Wednesday 25 March 2015

MAKALAH | PERBUDAKAN DI ASIA TENGGARA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
            Budak-budak merupakan modal dan kekayaan utama untuk pribumi, karena budak banyak manfaatnya dan sangat diperlukan untuk menggarap ladang pertanian mereka. Maka buda-budak pun dijual, ditukar dan diperdagangkan sama seperti barang-barang dagang lainnya, dari kampung ke kampung, dari propinsi ke propinsi dan tentu saja dari pulau ke pulau. Demikian gambaran seorang penulis kronik spanyol paling di percaya mengenai peranata sosial yang barang kali terpenting di Filipina pada abad ke 16.
            Penggambaran diatas adalah satu contoh kritikal dari puluhan sumber barat yang coba melukiskan aneka ragam masyarakat asia tenggara yang dijumpai pada abad 16 dan 17 dapatkah kita membebaskan konsep-konsep tertentu dari bias asosiasi dan cultural yang terkandung dalam tradisi dan bahasa kita sendiri dan bias membuatnya berlaku universal. Hanya sedikit pranata tampak sedemikian universal seperti hal nya perbudakan. Banyak pihak mengharapkan agar kita meningalkan istilah yang sarat di bebebani asosiasi Eropa Amerika yang bersifat merendahkan namun jika kita menggantinya dengan istilah penghambaan, ketergantungan atau hak-hak di dalam diri seseorang berarti kita menukar sebuah katagori dengan batas-batas sulit di tentukan menjadi suatu katagori terlalu luas yang nyaris tak bermakna.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang melatar belakangi perbudakan di Asia Tenggara?
2.      Wilayah mana saja perbudakan terjadi di Asia Tenggara?
3.      Bagaimana keadaan Budak di Asia Tenggara?
4.      Kapan Berakhirnya perbudakan di Asia Tenggra?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Awal Perbudakan di Asia Tenggara
            Hanya sedikit pranata tampak sedemikian universal seperti halnya”perbudakan”. Banyak pihak mengharapkan agar kita menanggalkan istilah yang sarat dibebani asosiasi-asosiasi Eropa-Amerika bersifat merendahkan ini. Namun jika kita menggantikannya dengan istilah “penghambaan,” “ketergantungan,” “hak-hak di dalam diri seseorang (rights-in-persons),” atau “ikatan diadyc,” berarti kita menukar sebuah katagori dengan batas-batas sulit ditentukan menjadi suatu katagori terlalu luas yang nyaris tak bermakna. Miers dan Kopytoff (1977: 12) mendesak kita supaya “menanggalkan konsep-konsep Barat apabila kita mencoba memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh para pengamat Barat, dengan berbagai alasan, saat menyebut ‘perbudakan’ di Afrika.
            Meskipun batasannya sulit ditentukan, konsep teoritis mengenai pebudakan setidak-setidaknya sama terangnya dengan sebagian besar katagori yang digunakan oleh para sejarawan. Penyebab dari kesulitan itu adalah fungsi,bentuk dan,yang terpenting, asosiasi yang timbul dari istilah ini.
            Bukan fenomena aneh dalam sejarah ketika sejumlah besar orang asing jatuh miskin atau menjadi tawanan menyediakan diri sebagai tenaga kerja budak, maka budak-budak pribumi dapat meniti jenjang social lebih tinggi untuk menjadi anggota baru kelompok dominan, sekalipun masih dalam ststus hamba sahaya. Ada sejumlah contoh dalam sejarah Asia Tenggara, khususnya di kota-kota niaga Melayu yang makmur seperti Malaka, Aceh, atau Patani pada masa puncak kejayaan mereka. Tentang Malaka, de Barros melaporkan, “Anda tidak bakal menemukan seorang melayu pribumi yang bersedia memanggul barang milik sendiri atau milik orang lain, berapa pun anda tawarkan kepadanya untuk melakukan hal itu” (dikutip Crawfurd 1856: 404). Demikian pula Suku Tausug dari sulu abad ke-18 yang bisa mengasimilasi generasi kedua atau ketiga dari tawanan ke dalam kedalam kelompok dominan karena senantiasa tersedia pasikan tawanan baru untuk dijadikan budak.
