Wednesday 18 March 2015

ACEH IS ONE OF THE CAPITAL REGION IN INDONESIA (ACEH DAERAH MODAL)


ACEH DAERAH MODAL,

SEBUAH " ALTERNATIF "
• Gara - gara " Renville " 
• Rl " Ditikam " Dari Belakang. 
• Lahirnya PDRI. 
• Mandat Untuk Dr. Sudarsono di India. 
• Kolonel Hidayat, Panglima Sumatra. 
• " H. J. Bop " Sang Panglima. • " Angan - angan " Van Mook. 
• Aceh Daerah Modal.

Gara-gara "Renville" Lahirnya persetujuan Renville yang ditandatangani tanggal 17 Agustus 1948, ternyata telah menimbulkan pro-kontra yang menjurus ke arah retaknya persatuan di kalangan republikein. Dalam persetujuan diakui kekuasaan de jure Belanda atas Indonesia dan Belanda mengakui kekuasaan de facto Indonesia atas pulau Jawa dan Sumatera. Disetujui juga penarikan gerilyawan dari kantong-kantong dan disyahkan apa yang disebut "Garis Van Mook" yang merugikan Tentara Nasional Indonesia. Reaksi yang tajam ditujukan kepa^' i Mr. Amir Sjarifuddin, Perdana Menteri, yang menandatangani persetujuan itu dari pihak Indonesia. Begitu sengitnya reaksi dan koreksi, sehingga kabinet Amir Sjarifuddin bubar. Tanggal 29 Januari 1948 segera terbentuk kabinet Hatta untuk menanggulangi perpecahan dan keadaan khaos yang menimpa kehidupan politik dan ekonomi Indonesia. Mr. Amir Sjarifuddin, yang tadinya bertanggung jawab sebagai penandatangan persetujuan Renville, akhirnya turut menentang dan bersama Front Demokrasi Rakyat (yang kiri) melakukan oposisi yang tajam terhadap Kabinet Hatta. Dalam dua buah perundingan yang melahirkan persetujuan Linggarjati dan Renville, jelas Belanda memaksakan kehendaknya. Perundingan tersebut tidak lebih dijadikan sebagai taktik untuk menarik nafas guna mempersiapkan aksi meliter berikutnya, diiringi konsolidasi ekonomi, militer dan politik Belanda. Pasca perundingan "Linggarjati", secara politik Belanda mencoba melemahkan posisi R l dengan mendirikan negara bonekanya di kawasan Indonesia bagian Timur, seperti "Negara Indonesia Timur" dibentuk tanggal 25 Desember 1946. "Negara Kalimantan Timur" dibentuk Van Mook tanggal 12 Mei 1947 dan "Negara Borneo Tenggara" dibentuk 27 Mei 1947. Pasca perundingan "Renville" upaya Belanda mengepung R l dengan mendirikan sejumlah negara "boneka" di daerah de facto R l , yaitu di pulau Jawa dan Sumatera. Negara Madura dibentuk tanggal 23 Januari 1948. Negara Sumatera Timur dibentuk tanggal 24 Maret 1948. Negara Pasundan dibentuk Tanggal 26 April 1948. Juga Negara Jawa Timur dan Negara Sumatera Selatan turut menyusul. 
Di Aceh, Van Mook menyebarkan pamflet dari udara yang berisi ajakan membentuk Negara Islam Aceh lepas dari RL Selebaran itu dibakar karena menghina Aceh oleh Tgk. Mohd. Daud Bereueh. Republik Indonesia "Ditikam" Dari Belakang Upaya Belanda untuk realisasi persetujuan yang dibuat di atas kapal Renville di Teluk Jakarta, tampak jelas hendak mengisolir R l dari negara-negara "boneka" yang mengadakan "Konperensi Federal" di Bandung tanggal 29 Mei 1948. Selanjutnya dalam pertemuan tanggal 12 Juli 1948 kaum federal ini menyetujui apa yang disebutnya "ResolusiBandung", yang mengharapkan tanggal 1 Januari 1949 Negara Indonesia Serikat (NIS) telah terbentuk dengan "Mahkota Belanda" duduk di atas sebagai pimpinan beranggotakan Rl dan anggota BFO. Dalam konsep ini juga dijelaskan peranan kedepan akan diatur oleh Tentara Federal. Tentu saja konsepsi ini tidak dapat diterima oleh Republik dan Belanda tampak mulai memperlihatkan belangnya. Dalam konteks ini Panglima Besar Sudirman mengeluarkan sikap dan garis Angkatan Perang R l , sebagai berilkut: 1. Tentara Federal ditolak di bawah komando/pimpinan tentara Belanda atau asing. 2. Tentara R l wajib berdiri tegak sebagai satu tentara dari satu negara yang merdeka dan berdaulat. 