperoleh izin terlebih dulu dari pihak berwenang.
Bagi
oarang Belanda, sebagaimana pendahulu mereka di kota-kota Asia tenggara,
perbudakan adalah alat untuk mendapatkan tenaga kerja kasar secara cepat di
dalam lingkup perkotaan, dan utamanya generasi pertama budak yang ditempatkan
pada posisi yang benar-benar rendah.
Hamba Kerajaan, Budak Pribadi
Sebagaimana feodalisme yang
membatasi pengumpulan pusat-pusat kekuasaan dengan cara membagi-bagi penguasaan
atas tanah, sistem perbudakan “pribadi” dalam lingkup Asia Tenggara di batasi
oleh pusat kekuasaan.
Akin Rabibhadana (1969: 24-39) telah
menunjukkan bahwa di Siam, sesustu yang juga berlaku di banyak negara, terdapat
perjuangan yang berlangsung terus menerus antara raja dan para bangsawan
berpengaruh untuk menguasai orang-orang.
Beban corv’ee kerajaan yang
sangat berat di Birma, Siam, dan (kadang-kadang) Kamboja menempatkan
negara-negara ini pada satu titik ekstrem dalam spektrum Asia tenggara.
Di
antara ketiganya, menghamba kepada raja adalah pilhan yang mungkin paling
berat, membutuhkan satu setengah kali lipat tenaga kerja manusia di Siam. Tidak
sulit memahami mengapa orang Siam sering dilaporkan menjual diri secara
sukarela dalam perbudakan, khususnya pada masa-masa sulit, dan mengapa syarat
pembelian seorang budak berbunyi “menolong (budak) dengan menebus” (Rabibhadana
1969: 110). Sebaliknya di dunia Melayu, kategori hamba raja sering berarti hak
istimewa seseorang, karena pemerintah bersifat amatpersonal maka banyak
kewenanganpenguasa dan kekebalannya juga pindah ke hamba-hambanya.
Bila “perbudakan negara” ditetapkan
sebagai satu-satunya jenis perbudakan yang diperbolehkan keberadaannya, maka
lebih baik kita menyarankan untuk menghindari penggunaan istilah “budak” sama
sekali. “Budak” merupakan sebuah kata yang sering disalahgunakan, bahkan oleh
orang Asia Tenggara sendiri, untuk menggambarkan suatu hubungan yang hakikatnya
pembayaran upeti antara negara taklukan atau masyarakat perbukitan yang
bergantung secara ekonomi dengan negara-negara daratan rendah yang dominan.
Walaupun raja kerap berusaha
merendahkan saudagar-saudagar berpengaruh yang independen ini serta mencabut
budak dan pelayan-pelayan mereka, raja tidak akan pernah berhasil melakukannya
tanpa menhancurkan seluruh basis kemakmuran negara. Karena itu di kota-kota ini
budak “pribadi” jauh mengingguli “budak negara” (termasuk budak-budak VOC di
Batavia), sehingga budak-budak negara pu dianggap memiliki karakter sebagai
harta milik yang dapat diperdagangkan.
Kehidupan Para Budak.
Para
budak dilaporkan menjalankan semua jenis pekerjaan, sebagai petani, pemanen
tanaman dagang, pelayan,pelaut, pekerja bangunan, pekerja tambang, buruh
perkotaan, pengrajin, pekerja tekstil,penghibur, gundik, pembantu rumah tangga,
pedagang eceran, saudagar juru tulis, penerjemah, tabib, serdadu, dan bahkan
menteri-menteri yang dipercaya.
Namun, jika kita
mempertimbangkan “cara produsi budak”, maka kita harus membedakan antara tenaga
kerja budak yang di kelola secara terpusat dan memungkinkan suatu skala
produksi yang tidak sapat dilakukan pada perekonomian berorientasi rumah tangga
dengan mayoritas budak yang hubungan penghambaannya berangsur-angsur berubah
menjadi semacam bentuk pelayanan atau anggota rumah tangga. Contoh jenis yang
pertama pasti berasal dari kota-kota, dimana rumah tangga perniagaan paling
makmur dipenuhi budak-budak yang berdagang, mengangkut barang, membuat kapal
dan berlayar untuk kepentingan tuan mereka.
Peran para budak
yang tampak mencolok adalah pekerjaan rumah tangga dan penghibur, dan di dalam
peran itu status mereka sebagai budak sering ditegaskan karena menambah tinggi
derajat status majikan mereka. Ketika orang-orang Belanda tiba di Banten, para
bangsawan-saudagar istana sudah memiliki sejumlah budak yang senantiasa menghibur
mereka setiap malam dengan menyanyi dan menari.
Peran domestik para
budak tampak dominan pada abad ke-18 dan ke-19, khususnya di lingkungan rumah
tangga oaring Eropa. Kehidupan budak disini mungkin lebih mudah dan lebih aman
dalam arti fisik. Jenjang naik seorang budak selalu dengan menempelkan diri
kepada seorang tuan yang kaya-raya dan berpengaruh.
