Thursday 26 March 2015

METODOLOGI : SEJARAH PEDESAAN

1.1 Latar Belakang
 Terbentuknya desa sebagai tempat tinggal kelompok terutama disebabkan karena naluri alamiah untuk mempertahankan kelompok. Didalam kelompok tersebut terjalin sendi-sendi yang melandasi hubungan-hubungan antara sesama warga kelompok berdasarkan hubungan kekerabatan/kekeluargaan, karena tinggal dekat dan karena kesamaan kepentingan.
 Setiap desa memiliki Sejarah berdirinya masing-masing. Setiap desa memiliki ciri khas tersendiri yang membedakanya dengan yang lain. Ada beberapa desa yang muncul karena daerah tersebut memiliki sumberdaya alam yang melimpah dan ada juga yang lahir karena daerah tersebut memiliki sungai yang besar yang bisa dijadikan sebagai lalu lintas perdagangan yang dapat menghubungkan daerah yang satu dengan daerah yang lainya. Berdirinya suatu desa membutuhkan proses yang lama dan berkesinambungan. 

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sejarah Pedesaan
            Pertama, sejarah pedesaan ialah sejarah dalam arti yang seluas-luasnya. History is above all a science of change, demikian kata Marc Bloch. Disini dimensi waktu menjadi sangat penting, sebab perubahan ialah sebuah proses dalam waktu. Kedua, sejarah pedesaan ialah sejarah yang khusus meneliti tentang khusus meneliti tentang desa atau pedesaan, masyarakat petani, dan ekonomi pertanian. Desa sebagai kesatuan territorial dan administrative yang terkecil di Indonesia sudah banyak mendapat perhatian dari para peneliti di luar ilmu sejarah.
Dengan melihat perubahan dar sudut pandang sejarah, seperti perkembangan demografi, laju proses proletarianisasi, sejarawan pengamat pedesaan kiranyan akan memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai prospek pembangunan pedesaan. Misalnya, bukan saja penelitian bagaimana cara untuk mengenalkan pembaharuan teknologi dan kelembagaan di pedesaan di masa depan.
Dari penelitian mikro mengenai desa tertentu dan dari penelitian makro mengenai pedesaan pada umumnya dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kecenderungan perkembangan masyarakat dalam jangka panjang, justru dengan harapan pragmatis bahwa sejarah dapat menjadi petunjuk dalam perencanaan, barangkali menyumbang melalui “ramalan” sejarah. Ilmu sejarah atau sejarah pedesaan khususnya, dapat menjadi bagian dari organized intelligence sumber dari perencanaan perubahan-perubahan daerah pedesaan.
Selanjutnya sejarah pedesaan mempunyai garapan masyarakat petani. Untuk membedakan sejarah pedesaan yang menggarap masyarakat petani dengan masyarakat sosial, sejarah pedesaan harus selalu dapat mengembalikan permasalahan  sejarah kepada desa dan pedesaan, atau kepada ekonomi agrarian pedesaan.
Ekonomi agraris tentu saja menjadi bagian dari sejarah pedesaan. Perubahan-perubahan yang terjadi di desa dan di masyarakat petani biasanya menyangkut perubahan ekonomi dari sebuah ekonomi subsistence ke ekonomi exchange. Dalam hal ini kelompok-kelompok sosial di desa, seperti pamong praja, pedagang, dan buruh dapat dimasukkan kedalam kategori ekonomi pertanian, sepanjang masih berbasiskan kepada sumber-sumber pertanian. Sebuah perkebunan rural industrial estate, atau raneh yang berada di desa dan mempunyai pengaruh dalam kehidupan ekonomi desa, dapat dimasukkan kedalam sejarah pedesaan yang dimaksud disini. Sepanjang exchange economy itu mempengaruhi desa dan petani, sejarah pedesaan dapat pula menjadikannya sebagai bidang garapan, tentu saja dengan penekanan kepada lingkungan desa dan petani. Contoh yang patut disebutkan disini ialah perubahan dalam hubungan kerja pertanian didesa sebagai akibat masuknya lembaga pesantren didesa-desa di Jawa Timur selatan, seperti pada tulisan G.H. van der Kolff tentang timbulnya system ngedok di pedesaan. Demikian juga sejarah tentang perticuliere landrijen dibeberapa tempat dapat menjadi bidang garapan sejarah pedesaan.