            Kendati sulit untuk mengatakan secara pasti mengenai kurun waktu lebih awal dari sejarah Asia Tenggara, asumsi semacam itu tidak membantu dalam memahami porsi perbudakan dan perhambaan di dalam lingkup pranata-pranata Asia Tenggara. Semua bukti menunjukkan bahwa ikatan vertical merupakan hal yang sangat kuno dan utama bagi hampir semua masyarakat Asia Tenggara, dan tidak bisa membantu jika kita menggambarkannya sebagai faktor eksternal atau muncul belakangan. Apa yang harus kita pahami adalah bagaimana sistem penghambaan ini bekerja dalam situasi historis yang amat beragam dan sistem mana yang bisa disamakan dengan perbudakan sebagaimana yang kita temukan di belahan dunia lainnya.
            Konsep teoritis kesetaraan manusia (walaupun tersembunyi dalam tiga agama besar dunia di Asia Tenggara), sejauh yang kita ketahui, tidak muncul dalam teks-teks besar berbagai kebudayaan tinggi Asia Tenggara.
            Apa yang ingin kita katakan di sini adalah bahwa sebagai macam sistem perhambaan yang diketemukan dalam cacatan sejarah sepanjang delapan abad terakhir, termasuk sistem yang kemudian dikenal sebagai perbudakan, merupakan perkembangan yang berasal dari dalam wilayah itu dengan latar belakang penerimaan khas Asia Tenggara terhadap kewajiban timbal-balik antara yang tinggi dan yang rendah, atau pemberi utang dan penerima utang.
            Kunci pokok sistem sosial Asia Tenggara adalah kontrol terhadap manusia. Tanah tersedia berlimpah, dan oleh karenanya bukan mrupakan indeks kekuasaan (kecuali bagian-bagian tertentu Jawa da Thailand Tengah pada zaan yang relatif  modern). Inilah yang membedakan negara-negara tradisional Asia Tenggara dengan negara feodal. Masyarakat dipertautkan oleh ikatan-ikatan vertikal dari kewajiban antarmanusia. Kekayaan sikaya dan kekuasaan si kuat terletak pada tenaga laki-laki (dan perempuan) yang tergantung dan berkumpul di sekitar mereka. Sebaliknya, bagi semiskin dan si lemah, jaminan keamanan dan kesempatan bergantung sepenuhnya pada ikatan diri seseorang yang cukup kuat menhidupi mereka.
            Orang-orang yang terikat bisa dipersembahkan sebagai hadiah perkawinan, disumbangkan kepada sebuah kuil, ditawarkan sebagai sebuah upeti, diserahkan sebagai jaminan utang, dijual atau diwariskan tanpa perlu dibicarakan dengan mereka yang akan mengalami perubahan total dalam kehidupannya.
            Dari zaman sangat kuno sampai zaman modern sekarang masih ada manusia yang bekerja untuk orang lain karena menyakini suatu kewajiban, bukan demi mendapatkan upah dari pekerjaan itu, kendati dalam banyak kasus para pekerja, bahkan yang jelas-jelas masuk dalam katagori budak, menerima bahan makanan sekedarnya an kadang-kadang juga “uang saku”. Jika asal usul tunggal sistem kewajiban itu ditelusuri, maka ini pasti karena utang.
Bahkan didalam masyarakat relatif sederhana yang sangat sedikit tersentuh uang, ada kebutuhan-kebutuhan untuk menyelenggarakan upacara yang memerlukan biaya sangat besar, pembayaran mas kawin pernikahan dan penyembelihan kerbau saat meninggalnya seorang anggota keluarga. Banyak laporan membeberkan bahwa kebutuhan ritual semacam ini menjadi alsan paling umum mengapa simiskin terlibat utang.