Budak-budak biasanya diperlakukan tidak jauh berbeda dari
anggota kelas-kelas sosial lebih rendah di setiap waktu dan tempat. La
loubere(1691: 77) menghapus dengan baik masyarakat Siam abad ke-17: “Majikan
memilih kekuasaan sepenuhnya terhadap budak, kecuali membunuhnya; dan ada
banyak laporan bahwa para budak dipukuli dengan kejam (sangat mungkin di sebuah
negeri dimana orang-orang merdeka pun bisa dicambuk dengan rotan) namun
perbudakan disana begitu sanagat anggun atau, jika kalian mau, kebebasan adalah
sesuatu yang sangat hina, sehingga ada pepatah bahwa orang Siam rela menjualnya
demi mencicipi buah... Durian.”
Tetapi tidak ada alasan untuk meragukan kesimpulan
ilmuwan itu bahwa kehidupan material seorang budak jauh lebih baik ketimbang
orang merdeka yang paling miskin. Menerima seorang budak berarti bersedia
memenuhi kewajiban memberinya makan dan pakaian. Siam awal abad ke-19
dilaporkan memperlakukan budak-budak secara baik atau bahkan jauh lebih baik
daripada perlakuan terhadap pelayan-pelayan di Eropa (Rabibhadana 1969: 110).
Bagi budak kesengsaraan paling nyata bukan hilangnya
kebebasan atau kesjahteraan, melainkan kemungkinan dia dijual ketempat jauh di
mana nasib lebih mengerikan sedang menantinya.
Catatan-catatan perdagangan budak
menegaskan bahwa mereka yang dikirim jauh dari tempat asal, dan barangkali juga
dari kerabat keluarga, mesti dirantai untuk mencegah agar mereka tidak
melakukan perlawanan terhadap penangkap mereka atau melemparkan diri dari
geledak kapal. Sekali budak didapatkan oleh seorang pemilik dan dipekerjakan
dalam lingkungan baru, ikatan berupa
rantai tersebut akan beralih wujud menjadi ikatan kebiasaan atau bahkan kasih
sayang.
Ada sejumlah kisah mengerikan dari
Batavia dan Maluku tentang bagaimana penguasa-penguasa Belanda pada abad ke-17
dan ke-18 menghukum mati budak pelanggar aturan dengan cara paling keji, tetapi
tampaknya mereka pun menjatuhkan hukuman serupa kepada orang-orang Indonesia
merdeka atau orang Belanda yang memberontak.
Perdagangan Budak.
Sebelum adanya surat perjanjian kerja
yang berkembang pada abad ke-19, pergerakan orang tawanan dan budak merupakan
sumber utama dari mobilitas tenaga kerja di Asia Tenggara.
Akan sedikit lebih mudah mengukur
kontribusi perdagangan budak terhadap penduduk kota, karena tawanan-tawanan
perang sering didatangkan melalui laut dalam kapal-kapal angkut yang besar.
Tampaknya hanya ada sedikit keraguan bahwa kebanyakan penduduk perkotaan Asia
Tenggara (tidak termasuk orang Cina, India, Eropa, dan sebagainya) menjelang
tahun 1820 didapatkan dalam keadaan tertawan, apakah melalui perdagangan budak
atau perang.
Sebagaimana diperlihatkan oleh Sutherland (1983), kaum
budak merupakan mayoritas penduduk Makassar-Belanda abad ke-17 dan ke-18. Juga
di Batavia, kaum budak selalu merupakan mayoritas penduduk di sebelah dalam
benteng kota, orang-orang Indonesia yang merdeka agaknya masih sangat langka.
Penyumbang
terbesar penduduk Batavia berasal dari Sulawesi Selatan. Selama 30 tahun
pertama keberadaan Batavia, budak-budak India dan Arakan merupakan tenaga kerja
utama (Iwao 1970: 7; Haan 1922, I: 452; Sutherland1983), namun setelah itu
orang-orang Indonesia bagian timur didatangkan dan menjadi mayoritas
budak-budak Batavia yang lambat-laun berubah status menjadi orang merdeka.
Jumlah
budak yang dikirim ke wilayah-wilayah permukiman Inggris di Penang dan
Singapura sulit dihitung karena perdagangan budak secara resmi dihaous pada
1807 dan perlakuan larangan impor budak beberapa waktu sebelumnya.
Kebanyakan budak tersebut adalah
kaum perempuan, dan sebaimana ditegaskan oleh Anderson (1826: 298) perdagangan
budak “merupakan keuntungan sanagt besar bagi Penang dalam memperoleh penduduk
perempuan.” Sensus Singapura 1830 memperlihatkan 4.421 orang perempuan “Bugis
dan Bali” jauh melebihi prianya yang hanya berjumlah 1.048 orang
(Khatirithamby-Wells 1969: 71n) dan sedikit yang menyangsikan bahwa hampir
semua perempuan ini dijual sebagai istri dan gundik penduduk pria.