2.2  Sejarah Penelitian
Desa atau pedesaan sebagai bidang penelitian tentu dapat dimasukkan dalam satuan tertentu. Dalam sejarah pedesaan, desa dapat dimasukkan dalam satuan-satuan:
1.      Ekosistem
2.      Geografis
3.      Ekonomis, dan
4.      Budaya
Dalam tiap-tiap satuan itu desa mempunyai ciri-ciri natural yang tak terdapat dalam satuan lain. Dengan adanya hubungan antara berbagai satuan tentu saja terdapat saling mempengaruhi, tetapi selalu pengaruh-pengaruh itu dapat dilihat dengan jelas dari mana datangnya.
Satuan ekosistem ialah hasil perpaduan antara aktivitas manusia, keadaan biologis dan proses fisik. Clifford Geertz dalam Agricultural Involution membedakan dua macam ekosistem di Indonesia. Yaitu ekosistem ladang di Indonesia luar dan ekosistem sawah di Indonesia dalam. Dalam deretan ekosistem masih dapat ditambahkan ekosistem sagu di Indonesia Timur, dan ekosistem tegalan di Madura. Dari penelitian G.J.A. Terra, Some Sosiological Aspects of Agricultural in S.E. Asia, ditunjukkan bahwa organisasi sosial dan pola tingkah laku masyarakat dipengaruhi oleh ekosistemnya. Hal  ini juga disinggung oleh W.F. Wertheim ketika menguraikan perbedaan antara masyarakat dengan system perladangan dengan masyarakat persawahan. Seperti diketahui, di daerah perladangan pembentukan suku-suku merupakan hasil-hasil natural dari teknik perladangan dengan slash and burn atau shifting agriculture. Gejala ini terdapat pada perladangan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah-daerah sagu di Indonesia Timur. Daerah persawahan, sebaliknya, tidak menunjukkan ikatan genealogis dalam suku-suku, tetapi lebih  condong kepada ikatan desa. Ini terjadi karena pembukaan hutan, pembakaran pohon-pohon, dan pekerjaan perladangan adalah kerja
Dalam satuan-satuan geografis terdapat berbagai macam hubungan antar pedesaan. Satuan geografis seperti perbukitan, daerah aliran sungai, pantai, teluk, selat, dan pedalaman desa-desa mempunyai hubungan-hubungan tertentu satu dengan lainnya. Hubungan antara pedesaan di perbukitan dengan di lembah, misalnya, dapat menjadi satuan penelitian, sebagaimana dalam bidang antropologi telah dikerjakan oleh E. Leach, Political Systems of Highland Burma. Sejarah pedesaan dengan, dengan menitikberatkan penelitiannya pada perubahan-perubahan yang terjadi di pedesaan, misalnya, dapat mempelajari hubungan sosial, ekonomi, demografis antara desa-desa di sekitar daerah tandus di bagian selatan pulau jawa dengan desa-desa di lembah sekitarnya. Demikian juga mengenai hubungan antara daerah selat Madura, yaitu antara pulau Madura dengan daerah-dengan pedesaan di Jawa Timur, ternyata kaya dengan kemungkina-kemungkinan. Masuknya budaya dan adat-istiadat Madura di Jawa Timur, misalnya, telah menimbulkan pemindahan budaya rakyat dari daratan Madura ke Jawa, sehingga terjadi percaturan antara adat Madura dengan adat osing di Jawa Timur.
