Dalam
satuan-satuan geografis terdapat berbagai macam hubungan antar pedesaan. Satuan
geografis seperti perbukitan, daerah aliran sungai, pantai, teluk, selat, dan
pedalaman desa-desa mempunyai hubungan-hubungan tertentu satu dengan lainnya. Hubungan
antara pedesaan di perbukitan dengan di lembah, misalnya, dapat menjadi satuan
penelitian, sebagaimana dalam bidang antropologi telah dikerjakan oleh E. Leach, Political Systems of Highland
Burma. Sejarah pedesaan dengan, dengan menitikberatkan penelitiannya pada
perubahan-perubahan yang terjadi di pedesaan, misalnya, dapat mempelajari
hubungan sosial, ekonomi, demografis antara desa-desa di sekitar daerah tandus
di bagian selatan pulau jawa dengan desa-desa di lembah sekitarnya. Demikian
juga mengenai hubungan antara daerah selat Madura, yaitu antara pulau Madura
dengan daerah-dengan pedesaan di Jawa Timur, ternyata kaya dengan
kemungkina-kemungkinan. Masuknya budaya dan adat-istiadat Madura di Jawa Timur,
misalnya, telah menimbulkan pemindahan budaya rakyat dari daratan Madura ke
Jawa, sehingga terjadi percaturan antara adat Madura dengan adat osing di Jawa
Timur.
Dekat
pengertiannya dengan satuan geografis ialah satuan ekonomis. Satuan ekonomis
dapat atau tidak menjadi bagian dari satuan geografis, dan sebaliknya.
Desa-desa di Jawa di masa lampau mempunyai pembagian mancapat dan mancalima
yang di antaranya dimaksudkan untuk pembagian hari-hari pasar di antara satuan
ekonomis sebelum ada pasar yang menetap seperti terjadinya warung dan toko
permanen yang menggantikan pasar, yang hanya bertemu pada hari-hari tertentu.
Satuan ekonomis ini pastilah merupakan lembaga yang penting di pedesaan dengan
lembaga ekonomi subsistensi, yang penukaran barang-barangnya hanya terjadi
dalam bentuk skala kecil. Lebih lagi di suku-suku yang tinggal di pedalaman.
Sebuah satuan ekonomis yang mencukupi kebutuhan diri akan berubah bila commercial crops masuk ke pedesaan.
Masih perlu dikaji, misalnya, apakah perkawinan sepupu silang asimetris di
beberapa suku sebenarnya ada hubungan dengan sebuah sistem penukaran ekonomis. Jika
demikian halnya, dengan masuknya ekonomi penukaran ke pedesaan sistem
perkawinan demikian mengalami perubahan, lalu bagaimana akibatnya pada
organisasi desa, masyarakat petani, dan ekonomi pertaniannya. Hanya dengan
penelitian sejarah pedesaan, transformasi sosial itu dapat diterangkan secara
empiris dan faktual.
Dalam
hubungan dengan persoalan adat, satuan penelitian pedesaan dapat berubah daerah
hukum adat atau suatu cultural area. Di Indonesia kita
mengenal setidaknya sembilan belas hukum adat, seperti dikemukakan oleh C.van
Vollenhoven. Masing-masing daerah hukum adat mempunyai sistem sosio-ekonomis
dan budaya tersendiri. Dengan mengambil locus
penelitian sebuah satuan daerah hukum adat, kita dapat melakukan sebuah
penelitian yang mendalam mengenai
transformasi sosial ekonomi dan kultural di dalamnya.
Setelah
melihat kemungkinan-kemungkinan satuan penelitian, baik mengenai desa tertentu
atau mengenai pedesaan secara lebih luas dari berbagai satuan penelitian,
kiranya kita dapat menuju kepada penelitian perbandingan dengan menyilangkan
berbagai satuan penelitian. Selanjutnya perlu penajaman pada gambaran prosesual tentang struktur
masing-masing satuan penelitian dalam berbagai periode yang berbeda, katakanlah
periode prakolonial, kolonial, dan nasional. Dengan demikian penelitian tentang
struktur dan evolusi sosial, ekonomi dan kultural pedesaan di Indonesia akan
memperkaya khasanah sejarah.
Dengan
pengertian bahwa sejarah pedesaan ialah sejarah tentang apa saja dengan bidang
garapan desa, masyarakat petani, dan ekonomi pertanian, di bawah ini akan
dicoba menujukkan permasalahan. Dengan catatan bahwa sejarah ialah ilmu tentang
perubahan-perubahan, kita dapat menggolongkan masalah ke dalam berbagai
kelompok : (1) bangunan fisik, (2) satuan sosial, (3) lembaga sosial, (4)
hubungan sosial, dan (5) gejala psiko-kultural.