            Di Kepulauan Kei, terletak di Indonesia bagian timur, suatu bentuk perhambaan digambarkan terjadi tatkala submarga tertentu tidak sanggup menanggung pembayaran mas kawin yang diperlukan untuk meminang istri, dan seorang maduan (diterjemahkan sebagai tuan atau pemilik) kaya raya membantu membayar segala ongkos, maka seluruh submarga enjadi koi atau hamba seorang tersebut. Anak-anak hasil perkawinan berdasarkan perjanjian kontrak itu diceritakan menjadi milik maduan, dan dia juga bisa mengambil kembali istri yang disediakannya jika orang-orang terikat ini tidak bisa menjalankan kewajiban yang dikenakan kepada mereka. Bentuk penghambaan serupa, kadang-kadang berwujud pengabdian kepada calon ayah mertua, dilaporkan masih terjadi di Filiphina, Sulawesi, Sumatra, dan Thailand bagian utara, dan mungkin dulu pernah tersebar lebih luas.
            Seorang pemilik budak diharapkan menyediakan istri bagi budaknya, dan ini menjadi salah satu alasan mengapa budak sering dianggap lebih beruntung daripada orang merdeka yang miskin. Setidak-tidaknya di Philipna dan Sulawesi. Pembantu rumah tangga yang selalu siap menerima perintah sang majikan cenderung disediakan untuk orang terikat yang belum menikah, yang pada akhirnya diberikan hadiah berupa perkawinan, rumah milik sendiri, dan ikatan kewajiban yang lebih longgar.namun anak-anak dari hasil perkawinan semacam itu tetap terikat kepada sang majikan yang telah menyediakan semua biaya, termasuk untuk mas kawin.
            Kewajiban untuk melayani pemberi utang dengan cara apapun yang dianggap pantas (Reid 1983b). Menjual diri dan menghamba berdasarkan hukum, kendati berada dibawah peraturan-peraturan khusus, dapat dianggap berasal dari prinsip dasar yang sama. Penjualan atau pemberian harga atas diri seseorang dan / atau istri serta anak-anaknya kepada orang yang lebih makmur dilaporkan terjadi di semua masyarakat, khususnya pada masa-masa sulit. Menghamba senantiasa lebih disukai ketimbang menderita kelaparan atau mengemis.
            Hukuman mati tentu sering terjadi, khususnya bagi mereka yang melakukan kejahatan terhadap penguasa atau mereka yang melanggar larangan tradisional seperti inses.
            Islam melarang bunga (riba), dan lebih memilih perjanjian bagi keuntungan antara pemberi dan penerima utang. Hal ini agaknya tidak menimbulkan masalah bagi orang Asia Tenggara.
            Dalam hubungan antara pengutang (cecunguk atau penjahat) dan pemberi utang ini, pelayanan kerja pihak penerima utang selalu dianggap sebagai pembayaran atas apa yang disebut bunga dari sisa pinjaman, hal ini terlihat jelas dalam kasus Thailand modern (Terwiel 1983) dan tampak tersirat di tempat-tempat lain. Hasil kerja tidak pernah bisa melunasi pinjaman. Utang tidak lantas berkurang oleh perjalanan waktu dan umumnya dianggap bersifat permanen, dan dengan demikian ikatan penghambaan diwariskan turun-temurun dari orang tua kepada anak-anak mereka.

B. Perbudakan yang terjadi di Asia Tenggara
            Tawanan-tawanan perang atau orang yang diperoleh dari ekspedisi penaklukan biasanya dperbudak, setidak-tidaknya untuk sementara waktu, dan aturan-aturan hukum pidana kita tidak membedakan status mereka dengan budak yang lain. Namun pada prakteknya pampasan perang berbeda dengan posisi budak dalam setiap masyarakat, baik di Asia Tenggara maupun Eropa atau dunia Muslim. Pada masa kejayaan Angkor abad ke-13, misalnya, sebagian besar penduduk tampaknya pernah menjadi budak tahanan atau dibeli dari penduduk perbukitan sekitar atau dari negara-negara tetangga. Sebagaimana diterangkan oleh Chou Ta-kuan, kesenjangan sosial antara budak-budak “liar” dan penduduk Khmer yang dominan terbentang sangat lebar bahkan menurut ukuran-ukuran Dunia baru, karena budak bawaan ini diberi rajah atau dicap dan hubungan seksual dengan prempuan budak dianggap menjijikkan.