Dekat pengertiannya dengan satuan geografis ialah satuan ekonomis. Satuan ekonomis dapat atau tidak menjadi bagian dari satuan geografis, dan sebaliknya. Desa-desa di Jawa di masa lampau mempunyai pembagian mancapat dan mancalima yang di antaranya dimaksudkan untuk pembagian hari-hari pasar di antara satuan ekonomis sebelum ada pasar yang menetap seperti terjadinya warung dan toko permanen yang menggantikan pasar, yang hanya bertemu pada hari-hari tertentu. Satuan ekonomis ini pastilah merupakan lembaga yang penting di pedesaan dengan lembaga ekonomi subsistensi, yang penukaran barang-barangnya hanya terjadi dalam bentuk skala kecil. Lebih lagi di suku-suku yang tinggal di pedalaman. Sebuah satuan ekonomis yang mencukupi kebutuhan diri akan berubah bila commercial crops masuk ke pedesaan. Masih perlu dikaji, misalnya, apakah perkawinan sepupu silang asimetris di beberapa suku sebenarnya ada hubungan dengan sebuah sistem penukaran ekonomis. Jika demikian halnya, dengan masuknya ekonomi penukaran ke pedesaan sistem perkawinan demikian mengalami perubahan, lalu bagaimana akibatnya pada organisasi desa, masyarakat petani, dan ekonomi pertaniannya. Hanya dengan penelitian sejarah pedesaan, transformasi sosial itu dapat diterangkan secara empiris dan faktual.
Dalam hubungan dengan persoalan adat, satuan penelitian pedesaan dapat berubah daerah hukum adat atau suatu  cultural area. Di Indonesia kita mengenal setidaknya sembilan belas hukum adat, seperti dikemukakan oleh C.van Vollenhoven. Masing-masing daerah hukum adat mempunyai sistem sosio-ekonomis dan budaya tersendiri. Dengan mengambil locus penelitian sebuah satuan daerah hukum adat, kita dapat melakukan sebuah penelitian yang mendalam  mengenai transformasi sosial ekonomi dan kultural di dalamnya.
Setelah melihat kemungkinan-kemungkinan satuan penelitian, baik mengenai desa tertentu atau mengenai pedesaan secara lebih luas dari berbagai satuan penelitian, kiranya kita dapat menuju kepada penelitian perbandingan dengan menyilangkan berbagai satuan penelitian. Selanjutnya perlu penajaman  pada gambaran prosesual tentang struktur masing-masing satuan penelitian dalam berbagai periode yang berbeda, katakanlah periode prakolonial, kolonial, dan nasional. Dengan demikian penelitian tentang struktur dan evolusi sosial, ekonomi dan kultural pedesaan di Indonesia akan memperkaya khasanah sejarah.
Dengan pengertian bahwa sejarah pedesaan ialah sejarah tentang apa saja dengan bidang garapan desa, masyarakat petani, dan ekonomi pertanian, di bawah ini akan dicoba menujukkan permasalahan. Dengan catatan bahwa sejarah ialah ilmu tentang perubahan-perubahan, kita dapat menggolongkan masalah ke dalam berbagai kelompok : (1) bangunan fisik, (2) satuan sosial, (3) lembaga sosial, (4) hubungan sosial, dan (5) gejala psiko-kultural.
Sejarah bangunan fisik pedesaan belum banyak mendapat perhatian dari sejarawan, sekalipun dalam sumber-sumber tradisional dan Belanda banyak keterangan mengenai pedesaan. Sejarah pedesaan di sini dapat berubah monografi tentang sebuah satuan penelitian atau khusus mengenai satu desa tertentu, kalau memang sumber-sumbernya kemungkinan. Perubahan ekologi, pemukiman,jalur komunikasi, dan penduduk dapat termasuk kelompok ini. Pembangunan saluran irigasi, waduk-waduk, perkebunan, dan akibatnya menjadi masalah yang menarik,terutama setelah Geertz ini sekarang telah banyak dibantah oleh penemuan data-data baru, seperti dikerjakan oleh R.E. Elson tentang pasuruhan, dan akan lebih banyak lagi yang meragukannya, kiranya sejarah ekologis kemudian telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Pembukaan perkebunan di daerah Kajawen pada pertengahan kedua abad ke-19 dapat menjadi bahan kajian sejarah pedesaan,bila permasalahan selalu dikembalikan kepada desa dan bukan kepada gejala-gejala supra-desa. Perkenalan jenis tanaman baru di desa seperti kopi, tembakau, dan gula telah mengubah tata ekologis desa, yang pada gilirannya akan mengubah juga masyarakat desa secara menyeluruh. Data-data sejarah menujukkan bahwa dengan masuknya perkebunan gula, pola pemukiman desa dapat berubah. Desa dapat mengalami reorganisasi, sehingga misalnya desa yang semula terpencar (fragmented) dapat menjadi desa yang memusat (clustered). Perubahan pemukiman, seperti dalam  pembangunan daerah transmigrasi, dengan jelas merupakan perubahan ekologi yang disengaja.