3. Jika dalam susunan Negara Indonesia Serikat dibentuk tentara Federal, maka Tentara R l lah yang harus dijadikan eksponen dan tenaga intinya. Melihat wibawa dan kepemimpinan Soekarno-Hatta masih dapat mengungguli tokoh-tokoh kaum Federal bentukan Van Mook. Dengan lain perkataan, jiwa nasionalis asli masih mekar dalam jiwa dan dada putera-putera di daerah BFO, maka konsep Van Mook untuk menghadapkan Soekarno-Hatta dengan rekan-rekannya di daerah menjadi gagal total. Negara RIS kemudian berbalik dan semua sepakat kembali ke Negara Kesatuan R l , kecuali Sultan Hamid seorang yang membangkang. Kecenderungan yang di luar perkiraan Van Mook ini, menyebabkan perundingan untuk merumuskan pelaksanaan persetujuan Renville yang berat sebelah, mengalami jalan buntu. Kekecewaan Belanda ini mulai terlihat jelas ketika Kabinet Belanda menyatakan sejak tanggal 11 Desember 1948 tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville. Disusul pernyataan Wakil Tertinggi Mahkota Belanda di Indonesia Dr. Beel, yang menggantikan kédudukan Dr: Van Mook, secara resmi menyatakan Belanda tidak mengakui lagi persentujuan Renville. Kemudian datanglah hari yang naas itu, tanggal 19 Desember 1948 pukul 03.00 Letnan Jenderal S.H. Spoor memerintahkan pasukannya menyerbu Yogyakarta dan menangkap Soekarno-Hatta. Pasukan Belanda di semua front di Jawa dan Sumatera diperintahkan melabrak garis status quo secara blizkrieg dengan sekaÜ pukul diharapkan dapat menghabiskan perlawanan TNI dan sekaligus melumpuhkan Republik Indonesia. Kecuali satu-satunya front yang tidak diserang serdadu Belanda pada awal agresi militer kedua itu adalah sektor barat/utara front Medan Area yang dipertahankan oleh R I M A pasukan dari Aceh. Tapi pantai-pantai pesisir Aceh di bagian utara tidak luput dari intaian patroli kapal laut Belanda yang saling baku tembak. Nafsu Belanda untuk menghabisi Republik tak pernah kendor. Bahkan pukulan itu diberikannya pada saat Republik sedang menghadapi pemberontakan PKI-Muso di Madiun, yang terjadi tanggal 18 September 1948. Dua buah serangan yang ditujukan kepada Indonesia dari dalam (PKI-Muso) dan dari luar (agresi militer kedua Belanda) benar- benar merupakan ujian yang berat. Namun Republik Indonesia tetap survive, tetap hidup dan berjaya. Karena seluruh rakyat sudah bangkit kesadaran nasionalnya, tahu kewajibannya dan sama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa-negara. Biar Soekarno-Hatta ditangkap oleh serdadu Belanda di Yogyakarta. Biar para pemimpin Republik lainnya ditawan oleh Belanda, tapi rakyat dan ABRI di bawah pimpinan Jenderal Sudirman berjuang terus, siap bergerilya bertahun-tahun sampai Belanda yang kewalahan dan mundur sendiri. Karena rakyat sudah bergerak, bertindak, akhirnya pemberontakan PKI-Muso di Madiun dapat digulung. Begitu juga serbuan agresi militer Belanda dihadapi dengan teknik yang spesifik. Yaitu perang gerilya jangka panjang. Pokoknya mereka boleh masuk hanya sebatas kota-kota saja. Karena mereka menyerang dengan senjata moderen yang tak seimbang dengan persenjataan kita. Kita perlu melakukan penyesuaian, memetik pengalaman dari agresi militer pertama sebelumnya. Kalau dalam agresi militer pertama, pasukan kita mundur secara terburu-buru karena kaget, maka dalam agresi militer kedua, pasukan kita mundur secara teratur. Dari lokasi baru itulah disusun perlawanan gerilya, yang membuat pasukan Belanda terbirit birit mengcover luasnya wilayah dan terbatasnya sumber daya manusianya. Sepanjang tahun 1948 nyata sekali Belanda lebih agresif melakukan upaya untuk membungkam dan melumpuhkan Republik. Terutama sejak ditandatanganinya persetujuan "Renville", di bawah tekanan Belanda yang ambisius. Perundingan dan pertempuran adalah dua media yang dipakai Belanda untuk menghapus R l dari peta dunia. Tapi upaya kolonial itu gagal total. Lahirnya PDRI Untuk mengantisipasi situasi politik dan militer yang semakin genting menghadapi Belanda; sebuah sidang kabinet Rl'telah membahas dan mempersiapkan rancangan dibentuknya pemerintahan darurat Republik Indonesia di Sumatera atau di India (luar negeri). Tindakan ini diambil, bilamana serdadu Belanda menyerang dan menduduki ibukota R l di Yogyakarta. Sidang kabinet tersebut dipimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. Ternyata ramalan itu menjadi kenyataan. Ibu kota R l di Yogyakarta diserbu secara tiba-tiba dan terus dikuasai serdadu Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta bersama Haji Agus Salim ditahan dan diasingkan ke pulau Bangka. Para anggota kabinet lainnya ada juga yang sempat ditangkap, tapi yang terbanyak menyingkir ke luar kota untuk berjuang. Jenderal Sudirman yang sedang dalam keadaan sakit memutuskan hijrah ke pedalaman bersama rakyat untuk memimpin perang gerilya. Sebelum Soekarno-Hatta ditawan, masih sempat mengirimkan intruksi kepada Menteri Kemakmuran Rl Sjafruddin Prawira Negara, yang sedang berada di Bukit Tinggi. Isi instruksi tersebut bersifat khusus dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta, sebagai berikut: "Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan, bahwa pada hari tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi Belanda telah mulai serangannya Ibukota Jogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawira Negara, Menten Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera". Yogyakarta, 19 Desember 1948 Presiden Wakil Presiden Soekarno Muhammad Hatta Mandat Untuk Dr. Sudarsono di India Di samping instruksi untuk Mr. Sjafruddin Prawira Negara di Bukit Tinggi, Dwi Tunggal Soekarno-Hatta memberikan juga mandat kepada trio Dr. Soedarsono-Palar-Maramis dengan alamat New Delhi, India. Bunyi mandat, sebagai berikut: Pro : Dr. Soedarsono-Palar-Maramis, New Delhijndia. Kami Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948jam pagi, Belanda telah mulai seranganya atas Ibukota Yogyakarta. Jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawira Negara untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk "Exile Government of Republik Indonesia " di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya. Yogyakarta, 19 Desember 1948 Presiden Wakil Presiden Soekarno Mohammad Hatta Seperti diketahui, kedua mandat yang dikeluarkan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta untuk Sjafruddin di Bukit Tinggi dan Soedarsono dan kawan kawan di India telah pernah dibahas dalam sebuah sidang kabinet Yogyakarta dan telah disepakati bersama. Pertimbangan mengambil kesimpulan tersebut, didasarkan kepada adanya indikasi yang jelas, bahwa perundingan demi perundingan dengan Belanda selalu diliputi jalan buntu. Suatu waktu mereka pasti akan melakukan agresi untuk memberi pukulan kepada Republik. Antisipasi "Founding Fathers" itu tepat. Apa yang diramalkan sebelumnya jadi kenyataan. Dengan kata lain, Bapak-bapak Pendiri Kemerdekaan Indonesia itu, telah siap menghadapi segala kemungkinan yang datang dari pihak kolonial Belanda. Termasuk agresi Belanda yang kedua itu. Ada terbetik berita kemudian, bahwa Mr. Sjafruddin tak pernah menerima instruksi di atas dari Soekarno-Hatta. Tapi karena masalah itu pernah dibahas dalam sidang kabinet, maka keputusan itulah yang dijadikan pegangan dan pedoman bertindak pada waktunya. Sebagai tindak lanjut instruksi Presiden Rl tersebut, tanggal 28 Desember 1948 Mr. Sjafruddin Prawira Negara mengadakan rapat pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Rapat diadakan di sebuah kantor di lingkungan perkebunan teh di wilayah Halaban, kabupaten 50 koto, dihadiri oleh rombongan Menteri Sjafruddin yangberkunjung ke Sumatera Barat dan para tokoh masyarakat setempat. Dalam rapat itu Mr. Sjafruddin Prawira Negara mengumumkan susunan PDRI, sebagai berikut: 1. Mr. Sjafruddin Prawira Negara. Ketua PDRI merangkap Menteri Penerangan/Luar Negeri 2. Mr. T. Mohammad Hassan. Wakil Ketua PDRI merangkap Menteri Dalam Negeri/ Menteri PPK dan Menteri Agama. 3. Mr. St. Mohd. Rasjid. Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial/Menteri Pembangunan dan Pemuda. 4. MrLukman Hakim Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman. 5. Ir. M. Sitompul Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan. 6. Ir. Indracaja Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran. 7. Maryono Subroto Sekretaris Kabinet PDRI. Ibukota PDRI mula-mula ditetapkan di Bukit Tinggi. Bulan Agustus 1949 dipindahkan ke Kutaraja (Aceh) karena Sumatera Barat dikepung pasukan Belanda, sehingga PDRI berpindah-pindah menghindari serangan pasukan Belanda, yang akhirnya hijrah ke Kutaraja (Banda Aceh sekarang) (49-*). Kolonel Hidayat, Panglima Sumatera. Untuk memutar roda pemerintahan PDRI, Mr. Sjafruddin Prawira Negara telah menginstruksikan kepada seluruh aparatur pemerintahan yang masih berfungsi untuk melanjutkan tugas-tugas yang rutin. Sedangkan tugas koordinasi untuk pulau Jawa dibentuknya Komisariat PDRI pimpinan lima serangkai Susanto Tirtoprojo, SH., I.Y. Kasimo, K.H. Masjkur, Supomo dan R.P. Suroso. Pimpinan Angkatan Perang tetap dikukuhkannya Jenderal Sudirman sebagai Panghma Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. (APRI). Panglima Tentara & Teritorium Jawa, Kolonel A.H. Nasution, Panglima Sumatera R. Hidayat menggantikan Suharjo Hardjo Wardoyo, Letnan Jenderal. Kolonel laut M. Nazir memimpin Angkatan Laut. Kolonel Udara