            Namun situasi biasanya bersifat sementara. Kebanyakan tawanan perang secara kultural lebih dekat dengan pihak yang menangkap mereka dibanding kasus Angkor, sedemikian rupa sehingga dalam waktu satu sampai dua generasi mereka pun bisa menggunakan bahasa, memeluk agama, dan menjalankan gaya hidup yang sama dengan penduduk dominan.  

Budak Perkotaan
            Angkor sebagaimana diperlihatkan oleh Chou Ta-kuan, dengan orang-orang kaya memiliki ratusan budak dan orang miskin tidak memiliki budak sama sekali, mewakili bukan hanya negara penakluk tetapi juga kota Asia tenggara yang makmur. Kota-kota besar dengan jumlah penduduk mencapai 100.000 orang seperti Angkor, Ayutthaya, Melaka, Banten, Aceh, dan Makassar yang sedang berada di puncak kejayaan prakolonial tampaknya membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar untuk berpacu mengimbangi pertumbuhan mereka yang pesat. Hal ini tidak diberikan oleh migrasi sukarela dan kerja upahan, tetapi oleh arus masuk manusia secara besar-besaran terwujud perhambaan. Sebagian datang dengan rombongan para saudagar dan pejabat yang berbondong-bondong memasuki kota-kota besar, sebagian lagi dibawa pulang sebagai tawanan perang yang kemudian di bagi-bagikan, dijual, atau bekerja untuk raja. Sementara yang lain dimasukkan ke kota-kota oleh para pedagang budak
            Di kota-kota niaga yang sedang tumbuh subur ini disusun kitab-kitab hukum pidana yang merupakan sumber rujukan terpenting. Mudah dipahami mengapa perbudakan menjadi sebuah masalah yang demikian banyak mendapat perhatian disebagian besar kitab-kitab hukum tersebut.
            Budak adalah satu-satunya barang berharga paling penting. Diperlukan hukum untuk mencegah mereka dibunuh, diperkosa, dicederai atau diculik, serta mengatur hak kepemilikan anak-anak mereka.
            Proses yang sama di Negara-kota Yunani juga menghasilkan antithesis tajam antara kaum budak dan orang merdeka yang pernah dikenal dunia.
Namun dalam situasi perkotaan ini pun karakter perbudakan Asia Tenggara senantiasa mempertahankan kekhasannya sendiri: hubungan majikan-budak mengikuti model kekerabatan dimana budak bebas mencari penghasilan tambahan untuk diri mereka sendiri, dan kecendrungan untuk membebaskan atau mengasimilasi generasi kedua budak-budak ini kedalam bentuk hubungan perhambaan yang lebih ambivalen.

Budak Milik Orang Eropa
            Ke dalam budaya perkotaan Asia Tenggara yang sedang mencapai puncak kejayaan komersial inilah orang Eropa datang sebagai saudagar dan kolonis, orang-orang Portugis dan Spanyol abad ke-16 dan orang-orang dari Eropa Utara pada abad ke-17. Seperti saudagar –saudagar India, Arab, dan Cina yang datang lebih dulu, mereka juga memperoleh tenaga kerja dengan cara-cara Asia Tenggara.
            Asia Tenggara merupakan bukti terpenting tentang bagaimana kolonis-kolonis Eropa mengambil-alih dan berinteraksi dengan system perbudakan Asia alih-alih memaksakan system mereka sendiri di sebuah ruang hampa sebagaimana di Dunia Baru atau Afrika Selatan. Kita mengasumsikan bahwa orang-orang Eropa terutama menghadapi sejenis tenaga kerja terikat di kota-kota Asia Tenggara yang mereka sebut “budak”, karena memang begitulah hamba sahaya ini dilukiskan oleh pendatang-pendatang lebih awal dalam berbagai bahasa yang dipakai sebagai bahasa perdagangan.