Satuan sosial di lingkungan desa dan masyarakat petani sangat kaya dengan permasalahan sejarah. Keluarga, kesatuan desa, kelas sosial, kelompok agama dan budaya, dan kelompok etnis, termasuk disini. Sejarah keluarga, baik sebagai lembaga maupun sebagai kesatuan yang kongkrit, belum mendapat perhatian. Sedangkan keluarga sebagai sebuah kesatuan yang konkrit dapat dipelajari mengenai perkembangan dan penyebaran demografisnya, mobilitas sosial antara generasi di lingkungan sebuah keluarga besar, pertengkaran antar keluarga. Desa sebagai  sebuah kesatuan sosial, teritorial, dan administratif. Perang desa, sistem pemerintahan desa, sistem sosial desa, sistem keamanan desa, pasar desa, semuanya dapat diteliti lewat hasil-hasil sastra tradisional, tradisi lisan, serta laporan-laporan lain. Mengenai transformasi desa sebagai akibat dari masuknya kapitalisme di pedesaan pada abad ke-19 yang telah dikemukakan secara garis besar perubahan-perubahan strukturnya oleh D.H. Burger belum banyak memperoleh penegasan secara faktual empiris dalam penelitian sejarah mengenai wilayah tertentu.
Masalah pengelompokkan penduduk ke dalam status dan kelas sosial, kelompok agama budaya, dan etnis seperti di kerjakan oleh G.W Skinner, Local, Ethnic, and National Loyalities in Village Indonesia, patut mendapat perhatian dari sejarawan pedesaan. Politik nasional yang masuk ke daerah selalu mendapatkan wujud baru, sebab masyarakat petani menterjemahkan cita-cita nasional itu ke dalam dinamika mereka sendiri. Demikianlah misalnya ketegangan sosial di antara elite agama dan pemerintah di desa dapat menjelma ke dalam wujud politik yang bersifat nasional di tingkat desa menjadi politik desa, tempat para keluarga, kelompok-kelompok desa, dan ketentuan sosial lain dalam desa menyatakan diri. Demikianlah misalnya konflik-konflik di desa di masa pra-1965 tidak selau dapat dikembalikan kepada perbedaan politik di tingkat nasional. Tetapi bahkan sering sebaliknya. Apa yang penting bagi desa kadang-kadang bukan apa yang bermakna dalam skala nasional. Perbedaan antara aliran reformis dan tradisional dalam islam misalnya, tidak selalu berupa perbedaan ideologi,tetapi sering hanya perwujudan dari pengelompokan sosial atau bahkan pengelompokan lokasi di pedesaan.  Dengan melihat desa dari “bawah” semacam ini pemahaman kita terhadap sejarah nasional akan lebih jelas.  Tidak saja masuknya ideologi dan politik ke pedesaan, tetapi lebih-lebih lagi masuknya ekonomi uang sangat mempengaruhi kelompok-kelompok desa. Ada mobilitas kelompok sosial, seperti tampak dalam munculnya kelas menengah di desa yang menggantikan pengaruh dan prestise elite pemerintahan dan para pemilik tanah.