Sejarah
bangunan fisik pedesaan belum banyak mendapat perhatian dari sejarawan,
sekalipun dalam sumber-sumber tradisional dan Belanda banyak keterangan
mengenai pedesaan. Sejarah pedesaan di sini dapat berubah monografi tentang
sebuah satuan penelitian atau khusus mengenai satu desa tertentu, kalau memang
sumber-sumbernya kemungkinan. Perubahan ekologi, pemukiman,jalur komunikasi,
dan penduduk dapat termasuk kelompok ini. Pembangunan saluran irigasi,
waduk-waduk, perkebunan, dan akibatnya menjadi masalah yang menarik,terutama
setelah Geertz ini sekarang telah banyak dibantah oleh penemuan data-data baru,
seperti dikerjakan oleh R.E. Elson tentang pasuruhan, dan akan lebih banyak
lagi yang meragukannya, kiranya sejarah ekologis kemudian telah menjadi bagian
dari sejarah Indonesia. Pembukaan perkebunan di daerah Kajawen pada pertengahan
kedua abad ke-19 dapat menjadi bahan kajian sejarah pedesaan,bila permasalahan
selalu dikembalikan kepada desa dan bukan kepada gejala-gejala supra-desa.
Perkenalan jenis tanaman baru di desa seperti kopi, tembakau, dan gula telah
mengubah tata ekologis desa, yang pada gilirannya akan mengubah juga masyarakat
desa secara menyeluruh. Data-data sejarah menujukkan bahwa dengan masuknya
perkebunan gula, pola pemukiman desa dapat berubah. Desa dapat mengalami
reorganisasi, sehingga misalnya desa yang semula terpencar (fragmented) dapat menjadi desa yang
memusat (clustered). Perubahan
pemukiman, seperti dalam pembangunan
daerah transmigrasi, dengan jelas merupakan perubahan ekologi yang disengaja.
Satuan
sosial di lingkungan desa dan masyarakat petani sangat kaya dengan permasalahan
sejarah. Keluarga, kesatuan desa, kelas sosial, kelompok agama dan budaya, dan
kelompok etnis, termasuk disini. Sejarah keluarga, baik sebagai lembaga maupun
sebagai kesatuan yang kongkrit, belum mendapat perhatian. Sedangkan keluarga
sebagai sebuah kesatuan yang konkrit dapat dipelajari mengenai perkembangan dan
penyebaran demografisnya, mobilitas sosial antara generasi di lingkungan sebuah
keluarga besar, pertengkaran antar keluarga. Desa sebagai sebuah kesatuan sosial, teritorial, dan
administratif. Perang desa, sistem pemerintahan desa, sistem sosial desa,
sistem keamanan desa, pasar desa, semuanya dapat diteliti lewat hasil-hasil
sastra tradisional, tradisi lisan, serta laporan-laporan lain. Mengenai
transformasi desa sebagai akibat dari masuknya kapitalisme di pedesaan pada
abad ke-19 yang telah dikemukakan secara garis besar perubahan-perubahan
strukturnya oleh D.H. Burger belum banyak memperoleh penegasan secara faktual
empiris dalam penelitian sejarah mengenai wilayah tertentu.
Masalah
pengelompokkan penduduk ke dalam status dan kelas sosial, kelompok agama
budaya, dan etnis seperti di kerjakan oleh G.W Skinner, Local, Ethnic, and National Loyalities in Village Indonesia, patut
mendapat perhatian dari sejarawan pedesaan. Politik nasional yang masuk ke
daerah selalu mendapatkan wujud baru, sebab masyarakat petani menterjemahkan
cita-cita nasional itu ke dalam dinamika mereka sendiri. Demikianlah misalnya
ketegangan sosial di antara elite agama dan pemerintah di desa dapat menjelma
ke dalam wujud politik yang bersifat nasional di tingkat desa menjadi politik
desa, tempat para keluarga, kelompok-kelompok desa, dan ketentuan sosial lain
dalam desa menyatakan diri. Demikianlah misalnya konflik-konflik di desa di
masa pra-1965 tidak selau dapat dikembalikan kepada perbedaan politik di
tingkat nasional. Tetapi bahkan sering sebaliknya. Apa yang penting bagi desa
kadang-kadang bukan apa yang bermakna dalam skala nasional. Perbedaan antara
aliran reformis dan tradisional dalam islam misalnya, tidak selalu berupa
perbedaan ideologi,tetapi sering hanya perwujudan dari pengelompokan sosial
atau bahkan pengelompokan lokasi di pedesaan.