H Sujono memimpin Angkatan Udara dan Komisaris Polisi Umar Said memimpin Kepolisian Negara. Mr. S.M. Amin ditetapkan sebagai komisaris Sumatera Utara. Sedangkan Jenderal Mayor Tgk. Mohd. Daud Bereueh dikukuhkan sebagai Gubernur Militer Aceh Langkat dan Kabupaten Karo. Dr. F.L. Tobing ditetapkan sebagai Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur bagian Selatan. "HJ. BOP" Sang Panglima Melihat upaya Belanda semakin gencar memperluas daerah pengaruhnya di Sumatera Timur bagian Selatan, maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Panglima Divisi X TNI Komandemen Sumatera, Kolonel Husin Jusuf untuk melakukan konsolidasi seluruh pasukan dalam jajarannya, terutama pasukan yang bergerilya di kabupaten Langkat dan Tanah Karo. Dua wilayah kabupaten Sumatera Timur yang termasuk dalam slogarde Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Panglima Husin Jusuf, yang akrab dengan panggilan "HJ. Bop" (Husin Jusuf Bopeng, wajahnya penuh bopeng-bopeng) terus menerus melemparkan pasukan gerilya rakyat dan para pejuang ke kancah pertempuran di front Langkat Area dan front Tanah Karo. Taktik perang gerilya dalam rangka pertahanan rakyat semesta ini cukup efektip dan membuat pasukan Belanda kewalahan, untuk mengalihkan perhatian, Belanda menempuh siasat baru dengan mengadakan serangan dari belakang berupa pemboman dan penembakan yang gencar dari uadara dan kapal laut. Kota-kota yang menjadi sasaran utama adalah Langsa, Lhok Seumawe, Sigli dan Kutaraja. Karena pertahanan pantai kita cukup tangguh, serangan dan penembakan Belanda selalu dapat dihalau. Sekedar mengidentifikasi pertahanan pantai dan pertahanan udara, sesuai dengan rencana taktis Komando Divisi X TNI, maka lokasi Battery-Battery artileri dari Komando Artileri Divisi X cukup handal/mantap. (Lihat buku "Dua Windhu Kodam-I/Iskandar Muda" halaman 150/Buku "Pasukan Meriam Nukum Sanany5 halaman 269-270 dan Kisah Pelaku Sejarah Buchary AS, Mayor Purn. dengan judul "Peranan dan Perkembangan Artileri dalam Revolusi Fisik di Daerah Aceh 1945-1950"). Organisasi Kesatuan Artileri Divisi X TNI adalah sebuah kesatuan yang disegani oleh pesawat pemburu-pemburu Belanda, terutama yang berlokasi di Lhok Nga dan Kutaraja sekitarnya. Sebagai Komandan Kesatuan Artileri/alat-alat berat artileri adalah Mayor Nyak Neh (Mantan Panglima Divisi Rencong). Wakil Komandan Kapten Nukum Sanany (TRI/TNI). Dibawahnya terdapat empat battery yang mengawal pertahanan udara dan pantaipantai strategis. a. Battery I Terletak di sekitar ibukota propinsi Tanah Rencong, yaitu Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Komandannya Letnan Satu Jalaluddin (TRI). Tugasnya mengawal dan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan serangan tiba-tiba dan menghambat/memberikan perlawanan bilamana musuh mencoba lakukan serangan ke ibukota, Tanah Rencong. Daerah steling Battery I diperkuat oleh berbagai bentuk senjata berat seperti 2 (dua) pucuk meriam 25 ponder kaliber 9 cm. Menempati daerah kampung Cot Gu di sebuah lereng gunung yang strategis sekitar 7 km dari Kutaraja. Sebelumnya di daerah ini ditempatkan hanya sebuah 18 ponder di Pantai Ladong. 1 (satu) pucuk meriam pertahanan udara (PSU) boffors kaliber 40 mm menempati Kampung Lham Peunerut, Simpang Empat ke Cot Gu- Lhambaro-kota-Mate'ie. Sebelumnya ditempatkan di Simpang Tiga Lham Nyong. Komandan pucuknya Buchari AS (Mayor Purnawirawan) sekarang masih hidup segar bugar di jalan Binjai, Medan. b. Battery III Mengkover sektor Ulee Lheue, Lhok Nga sampai ke Lhok Seudu (jaraknya sekitar 30 km). Komandannya Letnan Dua Abdul Syam. Tugasnya mempertahankan lapangan terbang militer Lhok Nga, pelabuhan kapal Ulee Lheue dan Kutaraja dari serangan udara. Menembaki semua kapal perang musuh yang berani mendekat ke perairan wilayah pantai Aceh. Daerah steling Battery III diperkuat oleh 2 (dua) pucuk meriam penangkis serangan udara (PSU) kaliber 7 cm masing-masing berada di bukit Gura dan bukit Glee Genting. Kedua pucuk meriam ini dipimpin M.D. Nurdin. Kemudian 2 (dua) pucuk meriam lagi (PSU) 7 cm masing- masing terletak di bukit Kedei Bieng dan Aneuk Glee. Kedua pucuk meriam ini dikawal oleh Divisi Rencong Lhok Nga. Selanjutnya 2 (dua) pucuk meriam (PSU) kaliber 20 mm laras kembar (pom-pom) khusus mengamankan lapangan terbang Lhok Nga. Yang satu pucuk diberi beroda empat