Keseluruhan
pola perdagangan budak melalui jalan laut secara sekilas dapat di bagi menjadi
tiga titik yang berbeda dalam sejarahnya. Pada wal abad ke-16, menurut Tome
Pires (1515) dan sumber-sumber portugis lainnya, kota-kota Melaka, Ayutthaya
(Siam), Pasai dan Brunei merupakan pengimpor budak terbesar dan Jawa, pasti
karena berkaitan dengan Islamisasi, merupakan pengekspor budak terbesar.
Akhirnya,
karya cermat James Warren (1981 khususnya halaman 208) mempermudah kita untuk
memahami skala perdagangan budak akhir abad ke -18. Sulu dan Batavia
mendominasi perdagangan budak di Nusantara.
C.
Penghapusan Budak.
Kemunduran
perbudakan sebagai suatu pranata sedikit berhubungan dengan tumbuhnya kesadaran
moral. Moralitas yang patut di contoh dapat pula dilihat dalam ikatan hubungan
perhambaan vertical serta perlawanan terhadapnya atas nama kesetaraan. Ada dua
factor structural yang kelihatan berperan penting dalam jangka panjang. Pertama,
Negara, baik dalam bentuk colonial maupun nasiaonal, semakin mengendalikan
seluruh rakyat di bidang hukum, poitik, kemiliteran, dan perpajakan yang dalam
system perhambaan menjadi tanggung jawab masing-masing patron. Kedua,
pertambahan jumlah buruh-tani tunakisma miskin membuat kerja upahan dan system
eksploitasi menjadi lebih murah dan lebih efisien.
Pemerintahan
Eropa mulai mengambil langkah menentang perbudakan di kolono-koloni mereka pada
permulaan abad ke-19. Perdagangan budak
secara teoritis dilarang oleh parlemen Inggris pada 1807, dan pelarangan serupa
diberlakukan atas Perancis dalam perjanjian Wina tahun 1815. Negeri Belanda
bergerak kea rah yang sama ditanah-tanah jajahannya pada 1818. Belanda tidak
menganggap perbudakan sebagai suatu kegiatan illegal di koloni-koloninya sampai
dengan tahun 1860.
Penghapusan
perbudakan secara berangsur-angsur bukan berarti pasar bebas kerja upahan sudah
berjalan di Asia tenggara. Sejauh tersedia kerja upahan di abad ke-19,
orang-orang asia tenggara sendiri agaknya menilai kerja upahan sebagai sesuatu
yang sama sekali asing dan dianggap merendahkan derajat manusia.
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari
uraian di atas, dapat d iambi dua kesimpulan umum. Pertama, system perburuhan Asia tenggara sepanjang cacatan
sejarahnya lebih didasarkan kerja wajib untuk kepentingan kreditur, majikan
atau tuan. Kedua, perhambaan yang
layak diakui sebagai bentuk perbudakan muncul dari pola dasar lebih luas dan
dalam situasi tertentu mengambil peran utama dalam bidang ekonomi dan politik.
Karena bentuk perbudakan semacam
itu tidak bias di pisahkan secara ketat dengan ikatan perhambaan yang terkadang
sama-sama menindas, maka dia adalah varian “ringan” dari rumpun perbudakan yang
universal.
Namun, istilah
budak untuk orang-orang terikat yang mengandung karakter sebagai harta-milik
agaknya tetap perlu dipertahankan. Hal ini khususnya terjadi saat budak dijual
kepada orang luar. Budak adalah orang bergerak yang dapat diperjual belikan.
Melalui proses jual-beli, ratusan ribu orang Asia Tenggara dikirim kesegala
penjuru sampai Afrika Selatan dan Meksiko (budak Filiphina diangkut dengan
kapal-kapal galai Manila kuno).
Akhirnya,
perbudakan selayaknya diperlakukan sebagai konsep lintas budaya karena
merupakan, sama seperti perdagangan dan peperangan, sebuah corak interaksi
diantara orang-orang yang berbeda bahasa dan budaya.
Kita
dapat menggali berbagai persoalan lain yang lebih menarik tentang watak
perbudakan yang menempatkan utang, kesetiaan, kehormatan, dan charisma begitu
sangat khas. Dengan cara seperti itu kita bisa menerangkan kehidupan rakyat
lapisan terendah dari masyarakat Asia Tenggara pramodern.
B.
Saran
Perbudakan di
Asia Tenggara adalah suatu fenomena yang terjadi terhadap kaum bawah.
Perbudakan terjadi disebabkan karna kemiskinandan lain-lain. Banyak sekali
tulisan-tulisan yang menceritakan terjadinya perbudakan di Asia Tenggara,
terutama yang ditulis oleh orang-orang eropa yang pernah menapakkan kakinya di
Asia Tenggara. Tulisan-tulisan tersebut lebih mengarah kepada keburukan kaum
bawah di Asia Tenggara pada abad 18-19. saran
yang terbaik adalah untuk sejarawan, pelajar, dan lain-lain untuk mencari
kebenaran terhadap fakta terjadinya perbudakan di Asia Tenggara dan
menganalisanya dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. 1998. Pengantar Sejarah Baru 1500-1900,
Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Asia Tenggara,Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
http://en.wikipedia.org/wiki/perbudakan di Asia tenggara.
No comments:
Post a Comment