Dengan melihat desa dari “bawah” semacam ini pemahaman kita terhadap
sejarah nasional akan lebih jelas. Tidak
saja masuknya ideologi dan politik ke pedesaan, tetapi lebih-lebih lagi
masuknya ekonomi uang sangat mempengaruhi kelompok-kelompok desa. Ada mobilitas
kelompok sosial, seperti tampak dalam munculnya kelas menengah di desa yang
menggantikan pengaruh dan prestise elite pemerintahan dan para pemilik tanah.
Lembaga- lembaga desa yang berupa
pola hubungan sosial dan organisasi-organisasi sosial merupakan tema yang kaya
untuk dijadikan kajian. Termasuk disini lembaga pemerintahan, keagamaan,
politik, sosial, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Mengenai sistem pemerintahan desa, meskipun
lebih merupakan garapan sejarah sosial yang lebih luas daripada sejarah
pedesaan,sebab menyangkut juga wewenang yang dimiliki oleh kekuatan supradesa,
sejarah pedesaan masih dapat melihatnya dalam hubungannya dengan masyarakat
petani dan ekonomi pertanian. Masalah
kepamongan dalam hubungan dengan pajak pertanian dan non pertanian, kerja
wajib, lembaga perdikan, pembagian percaton, perubahan perangkat desa dari
waktu ke waktu, semuanya dapat termasuk sejarah pedesaan.
Sejarah pedesaan sebagai pengkajian
mengenai desa pada umumnyadapat pula membicarakan mengenai keagamaan didalam
desa. Lembaga – lembaga sosial seperti
dayah dan meunasah, pesantren, surau, dan perkembangannya kedalam madrasah pada
abad ke-20 merupakan lembaga pendidikan dan sosialisasi di tingkat desa. Demikian juga adanya perkumpulan –
perkumpulan agama seperti gerakan tarekat, berzanji, pengajian, hubungan antara
kyai santri, masalah zakat, nikah-talak-rujuk, dan sebagainya, serta
perkembangannya masih belum diungkapkan.
Penelitian antropologis semacam disertasi Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
pesantren, patut ditiru oleh sejarawan, dengan penekanan pada segi sejarahnya
masalah serupa tentu saja bisa dikemukakan untuk berbagai agama dan kepercayaan
di indonesia lainnya.
Dekat dengan masalah keagamaan ialah
masalah lembaga politik di desa. Sudah
disinggung diatas bahwa dinamika politik di desa kadang - kadang lain dengan
dinamika politik di tingkat nasional.
Dengan politik di sini tidak selalu harus berarti gerakan politik
formal, pemilihan lurah didesa misalnya, seorang calon dapat dianggap sebagai kekuatan politik di tingkat desa.
Apakah politik didesa itu merupakan kelanjutan saja dari politik nasional, ataukah
dinamika yang khusus berlaku untuk desa itu, dapat dilihat dari proses
pemilihan lurah itu. Disini dapat
dilihat pula masalah-masalah kepemimpinan politik didesa, musyawarah desa,
patronase, pergeseran politik antar generasi, naik dan turunnya partisipasi
warga desa dalam lembaga-lembaga politik.
Masalah lembaga ekonomi desa menjadi
permasalahan yang penting barangkali sejak adanya penelitian mengenai
menurunnya kemakmuran bumiputera pada awal abad ke-20, ketika Mindere Weluaart
Commissie, melakukan penelitian menyeluruh mengenai desa-desa. Masalah
pertanian, perikanan, peternakan, pinjam- meminjam, tingkat kemakmuran dan
kemiskinan desa, sumber-sumber ekonomis desa, dan sebagainnya. Dengan masuknya ekonomi uang di desa, sistem
sambatan digantikan oleh hubungan kerja-upah, yang pada gilirannya akan
mengubah bentuk solidaritas golongan kelas menengah baru yang kadang-kadang
sama sekali lepas dari ekonomi pertanian setempat. Percaturan antara lembaga-lembaga ekonomi
baru,seperti bank, koperasi, toko, dengan lembaga ekonomi lama, seperti rentenir,
bakulan, ,mindrin, menarik untuk dipelajari. Pergeseran sosial apakah yang
terjadi didesa sejak masuknya lembga-lembaga ekonomi dan kekuatan ekonomi baru
ke desa? Mungkin masalah-masalah ini menarik bagi perencanaan pembangunan desa,
dan sejarawah pedesaan dapat mengambil bagian didalamnya, dengan caranya
sendiri. Berdirinya sebuah pabrik ditengah-tengah lingkungan pedesaan tentu
mengubah perekonomian desa, baik pabrik-pabrik gula pada abad ke 19 atau
pabrik-pabrik baru sekarng ini. Apalagi
jika pabrik-pabrik itu memerlukan bahan mentah dari desa-desa sekitarnya,
seperti pabrik gula, tembakau, rosella,
agave, minyak tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
Perubahan ekonomi desa pastilah mengakibatkan pula perubahan sosial di
desa yang dalam jangka panjang dapat pula mengubah pola budaya desa.