            Lembaga- lembaga desa yang berupa pola hubungan sosial dan organisasi-organisasi sosial merupakan tema yang kaya untuk dijadikan kajian. Termasuk disini lembaga pemerintahan, keagamaan, politik, sosial, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.  Mengenai sistem pemerintahan desa, meskipun lebih merupakan garapan sejarah sosial yang lebih luas daripada sejarah pedesaan,sebab menyangkut juga wewenang yang dimiliki oleh kekuatan supradesa, sejarah pedesaan masih dapat melihatnya dalam hubungannya dengan masyarakat petani dan ekonomi pertanian.  Masalah kepamongan dalam hubungan dengan pajak pertanian dan non pertanian, kerja wajib, lembaga perdikan, pembagian percaton, perubahan perangkat desa dari waktu ke waktu, semuanya dapat termasuk sejarah pedesaan.
            Sejarah pedesaan sebagai pengkajian mengenai desa pada umumnyadapat pula membicarakan mengenai keagamaan didalam desa.  Lembaga – lembaga sosial seperti dayah dan meunasah, pesantren, surau, dan perkembangannya kedalam madrasah pada abad ke-20 merupakan lembaga pendidikan dan sosialisasi di tingkat desa.  Demikian juga adanya perkumpulan – perkumpulan agama seperti gerakan tarekat, berzanji, pengajian, hubungan antara kyai santri, masalah zakat, nikah-talak-rujuk, dan sebagainya, serta perkembangannya masih belum diungkapkan.  Penelitian antropologis semacam disertasi Zamakhsyari Dhofier, Tradisi pesantren, patut ditiru oleh sejarawan, dengan penekanan pada segi sejarahnya masalah serupa tentu saja bisa dikemukakan untuk berbagai agama dan kepercayaan di indonesia lainnya.
            Dekat dengan masalah keagamaan ialah masalah lembaga politik di desa.  Sudah disinggung diatas bahwa dinamika politik di desa kadang - kadang lain dengan dinamika politik di tingkat nasional.  Dengan politik di sini tidak selalu harus berarti gerakan politik formal, pemilihan lurah didesa misalnya, seorang calon dapat dianggap  sebagai kekuatan politik di tingkat desa. Apakah politik didesa itu merupakan kelanjutan saja dari politik nasional, ataukah dinamika yang khusus berlaku untuk desa itu, dapat dilihat dari proses pemilihan lurah itu.  Disini dapat dilihat pula masalah-masalah kepemimpinan politik didesa, musyawarah desa, patronase, pergeseran politik antar generasi, naik dan turunnya partisipasi warga desa dalam lembaga-lembaga politik.
            Masalah lembaga ekonomi desa menjadi permasalahan yang penting barangkali sejak adanya penelitian mengenai menurunnya kemakmuran bumiputera pada awal abad ke-20, ketika Mindere Weluaart Commissie, melakukan penelitian menyeluruh mengenai desa-desa. Masalah pertanian, perikanan, peternakan, pinjam- meminjam, tingkat kemakmuran dan kemiskinan desa, sumber-sumber ekonomis desa, dan sebagainnya.  Dengan masuknya ekonomi uang di desa, sistem sambatan digantikan oleh hubungan kerja-upah, yang pada gilirannya akan mengubah bentuk solidaritas golongan kelas menengah baru yang kadang-kadang sama sekali lepas dari ekonomi pertanian setempat.  Percaturan antara lembaga-lembaga ekonomi baru,seperti bank, koperasi, toko, dengan lembaga ekonomi lama, seperti rentenir, bakulan, ,mindrin, menarik untuk dipelajari. Pergeseran sosial apakah yang terjadi didesa sejak masuknya lembga-lembaga ekonomi dan kekuatan ekonomi baru ke desa? Mungkin masalah-masalah ini menarik bagi perencanaan pembangunan desa, dan sejarawah pedesaan dapat mengambil bagian didalamnya, dengan caranya sendiri. Berdirinya sebuah pabrik ditengah-tengah lingkungan pedesaan tentu mengubah perekonomian desa, baik pabrik-pabrik gula pada abad ke 19 atau pabrik-pabrik baru sekarng ini.  Apalagi jika pabrik-pabrik itu memerlukan bahan mentah dari desa-desa sekitarnya, seperti pabrik gula,  tembakau, rosella, agave, minyak tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.  Perubahan ekonomi desa pastilah mengakibatkan pula perubahan sosial di desa yang dalam jangka panjang dapat pula mengubah pola budaya desa.