            Namun demikian orang Eropa, juga melihat bahwa kebanyakan budak diperlakukan sama seperti pelayan di Eropa, bahkan kadang-kadang lebih baik.
Pada awalnya mereka mencari budak dari tempat-tempat paling jauh, India, Arakan, Madagaskar, atau New Guinea. Untuk memperkecil budak melarikan diri akibat perlakuan yang barangkali tidak biasa mereka terima. Namun perlahan-lahan mereka mulai menyesuaikan diri dengan system perkotaan Asia Tenggara, dimana budak-budak diberi makanan dan pakaian yang memadai (ini berarti kemewahan) atau memperbolehkan budak mencari nafkah untuk memenuhi keburuhan mereka sendiri.
            Karena cemas tidak dapat mencegah bahaya pemberontakan atau pelarian besar-besaran, VOC pada 1625 melarang pemilik-pemilik budak Batavia merantai budak mereka atau memberi hukuman lebih dari sekedar “”hukuman sipil dan domestic” sebelum memperoleh izin terlebih dulu dari pihak berwenang.
Bagi oarang Belanda, sebagaimana pendahulu mereka di kota-kota Asia tenggara, perbudakan adalah alat untuk mendapatkan tenaga kerja kasar secara cepat di dalam lingkup perkotaan, dan utamanya generasi pertama budak yang ditempatkan pada posisi yang benar-benar rendah.

Hamba Kerajaan, Budak Pribadi
            Sebagaimana feodalisme yang membatasi pengumpulan pusat-pusat kekuasaan dengan cara membagi-bagi penguasaan atas tanah, sistem perbudakan “pribadi” dalam lingkup Asia Tenggara di batasi oleh pusat kekuasaan.
            Akin Rabibhadana (1969: 24-39) telah menunjukkan bahwa di Siam, sesustu yang juga berlaku di banyak negara, terdapat perjuangan yang berlangsung terus menerus antara raja dan para bangsawan berpengaruh untuk menguasai orang-orang.
            Beban corv’ee kerajaan yang sangat berat di Birma, Siam, dan (kadang-kadang) Kamboja menempatkan negara-negara ini pada satu titik ekstrem dalam spektrum Asia tenggara.
Di antara ketiganya, menghamba kepada raja adalah pilhan yang mungkin paling berat, membutuhkan satu setengah kali lipat tenaga kerja manusia di Siam. Tidak sulit memahami mengapa orang Siam sering dilaporkan menjual diri secara sukarela dalam perbudakan, khususnya pada masa-masa sulit, dan mengapa syarat pembelian seorang budak berbunyi “menolong (budak) dengan menebus” (Rabibhadana 1969: 110). Sebaliknya di dunia Melayu, kategori hamba raja sering berarti hak istimewa seseorang, karena pemerintah bersifat amatpersonal maka banyak kewenanganpenguasa dan kekebalannya juga pindah ke hamba-hambanya.
            Bila “perbudakan negara” ditetapkan sebagai satu-satunya jenis perbudakan yang diperbolehkan keberadaannya, maka lebih baik kita menyarankan untuk menghindari penggunaan istilah “budak” sama sekali. “Budak” merupakan sebuah kata yang sering disalahgunakan, bahkan oleh orang Asia Tenggara sendiri, untuk menggambarkan suatu hubungan yang hakikatnya pembayaran upeti antara negara taklukan atau masyarakat perbukitan yang bergantung secara ekonomi dengan negara-negara daratan rendah yang dominan.
            Walaupun raja kerap berusaha merendahkan saudagar-saudagar berpengaruh yang independen ini serta mencabut budak dan pelayan-pelayan mereka, raja tidak akan pernah berhasil melakukannya tanpa menhancurkan seluruh basis kemakmuran negara. Karena itu di kota-kota ini budak “pribadi” jauh mengingguli “budak negara” (termasuk budak-budak VOC di Batavia), sehingga budak-budak negara pu dianggap memiliki karakter sebagai harta milik yang dapat diperdagangkan.