Didesa juga terdapat
perkumpulan-perkumpulan sosial, seperti sinoman, perkumpulan pencak silat, dan
akhir-akhir ini banyak berdiri perkumpulan-perkumpulan dengan tujuan-tujuan
tertentu, seperti kelompok pendengar acara-acara siaran pembangunan. Ada dan tidaknya kelompok itu didesa-desa
merupakan gejala perubahan sosial di daerah pedesaan, yang dapat diketahui
melalui penelitian. Dalam hal ini perlu
diselidiki apakah desa-desa cendrung membentuk lembaga-lembaga yang menyangkut
kepentingan-kepentingan rasional ekonomis sebagai layaknya proses menuju
masyarakat ekonomis. Tingkat kemajuan
desa dapat diukur dari jenis-jenis perkumpulan sosial yang ada didesa itu-
tentu saja dengan mengingat pola kemajuan apa yang diinginkan.
Demikian pula masalah pendidikan
didesa. Jika kita melihat pada sejarah
abad ke- 19, seperti tampak dalam perjalanan pendidikan pujangga surakarta,
Ranggawarsita, di jawa terdapat setidaknya dua macam lembaga pendidikan, yaitu
pendidikan pesantren dan pendidikan padepokan.
Dalam pesantren para santri belajar ilmu-ilmu agama, seperti membaca Al
Qur’an, sedangkan di padepokan murid belajar ilmu kanuragan, seperti berbagai
macam kesakitan. Disamping itu tampaknya ada juga kepercayaan, bahwa puncak-puncak
kepandaian hanya dapat diperoleh melalui pulung, yaitu anugerah yang
istimewa. Memudarnya sistem padepokan
ini adalah akibat masuknya sistem pemasaran kerja baru yang mencari tenaga
pengajar terlatih di pamong praja dan pabrik-pabrik. Sementara itu sistem pesantren, sebagai
lembaga yang mengelola pendidikan agama, masih tetap bertahan, tanpa
terpengaruh oleh pemasaran kerja.
Lembaga kesehatan didesa sampai
sekarang masih menjadi bahan penelitian bagi para ahli medical
anthropology. Sejarawan dapat berusaha
untuk meneliti, tidak saja dari bahan-bahan bacaan seperti buku-buku usada di
Bali, tetapi juga melalui penelitian.
Dengan metode oral history, sejarawan dapat menelusuri bagaimana para
pekerja kesehatan tradisional itu melaksanakan tugasnya, bagaimana mereka
memperoleh keahliannya, peralatan yang dimiliki, pemasaran keahliannya,
perekonomian rumah tangga-tangganya, dan pewarisan ilmunya.
Banyak pekerja kesehatan yang sudah hilang, tetapi belum ditulis life
history-nya, misalnya tentang tukang pangur, yaitu pematong gigi yang
mematutnya supaya tampak rapi. Buku oral
history seperti tulisan George Ewart Evans, Tools of Their.Trade, dapat
dijadikan model untuk penelitian ini.
Bagaimana mereka sebagai “ endangered species” mencoba untuk hidup di masa
kini merupakan pertanyaan sejarah dan kemanusiaan yang menarik.