agar dapat ditarik dan berpindah-pindah tempat. Masih ada 2 (dua) pucuk meriam pengawal pantai kaliber 15 cm. Satu pucuk terletak di pantai Lham Po'uk dan satu lagi diberi roda empat ditempatkan di pantai Lhok Seudu (jurusan Aceh Barat). Ada sebuah pertempuran yang menarik di Glee Gura (Bukit Gura). Glee Gura adalah sederetan bukit-bukit yang membentang antara Lhok Nga dengan pelabuhan Ulee Lheue di pantai Kutaraja. Diantara lereng Glee Gura terdapat satu bukit kecil yang strategis. Pandangan sangat indah menembus pantai Ulee Lheue dan sebagian pantai bagian barat Lhok Nga. Bukit kecil itu dinamakan Glee Seumpi. Di sinilah steling meriam PSU didudukkan agar dapat dengan mudah menembak kapal perang yang berani lalu lalang di perairan atau pun pemburu mustang Belanda yang sering melintas dari arah Sabang menuju Ulee Lheue. Sebutan Glee Seumpi jarang didengar, yang lebih popuier dikenal Glee Gura. Atau lengkapnya disebut Pos Pertahanan meriam 18 ponder di Ujong Batee. Hanya bedanya benteng Ujong Batee lebih menjorok ke laut. Pertempuran bermula dari serangan sebuah kapal perang jenis Jan Van Gallen. Terjadi di subuh hari dalam bulan puasa tanggal 12 Juli 1949. Tiba-tiba kapaLperang-Belanda memuntahkan pelurunya menghujani pantai dan pelabuhan Ulee Lheue. Juga tak luput menjadi sasaran asrama tentara. Dalam asrama tentara tersebut terdapat juga sejumlah tentara Jepang yang berpihak kepada RL Seorang diantaranya bertindak sebagai penasehat teknis senjata berat, namanya Bustami. Tadinya bernama Itami San. Komandan Artileri Ulee Lheue, Letnan M.D. Nurdin bersama Bustami segera menyusun suatu steling bayangan (tipuan) dari pantai Ceuremin sampai ke pantai pulau Lham Tong. Di bekas benteng Jepang pantai Ceuremin dibuat meriam bayangan dari batang kelapa. Juga di sejumlah tempat di tepi pantai Ulee Lheue dibangun hal yang sama. Di tiap-tiap benteng meriam diletakkan bom-bom beneran, yang dapat dibedakan dengan tali penarik jarak jauh, seolah-olah meriam asli sedang menembak persis dengan bunyi ledakan sebuah meriam yang memuntahkan pelurunya. Aksi seperti ini memang sudah sering dilakukan dan selalu dalam keadaan siap. Bersamaan dengan serentetan ledakan meriam yang bersahut-sahutan dari pantai Aceh, menggelegar pula dentuman meriam benaran dari Glee Gura. Melihat gencarnya tembakan dari pantai akhirnya kapal perang Belanda itu menarik diri. Namun sesaat kemudian muncul di udara empat buah pesawat terbang Mustang yang bercocor merah. Pertempuran berkecamuk tak dapat dielakkan. Dengan gagah berani pelayan-pelayan meriam di Glee Gura pimpinan Sersan Hamzah Saat dengan cekatan menembakkan pelurunya dibantu oleh senjata berat dari Battery I, sehingga akhirnya pesawat Mustang itu kabur ke arah pulau Sabang. Bantuan tembakan dua meriam 25 ponder kaliber 9 cm dan 1 pucuk meriam penangkis serangan udara (PSU) dari basis Kampung Lham Peunerut cukup efektif. Tampak sebuah di antara pesawat pemburu terkena tembakan dari bawah dan asap mengepul dari salah satu sayapnya. Karena parahnya diduga pesawat itu jatuh ke laut sebelum mencapai pulau Sabang. Kerugian di pihak kita seorang prajurit bernama Jakfar syahid dan prajurit Ali Diman menderita luka berat/cacad. Sewaktu kunjungan Bung Karno ke Tanah Rencong, tidak lama setelah Negara Kesatuan terbentuk, beliau sempat memberikan Bintang Gerilya kepada prajurit A l i Diman. Konon inilah bintang Gerilya pertama yang dianugerahkan Presiden Soekarno kepada seorang pejuang 45 di bumi Iskandar Muda. Selama konfrontasi dengan Belanda dalam agresi militer II, Battery III di Lhok Nga saja mengalami tidak kurang dari 40 kali serangan/pertempuran laut dan udara dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain, kapal perang sejenis "Jan van Gallen" tembus bagian badannya kena tembakan dan deknya hancur. Kapal "Jan van Bukker" rusak dan runtuh deknya bagian belakang. Kapal Patroli "Banda" rusak dan terbakar. Sebuah pesawat terbang "Yager" kena tembak dan masuk laut. Sebuah pesawat terbang Catalina kena tembak sebuah mesinnya dan ngacir ke Sabang (50-*). c. Battery II Lokasinya di Rantau, Kuala Simpang, Aceh Timur. Komandannya Kapten Nukum Sanany. Tugas mengawal keamanan udara dan pantai di kabupaten Aceh Timur, Langkat Area dan KSBO. Menghambat • dan memberikan perlawanan terhadap musuh yang datang dari arah Sumatera Timur dan