Kehidupan Para Budak.   
            Para budak dilaporkan menjalankan semua jenis pekerjaan, sebagai petani, pemanen tanaman dagang, pelayan,pelaut, pekerja bangunan, pekerja tambang, buruh perkotaan, pengrajin, pekerja tekstil,penghibur, gundik, pembantu rumah tangga, pedagang eceran, saudagar juru tulis, penerjemah, tabib, serdadu, dan bahkan menteri-menteri yang dipercaya.
Namun, jika kita mempertimbangkan “cara produsi budak”, maka kita harus membedakan antara tenaga kerja budak yang di kelola secara terpusat dan memungkinkan suatu skala produksi yang tidak sapat dilakukan pada perekonomian berorientasi rumah tangga dengan mayoritas budak yang hubungan penghambaannya berangsur-angsur berubah menjadi semacam bentuk pelayanan atau anggota rumah tangga. Contoh jenis yang pertama pasti berasal dari kota-kota, dimana rumah tangga perniagaan paling makmur dipenuhi budak-budak yang berdagang, mengangkut barang, membuat kapal dan berlayar untuk kepentingan tuan mereka.
Peran para budak yang tampak mencolok adalah pekerjaan rumah tangga dan penghibur, dan di dalam peran itu status mereka sebagai budak sering ditegaskan karena menambah tinggi derajat status majikan mereka. Ketika orang-orang Belanda tiba di Banten, para bangsawan-saudagar istana sudah memiliki sejumlah budak yang senantiasa menghibur mereka setiap malam dengan menyanyi dan menari.
Peran domestik para budak tampak dominan pada abad ke-18 dan ke-19, khususnya di lingkungan rumah tangga oaring Eropa. Kehidupan budak disini mungkin lebih mudah dan lebih aman dalam arti fisik. Jenjang naik seorang budak selalu dengan menempelkan diri kepada seorang tuan yang kaya-raya dan berpengaruh.
Budak-budak biasanya diperlakukan tidak jauh berbeda dari anggota kelas-kelas sosial lebih rendah di setiap waktu dan tempat. La loubere(1691: 77) menghapus dengan baik masyarakat Siam abad ke-17: “Majikan memilih kekuasaan sepenuhnya terhadap budak, kecuali membunuhnya; dan ada banyak laporan bahwa para budak dipukuli dengan kejam (sangat mungkin di sebuah negeri dimana orang-orang merdeka pun bisa dicambuk dengan rotan) namun perbudakan disana begitu sanagat anggun atau, jika kalian mau, kebebasan adalah sesuatu yang sangat hina, sehingga ada pepatah bahwa orang Siam rela menjualnya demi mencicipi buah... Durian.
Tetapi tidak ada alasan untuk meragukan kesimpulan ilmuwan itu bahwa kehidupan material seorang budak jauh lebih baik ketimbang orang merdeka yang paling miskin. Menerima seorang budak berarti bersedia memenuhi kewajiban memberinya makan dan pakaian. Siam awal abad ke-19 dilaporkan memperlakukan budak-budak secara baik atau bahkan jauh lebih baik daripada perlakuan terhadap pelayan-pelayan di Eropa (Rabibhadana 1969: 110).
Bagi budak kesengsaraan paling nyata bukan hilangnya kebebasan atau kesjahteraan, melainkan kemungkinan dia dijual ketempat jauh di mana nasib lebih mengerikan sedang menantinya.
            Catatan-catatan perdagangan budak menegaskan bahwa mereka yang dikirim jauh dari tempat asal, dan barangkali juga dari kerabat keluarga, mesti dirantai untuk mencegah agar mereka tidak melakukan perlawanan terhadap penangkap mereka atau melemparkan diri dari geledak kapal. Sekali budak didapatkan oleh seorang pemilik dan dipekerjakan dalam lingkungan  baru, ikatan berupa rantai tersebut akan beralih wujud menjadi ikatan kebiasaan atau bahkan kasih sayang.