            Didesa juga terdapat perkumpulan-perkumpulan sosial, seperti sinoman, perkumpulan pencak silat, dan akhir-akhir ini banyak berdiri perkumpulan-perkumpulan dengan tujuan-tujuan tertentu, seperti kelompok pendengar acara-acara siaran pembangunan.  Ada dan tidaknya kelompok itu didesa-desa merupakan gejala perubahan sosial di daerah pedesaan, yang dapat diketahui melalui penelitian.  Dalam hal ini perlu diselidiki apakah desa-desa cendrung membentuk lembaga-lembaga yang menyangkut kepentingan-kepentingan rasional ekonomis sebagai layaknya proses menuju masyarakat ekonomis.  Tingkat kemajuan desa dapat diukur dari jenis-jenis perkumpulan sosial yang ada didesa itu- tentu saja dengan mengingat pola kemajuan apa yang diinginkan.
            Demikian pula masalah pendidikan didesa.  Jika kita melihat pada sejarah abad ke- 19, seperti tampak dalam perjalanan pendidikan pujangga surakarta, Ranggawarsita, di jawa terdapat setidaknya dua macam lembaga pendidikan, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan padepokan.  Dalam pesantren para santri belajar ilmu-ilmu agama, seperti membaca Al Qur’an, sedangkan di padepokan murid belajar ilmu kanuragan, seperti berbagai macam kesakitan. Disamping itu tampaknya ada juga kepercayaan, bahwa puncak-puncak kepandaian hanya dapat diperoleh melalui pulung, yaitu anugerah yang istimewa.  Memudarnya sistem padepokan ini adalah akibat masuknya sistem pemasaran kerja baru yang mencari tenaga pengajar terlatih di pamong praja dan pabrik-pabrik.  Sementara itu sistem pesantren, sebagai lembaga yang mengelola pendidikan agama, masih tetap bertahan, tanpa terpengaruh oleh pemasaran kerja.
            Lembaga kesehatan didesa sampai sekarang masih menjadi bahan penelitian bagi para ahli medical anthropology.  Sejarawan dapat berusaha untuk meneliti, tidak saja dari bahan-bahan bacaan seperti buku-buku usada di Bali, tetapi juga melalui penelitian.  Dengan metode oral history, sejarawan dapat menelusuri bagaimana para pekerja kesehatan tradisional itu melaksanakan tugasnya, bagaimana mereka memperoleh keahliannya, peralatan yang dimiliki, pemasaran keahliannya, perekonomian rumah tangga-tangganya, dan pewarisan  ilmunya.  Banyak pekerja kesehatan yang sudah hilang, tetapi belum ditulis life history-nya, misalnya tentang tukang pangur, yaitu pematong gigi yang mematutnya supaya tampak rapi.  Buku oral history seperti tulisan George Ewart Evans, Tools of Their.Trade, dapat dijadikan model untuk penelitian ini.  Bagaimana mereka sebagai “ endangered species” mencoba untuk hidup di masa kini merupakan pertanyaan sejarah dan kemanusiaan yang menarik.