pantai. Bila mungkin menyerang pasukan musuh dan menghancurkannya di tempat. Senjata yang dipakai meriam 18 ponder kaliber 7,5 cm lapangan dan sejumlah meriam kaliber 15 cm pantai diberi roda agar mudah bergerak. Tugasnya antara lain mengamankan pantai Serang Jaya, Serue, pantai Buga dan Pulo Kampai (Aceh Timur). Sementara meriam-meriam buatan sendiri dipersiapkan untuk membantu daerah Pangkalan Berandan (KSBO). Dan mengamankan kilang minyak di Rantau, Kuala Simpang. Karena hasil penyulingan minyak/BBM sangat dibutuhkan untuk daerah Aceh, Sumatera Timur. Dalam pembentukan Resimen Artileri, komposisi Battery II yang di Kuala Simpangtidak mengalami perubahan. Sedangkan di Kutaraja juga dibentuk Battery II dibawah koordinasi Kapten Nukum Sanany. Tugasnya menghambat dan menghancurkan serangan udara di daerah Aceh Besar khususnya Kutaraja serta menghancurkan setiap usaha pendaratan musuh di pantai barat dan utara Aceh Besar. Persenjataan Battery II tergolong banyak, terdiri dari beberapa buah meriam pantai kaliber 15 cm peninggalan Jepang yang tersebar di antara wilayah Lhok Nga, Deyah Baru dan Ulee Lheue. Battery II juga mempunyai meriam penangkis serangan udara 80 mm yang tersebar di bukit-bukit Glee Genting, Glee Gura, Glee Deyah Baru, Glee Kueh. lapangan udara Lhok Nga serta daerah antara Glee Genting dan Geuce. Pertahanan penangkis serangan udara ini diperkuat dengan mesin berat 12.7. kecuali itu juga mereka mempunyai meriam-meriam yang bersifat mobil, terdiri dari meriam anti tank, mortir 50 mm dan dua buah meriam tomong serta sejumlah senapan mesin ringan. d. Battery Istimewa Battery ini dinamakan "Kumbang Hitam" dibangun untuk menunjang dan kerjasama dengan Battery I. Keempat Battery tersebut menjalin kerjasama yang baik dengan infanteri dan genie. Senjata yang digelarnya tiga pucuk meriam gunung kaliber 90 mm. Di samping dua mortir kaliber 50 mm, sepucuk senapan mesin berat 12.7 dua pucuk stengun, sepucuk senapan mesin ringan, 20 pucuk senapan serta sejumlah trekbom ukuran 50 kg dan sejumlah ranjau-ranjau darat. Bertindak sebagai komandan Battery ini, Pembantu Letnan Satu Rustam dengan 60 orang pasukan, yang separohnya terdiri dari Tentara Pelajar. Begitu struktur organisasi, taktik dan strategi perjuangan Resimen tersusun, diputuskan membentuk Markas Komando di daerah Geuce dan diaktifkan latihanlatihan yang teratur dan intensif. Markas Komando Artileri di Geuce dibuat semoderen mungkin untuk mengimbangikemajuan-kemajuan lawan yang bergerak cepat dan mampu dipantau semestinya. Peralatannya lumayan ukuran masa itu, cukup lengkap ditinjau dari segi teknisoperasional. Markas ini memiliki telepon sendiri dan punya kontak langsung seWaktuwaktu dengan seluruh meriam. Atau pun dengan komandan resimen Artileri. Juga dilengkapi peta operasi dan peralatan radio untuk memonitor berbagai informasi dan situasi di front pertempuran serta pengiriman sandi-sandi yang diperlukan. Tugas ini dilakukan asisten operasi Pembantu Letnan Dua, Amran Zamzami serta ajudan Sersan Mayor M. Jusuf. Pembentukan Markas Komando Artileri yang modern ini, adalah juga merupakan persiapan untuk mengantisipasi perang jangka panjang yang memiliki kemampuan ofensif sekaligus -Mensif. Demikian kisah pelaku sejarah Nukum Sanany, Kolonel Purn. Setelah agresi militer II, serdadu Belanda lebih banyak melakukan serangan udara dan laut di kabupaten Aceh Besar, di pantai Sigli, Langsa dan Kuala Simpang. Maksudnya tentu untuk menarik pasukan KSBO ke belakang. Tapi perhitungan Belanda itu keliru. Panglima Aman Dimot Laskar Aceh di RIMA, Langkat Area dan KSBO kini sasarannya merebut kembaü posisi yang terlepas di Langkat Area dan Karo Area. Pasukan RIMA kini menjadi lebih agresip melakukan "hit and run" (pukul dan lari). Menghadang patroli Belanda, menyerang polisi onderneming/perkebunan. Pertempuran di Tanah Karo hampir tak pernah sunyi di Tiga Binanga, Kutabuluh, Pamah, Lau Rambung dan Sidikalang. Sebuah pertempuran yang sengit meiedak ketika convoi Belanda dihadang di tikungan jalan Sukaramai di pinggiran Kaban Jahe. Barisan Gurilla Rakyat (BAGURA) dari Gayo/Alas, Aceh Tengah pimpinan Tgk. Ilyas Leubey dengan 400 pasukan bersenjata menghadang pasukan Belanda dan terjadi perang bersosoh yang berkuah darah. Panglima Aman Dimot, seorang pejuang yang gagah berani dan kebal peluru berhasil membabat lima