Hubungan sosial dipedesaan juga kaya
akan tema penelitian. Di antaranya ialah masalah stratifikasi, integrasi,
konflik, mobilitas sosial, migrasi. Dan hubungan desa-kota. Stratifikasi sosial merupakan gejala yang
penting dalam masyarakat. Sistem kasta seperti di Bali, sistem status seperti
pada zaman masyarakat tradisional, dan sistem kelas seperti sedang terjadi
prosesnya sekarang ini, merupakan bahan penting. Di Bali selalu terdapat pertanyaan bagaimana
percaturan antara ketiga sistem stratifikasi itu terjadi dalam sebuah
masyarakat yang aktual. Begitu juga di jawa sedang terjadi pergeseran dari
sistem status yang mementingkan darah dan keturunan menuju sistem status yang
mementingkan ukuran kekayaan sebagai cara meletakkan kedudukan seseorang dalam
masyarakat. Dalam pergeseran ini pastilah terjadi pertentangan – pertentangan
sosial karena perbedaan nilai dan pola tingkah-laku warga desa. Bagaimana antara golongan yang sedang
bertentangan itu saling berhubungan, mengadakan aliansi dan pengucilan atau
saling mengadakan akomodasi. Bagaimana cara golongan pendeta dan ksatria di
Bali, golongan priyayi di jawa mempertahankan kedudukannya ketika meraka
terancam oleh golongan kelas menengah pedesaan?. Barangkali tulisan R.R. Jay,
Javanese Villagers dapat membantu dengan pendekatan ke arah ini. Integrasi desa kadang-kadang terganggu dengan
munculnya kelas ekonomi baru di pedesaan yang barangkali akan sanggup
mendominasi desa. Solidaritas desa, seperti
tampak dalam acara bersih desa dan acara berkala lainnya, dapat dipandang tidak
perlu oleh golongan kelas menengah yang lebih rasional dan
individualistis. Jika demikian halnya
integrasi desa tidak lagi terjamin.
Apalagi dengan masuknya kekuatan dan pengaruh kota ke desa, seperti
timbulnya organisasi massavsebelum tahun 1965. Masalah ini juga dapat berlaku
untuk periode pergerakan nasional, misalnya bagaimana serekat islam pada waktu
itu telah mempengaruhi penduduk pedesaan. Dari banyak laporan laporan mengenai
serekat islam lokal kiranya dengan jelas tampak bahwa desa pada waktu itu mulai
tersentuh pertentangan kultural menjadi pertentangan politik, bahkan dibeberapa
tempat menuju kepada kekerasan.
Dalam abad ke-20 pengaruh kota ke
desa mulai kuat, beberapa gerakan yang berasal dari kota, bukan saja yang
bersifat politik tetap juga gerakan sosial, agama, dan budaya. Yang terakhir ini tampak pada hubungan kota-
desa yang semakin dekat berkat kemajuan transportasi dan komunikasi sehingga
perbedaan antara desa dan kota mulai kabur.
Desa dan kota mulai mempunyai budaya yang sama adanya mobilitas sosial,
baik vertikal-horizontal, adanya migrasi semakin menegaskan mengaburnya batas
desa-kota. Di sinilah pentingnya dibicarakan mengenai gejala psiko-kultural
pedesaan.
Barangkali para ahli sosiologi dan
antropologi, terutama yang bergerak dibidang pengenalan teknologi baru ke
pedesaan, lebih peka dengan masalah psikis dan budaya pedesaan. Nilai, norma, dan simbol yang melekat pada
masyarakat desa mulai kehilangan makna.
Proses akulturasi, asimilasi, ekseptansi, adaptasi, dan reaksi, terhadap
masuknya unsur-unsur baru itu bukan saja terjadi pada abad ke-20 ini, tetapi
sudah terjadi sebelumnya. Bagaimana penduduk pedesaan melakukan adaptasi kepada
masuknya tanaman tebu dalam abad ke-19, melakukan hubungan kontraktual dengan
pabrik, mengubah jadwal kerja, belajar teknologi pertanian baru, barangkali
tidak ada data-data sejarahnya. Namun dari sejarah pergerakan nasional
misalnya,tampak bahwa kesadaran kelas dapat tumbuh dari petani di
pedesaan,seperti di daerah klaten,surakarta, ketika terjadi perlawanan terhadap
wewenang belanda dan susuhunan, bahwa rakyat keturunan kromo dan suto bangkit
melawan susuhunan yang mengaku keturunan adam dan arjuna.nilai-nilai berubah
dengan perubahan dalam bidang sosial-ekonomi. Demikian pula munculnya gerakan
jowodipo,gerakan yang mencoba mendemokratisasikan bahasa jawa menjadi satu
tingkat saja ( ngoko). Mendapat tanggapan dari penduduk pedesaan. Dengan
cita-cita demokrasi,simbol yang berupa bahasa ingin pula diganti. Tentu proses
demokratisasi dari simbol ini terjadi terutama di daerah kejawen tempat dua
kerajaan jawa berkuasa. Perubahan mental dan budaya semacam ini barangkali
hanya dapat ditangkap melalui ungkapan bahasa, hasil sastra dan dari
ingatan-ingatan langsung para saksi zaman. Dalam hal ini kita dapat bertumpu
pada hasil sastra tulisan, tradisi lisan, dan sejarah lisan.
No comments:
Post a Comment