            Ada sejumlah kisah mengerikan dari Batavia dan Maluku tentang bagaimana penguasa-penguasa Belanda pada abad ke-17 dan ke-18 menghukum mati budak pelanggar aturan dengan cara paling keji, tetapi tampaknya mereka pun menjatuhkan hukuman serupa kepada orang-orang Indonesia merdeka atau orang Belanda yang memberontak.

Perdagangan Budak.
            Sebelum adanya surat perjanjian kerja yang berkembang pada abad ke-19, pergerakan orang tawanan dan budak merupakan sumber utama dari mobilitas tenaga kerja di Asia Tenggara.
Akan sedikit lebih mudah mengukur kontribusi perdagangan budak terhadap penduduk kota, karena tawanan-tawanan perang sering didatangkan melalui laut dalam kapal-kapal angkut yang besar. Tampaknya hanya ada sedikit keraguan bahwa kebanyakan penduduk perkotaan Asia Tenggara (tidak termasuk orang Cina, India, Eropa, dan sebagainya) menjelang tahun 1820 didapatkan dalam keadaan tertawan, apakah melalui perdagangan budak atau perang.
            Sebagaimana diperlihatkan oleh Sutherland (1983), kaum budak merupakan mayoritas penduduk Makassar-Belanda abad ke-17 dan ke-18. Juga di Batavia, kaum budak selalu merupakan mayoritas penduduk di sebelah dalam benteng kota, orang-orang Indonesia yang merdeka agaknya masih sangat langka.
            Penyumbang terbesar penduduk Batavia berasal dari Sulawesi Selatan. Selama 30 tahun pertama keberadaan Batavia, budak-budak India dan Arakan merupakan tenaga kerja utama (Iwao 1970: 7; Haan 1922, I: 452; Sutherland1983), namun setelah itu orang-orang Indonesia bagian timur didatangkan dan menjadi mayoritas budak-budak Batavia yang lambat-laun berubah status menjadi orang merdeka.
            Jumlah budak yang dikirim ke wilayah-wilayah permukiman Inggris di Penang dan Singapura sulit dihitung karena perdagangan budak secara resmi dihaous pada 1807 dan perlakuan larangan impor budak beberapa waktu sebelumnya.
Kebanyakan budak tersebut adalah kaum perempuan, dan sebaimana ditegaskan oleh Anderson (1826: 298) perdagangan budak “merupakan keuntungan sanagt besar bagi Penang dalam memperoleh penduduk perempuan.” Sensus Singapura 1830 memperlihatkan 4.421 orang perempuan “Bugis dan Bali” jauh melebihi prianya yang hanya berjumlah 1.048 orang (Khatirithamby-Wells 1969: 71n) dan sedikit yang menyangsikan bahwa hampir semua perempuan ini dijual sebagai istri dan gundik penduduk pria.
            Keseluruhan pola perdagangan budak melalui jalan laut secara sekilas dapat di bagi menjadi tiga titik yang berbeda dalam sejarahnya. Pada wal abad ke-16, menurut Tome Pires (1515) dan sumber-sumber portugis lainnya, kota-kota Melaka, Ayutthaya (Siam), Pasai dan Brunei merupakan pengimpor budak terbesar dan Jawa, pasti karena berkaitan dengan Islamisasi, merupakan pengekspor budak terbesar.
            Akhirnya, karya cermat James Warren (1981 khususnya halaman 208) mempermudah kita untuk memahami skala perdagangan budak akhir abad ke -18. Sulu dan Batavia mendominasi perdagangan budak di Nusantara.

C. Penghapusan Budak.
            Kemunduran perbudakan sebagai suatu pranata sedikit berhubungan dengan tumbuhnya kesadaran moral. Moralitas yang patut di contoh dapat pula dilihat dalam ikatan hubungan perhambaan vertical serta perlawanan terhadapnya atas nama kesetaraan. Ada dua factor structural yang kelihatan berperan penting dalam jangka panjang. Pertama, Negara, baik dalam bentuk colonial maupun nasiaonal, semakin mengendalikan seluruh rakyat di bidang hukum, poitik, kemiliteran, dan perpajakan yang dalam system perhambaan menjadi tanggung jawab masing-masing patron. Kedua, pertambahan jumlah buruh-tani tunakisma miskin membuat kerja upahan dan system eksploitasi menjadi lebih murah dan lebih efisien.