belas serdadu Belanda dengan pedang Zulfaqarnya yang panjang. Ia dapat diringkus ramai-ramai oleh serdadu Belanda yang datang membantu, setelah keiewat lelah dan terus diikat dengan tali. Sejumlah tembakan pistol dan karaben yang ditujukan ke tubuhnya tidak mempan. Ia syahid, setelah granat tangan dimasukkan ke mulutnya oleh serdadu Belanda seraya menembak dan meiedak seketika. Convoi Belanda itu bermaksud menerobos pertahanan kita menuju "kota beras" di Kutacane. Tempatnya markas Resimen I di Macan Kumbang, Kutacane, Aceh Tenggara. (CP-8). Di sektor pertahanan kita di pesisir Aceh Selatan, para pejuang berhasil menggagalkan serbuan Belanda yang hendak menyusup ke daerah perbatasan Aceh melalui kota Sidikalang. Wilayah ini ditempatkan di bawah pimpinan Mayor Teuku Manyak, Komandan Resimen III Divisi X TNI yang bermarkas di Meulaboh. Sekitar bulan Maret 1949 Belanda mencoba terus melakukan terobosan dan terlibat pertempuran di sekitar Tiga Lingga, Sidikalang dan Barus. Tapi pasukan kita masih mampu menguasai keadaan dan serbuan Belanda dapat dihalau. Dalam pertempuran di Tiga Lingga, Letnan Satu Abdullah Sani dan Kopral Chailul Usman syahid. Dalam pertempuran di Sagan/Barus prajurit Penenek Usman, Sersan T. Hamzah dan Kopral T. Daud juga gugur. Selama agresi militer kedua Belanda, pertahanan kita sepanjang garis perbatasan Aceh-Sumatera Utara sejak Besitang, terus ke Tanah Karo sampai Barus telah dipagari oleh gerilyawan dan para pejuang, sehingga Belanda selalu menemui kegagalan di sector ini. Memang lapangannya cukup sulit, kaum gerilyawan tersebar secara kelompok dan selalu mengganggu serdadu Belanda yang berani melintas ke wilayah yang berat ini. "Angan-angan" Van Mook Belanda memakai taktik perang kolonial yang licik dengan cara lama mempertentangkan satu suku dengan suku lain, sekaligus memecah belah persatuan dengan mendirikan negara-negara "Boneka" yang menjamur. Dalam konsolidasi politiknya setelah pemerintahan Rl dan TNI hijrah meninggalkan kantong-kantong gerilya, mulailah Van Mook menggerayangi daerah tersebut dengan mengadakan kegiatan politik berupa lahirnya konperensi-konperensi di daerah yang dikosongkan TNI itu. Sasaran antaranya untuk membentuk negara "boneka" ala Van Mook dan pada gilirannya bermuara kepada pembentukan suatu Negara Indonesia Serikat (NIS). Sasaran akhirnya jelas mengeliminir Republik Indonesia darimuka bumi. Guna merealisir cita-cita NIS a'la Van Mook, mereka mengadakan konperensi antara negara "boneka", yang kemudian dikenal bernama "BFO" (Bijeenkomst voor Federaal Overleg). "BFO" inilah nantinya menjelma jadi suatu Negara Federal untuk menyaingi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanggal 12 Juli 1948 Van Mook mengadakan konperensi BFO di Bandung yang menghasilkan "Resolusi Bandung". Kesimpulannya tanggal 1 Januari 1949 dibentuk Pemerintah Interim Federal dengan sebuah Direktorium. Menurut konsep Van Mook badan ini beranggota Rl satu orang dan BFO dua orang dengan ketua Wakil Mahkota Belanda di Hindia Belanda. Menurut asumsi Van Mook dengan dilancarkannya agresi militer II tanggal 19 Desember 1948 dan ditawannya Soekarno-Hatta dalam tempo seminggu, Rl dan TNI akan terpojok dan mudah didikte untuk menyetujui pembentukan Pemerintahan Interim Federal pada tanggal 1 Januari 1949, sesuai versi Dr. van Mook. Upaya Belanda untuk melakukan blokade ekonomi terhadap Republik, dimulaidengan menguasai pelabuhan dan menduduki sumber-sumber ekonomi yang vital, seperti perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya. Kegiatan ini bertujuan memutuskan komunikasi antara negara luar dengan Republik yang terisolir sampai menjadi lumpuh urat nadi ekonominya. Inilah dasar pertimbangan agresi militer Belanda di Sumatera ditujukan terutama untuk menguasai kota-kota yang memiliki sumber ekonomi yang vital. Kalau pasca Linggarjati blokade ekonomi Belanda masih terbatas pada pengepungan kota dan pelabuhan saja, maka pada pasca Renville pengepungan ekonomi sudah mencapai penguasaan sumber- sumber ekonomi di pedalaman, seperti perkebunan dan pertambangan. Situasi dan kondisi ini benar-benar telah membuat urat nadi Indonesia menjadi rapuh. Dalam segi militer, tampaknya Belanda lebih mengutamakan kegiatan yang punyai dampak langsung terhadap konsolidasi politik yang menunjang penguasaan potensi ekonomi di daerah vital. Aceh Daerah Modal Dalam situasi politik dan militer yang extra rawan itulah, Presiden Soekarno bersama Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman terbang ke Aceh tanggal 15 Juni 1948, mendarat di lapangan terbang militer Lhok Nga. Dalam kunjungan itu, Bung Karno sempat menghadiri appel militer di Blang Padang dan menginspeksi pasukan militer dan perjuangan rakyat lengkap dengan senjata berat. Panglima Tertinggi Soekarno merasa bangga dan terenyuh hatinya melihat kesiagaan Angkatan Perang dan Barisan Rakyat Bersenjata daerah Aceh yang masih utuh dan memiliki potensi dengan semangat juang yang tinggi pantang menyerah. Penulis dengan satu regu TPI (Tentara Pelajar Islam) bertindak sebagai Pengawal Presiden Soekarno selama kunjungannya ke Aceh. Dan menjadi saksi mata sewaktu Bung Karno dengan suaranya yang mengguntur memuji sejarah kepahlawanan rakyat Aceh menentang penjajah. Bung Karno dengan suara gledek penuh semangat berucap "Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh berperang melawan kolonialisme Belanda. Sekarang giliran kita untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi persada tercinta ini. Dimana-mana Belanda sudah mendirikan negara "boneka" untuk mengepung Republik Indonesia. Sudah waktunya sekarang pemuda- pemuda Aceh yang berdarah pahlawan siap melakukan "perang sabil" untuk mengusir kaum penjajah dari persada Ibu Pertiwi tercinta. 217 Gubermir Militer Jen. May. Tgk. Mohd Daud Bereueh bersama tamu agung Bung Karno, Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman, Gubernur Sumatera Mr. T. Mohamad Hassan, Panglima Sumatera Jen. May. Soehardjo Hardjoivardoyo dan Gubernur Sum. Utara Mr. S.M. Amin bersama-sama hadir di Blang Padang menghadiri apel besar militer dengan Inspektur Upacara Presiden Rl pertama, Soekarno. Gambar bawah memperlihatkan perwira Staf Divisi X TNI Komandemen Sumatera dengan Let. Kolonel Chikmat Rahmany sebagai Kepala Staf dan para asisten lainnya. (Koleksi Foto "Aki"). Aceh adalah Daerah Modal. Modal dalam meneruskan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan mengusir kaum penjajah dari halaman rumah kita. Siang itu juga tanggal 16 Juni 1948, Bung Karno meneruskan perjalanannya ke kota Sigli, sekitar 100 km dari Banda Aceh. Dapat ditempuh sekitar dua jam kendaraan mobil. Di lapangan Kota Asan, Sigli, rakyat berjubel menunggu kedatangan pemimpinnya. Dalam rapat raksasa di tengah panas terik Bung Karno naik ke atas podium, yang dihiasi bagian atasnya dengan sangat sederhana, sebuah payung hitam peredam terik matahari. Di sini Bung Karno telah menggugah semangat rakyat dengan kata- katanya yang menawan dan membuat hadirin terpesona, seperti halnya appel besar militer di Blang Padang di Kutaraja. Hanya bedanya di rapat raksasa di lapangan Kota Asan, Sigli, Bung Karno seraya menunjuk payung diatas kepala melindunginya berucap "Biar Republik Indonesia selebar "Payung", biar Republik tinggal selebar "payung", kita harus berjuang terus dengan "Aceh sebagai Daerah Modal" dalam meneruskan cita-cita proklamsi 17 Agustus 1945 dan meneruskan perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara". Wejangan Bung Karno ini telah membuat rakyat Sigli kesurupan, tak tertahankan. Tergugah semangatnya untuk berjuang "Fie Sabilillah" mengusir kaum penjajah dari tiap jengkal tanah air. Selesai dari Sigli, Bung Karno dan rombongan meneruskan perjalanannya ke Bireuen, yang dikenal sebagai "Kota Perjuangan" selama Perang Kemerdekaan Rl. Di sini pun Bung Karno berhadapan dengan rakyat dalam sebuah rapat raksasa, yang isi pesan-pesannya hampir sama dengan ucapannya di lapangan Kota Asan, Sigli dan Appel Besar Militer di Blang Padang, Kutaraja. Yang paling mengesankan adalah brievieng Bung Karno di Markas Divisi X TNI di Bireuen, yang dihadiri tokoh-tokoh militer, sipil dan masyarakat. Bung Karno memaparkan situasi perjuangan Republik menghadapi penjajah Belanda, menurut tahapan, taktik dan strategi yang telah ditetapkan. Di sinilah Bung Karno menegaskan lagi "Aceh sebagai Daerah Modal" adalah salah satu alternatif untuk meneruskan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Dari Aceh sebagai basis akan dilancarkan perang gerilya jangka panjang dengan melibatkan seluruh rakyat. Tenaga ahli berbagai bidang dan angkatan juga akan diterjunkan dari Jawa ke Aceh.

No comments:

Post a Comment