            Pemerintahan Eropa mulai mengambil langkah menentang perbudakan di kolono-koloni mereka pada permulaan abad ke-19. Perdagangan budak secara teoritis dilarang oleh parlemen Inggris pada 1807, dan pelarangan serupa diberlakukan atas Perancis dalam perjanjian Wina tahun 1815. Negeri Belanda bergerak kea rah yang sama ditanah-tanah jajahannya pada 1818. Belanda tidak menganggap perbudakan sebagai suatu kegiatan illegal di koloni-koloninya sampai dengan tahun 1860.
            Penghapusan perbudakan secara berangsur-angsur bukan berarti pasar bebas kerja upahan sudah berjalan di Asia tenggara. Sejauh tersedia kerja upahan di abad ke-19, orang-orang asia tenggara sendiri agaknya menilai kerja upahan sebagai sesuatu yang sama sekali asing dan dianggap merendahkan derajat manusia.




BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

            Dari uraian di atas, dapat d iambi dua kesimpulan umum. Pertama, system perburuhan Asia tenggara sepanjang cacatan sejarahnya lebih didasarkan kerja wajib untuk kepentingan kreditur, majikan atau tuan. Kedua, perhambaan yang layak diakui sebagai bentuk perbudakan muncul dari pola dasar lebih luas dan dalam situasi tertentu mengambil peran utama dalam bidang ekonomi dan politik.
Karena bentuk perbudakan semacam itu tidak bias di pisahkan secara ketat dengan ikatan perhambaan yang terkadang sama-sama menindas, maka dia adalah varian “ringan” dari rumpun perbudakan yang universal.
            Namun, istilah budak untuk orang-orang terikat yang mengandung karakter sebagai harta-milik agaknya tetap perlu dipertahankan. Hal ini khususnya terjadi saat budak dijual kepada orang luar. Budak adalah orang bergerak yang dapat diperjual belikan. Melalui proses jual-beli, ratusan ribu orang Asia Tenggara dikirim kesegala penjuru sampai Afrika Selatan dan Meksiko (budak Filiphina diangkut dengan kapal-kapal galai Manila kuno).
            Akhirnya, perbudakan selayaknya diperlakukan sebagai konsep lintas budaya karena merupakan, sama seperti perdagangan dan peperangan, sebuah corak interaksi diantara orang-orang yang berbeda bahasa dan budaya.
            Kita dapat menggali berbagai persoalan lain yang lebih menarik tentang watak perbudakan yang menempatkan utang, kesetiaan, kehormatan, dan charisma begitu sangat khas. Dengan cara seperti itu kita bisa menerangkan kehidupan rakyat lapisan terendah dari masyarakat Asia Tenggara pramodern.

B. Saran
            Perbudakan di Asia Tenggara adalah suatu fenomena yang terjadi terhadap kaum bawah. Perbudakan terjadi disebabkan karna kemiskinandan lain-lain. Banyak sekali tulisan-tulisan yang menceritakan terjadinya perbudakan di Asia Tenggara, terutama yang ditulis oleh orang-orang eropa yang pernah menapakkan kakinya di Asia Tenggara. Tulisan-tulisan tersebut lebih mengarah kepada keburukan kaum bawah di Asia Tenggara pada abad 18-19. saran yang terbaik adalah untuk sejarawan, pelajar, dan lain-lain untuk mencari kebenaran terhadap fakta terjadinya perbudakan di Asia Tenggara dan menganalisanya dengan baik.




DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, Sartono. 1998. Pengantar Sejarah Baru 1500-1900, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Asia Tenggara,Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

No comments:

Post a Comment