            Hubungan sosial dipedesaan juga kaya akan tema penelitian. Di antaranya ialah masalah stratifikasi, integrasi, konflik, mobilitas sosial, migrasi. Dan hubungan desa-kota.  Stratifikasi sosial merupakan gejala yang penting dalam masyarakat. Sistem kasta seperti di Bali, sistem status seperti pada zaman masyarakat tradisional, dan sistem kelas seperti sedang terjadi prosesnya sekarang ini, merupakan bahan penting.  Di Bali selalu terdapat pertanyaan bagaimana percaturan antara ketiga sistem stratifikasi itu terjadi dalam sebuah masyarakat yang aktual. Begitu juga di jawa sedang terjadi pergeseran dari sistem status yang mementingkan darah dan keturunan menuju sistem status yang mementingkan ukuran kekayaan sebagai cara meletakkan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Dalam pergeseran ini pastilah terjadi pertentangan – pertentangan sosial karena perbedaan nilai dan pola tingkah-laku warga desa.  Bagaimana antara golongan yang sedang bertentangan itu saling berhubungan, mengadakan aliansi dan pengucilan atau saling mengadakan akomodasi. Bagaimana cara golongan pendeta dan ksatria di Bali, golongan priyayi di jawa mempertahankan kedudukannya ketika meraka terancam oleh golongan kelas menengah pedesaan?. Barangkali tulisan R.R. Jay, Javanese Villagers dapat membantu dengan pendekatan ke arah ini.  Integrasi desa kadang-kadang terganggu dengan munculnya kelas ekonomi baru di pedesaan yang barangkali akan sanggup mendominasi desa.  Solidaritas desa, seperti tampak dalam acara bersih desa dan acara berkala lainnya, dapat dipandang tidak perlu oleh golongan kelas menengah yang lebih rasional dan individualistis.  Jika demikian halnya integrasi desa tidak lagi terjamin.  Apalagi dengan masuknya kekuatan dan pengaruh kota ke desa, seperti timbulnya organisasi massavsebelum tahun 1965. Masalah ini juga dapat berlaku untuk periode pergerakan nasional, misalnya bagaimana serekat islam pada waktu itu telah mempengaruhi penduduk pedesaan. Dari banyak laporan laporan mengenai serekat islam lokal kiranya dengan jelas tampak bahwa desa pada waktu itu mulai tersentuh pertentangan kultural menjadi pertentangan politik, bahkan dibeberapa tempat menuju kepada kekerasan.
            Dalam abad ke-20 pengaruh kota ke desa mulai kuat, beberapa gerakan yang berasal dari kota, bukan saja yang bersifat politik tetap juga gerakan sosial, agama, dan budaya.  Yang terakhir ini tampak pada hubungan kota- desa yang semakin dekat berkat kemajuan transportasi dan komunikasi sehingga perbedaan antara desa dan kota mulai kabur.  Desa dan kota mulai mempunyai budaya yang sama adanya mobilitas sosial, baik vertikal-horizontal, adanya migrasi semakin menegaskan mengaburnya batas desa-kota. Di sinilah pentingnya dibicarakan mengenai gejala psiko-kultural pedesaan.
            Barangkali para ahli sosiologi dan antropologi, terutama yang bergerak dibidang pengenalan teknologi baru ke pedesaan, lebih peka dengan masalah psikis dan budaya pedesaan.  Nilai, norma, dan simbol yang melekat pada masyarakat desa mulai kehilangan makna.  Proses akulturasi, asimilasi, ekseptansi, adaptasi, dan reaksi, terhadap masuknya unsur-unsur baru itu bukan saja terjadi pada abad ke-20 ini, tetapi sudah terjadi sebelumnya. Bagaimana penduduk pedesaan melakukan adaptasi kepada masuknya tanaman tebu dalam abad ke-19, melakukan hubungan kontraktual dengan pabrik, mengubah jadwal kerja, belajar teknologi pertanian baru, barangkali tidak ada data-data sejarahnya. Namun dari sejarah pergerakan nasional misalnya,tampak bahwa kesadaran kelas dapat tumbuh dari petani di pedesaan,seperti di daerah klaten,surakarta, ketika terjadi perlawanan terhadap wewenang belanda dan susuhunan, bahwa rakyat keturunan kromo dan suto bangkit melawan susuhunan yang mengaku keturunan adam dan arjuna.nilai-nilai berubah dengan perubahan dalam bidang sosial-ekonomi. Demikian pula munculnya gerakan jowodipo,gerakan yang mencoba mendemokratisasikan bahasa jawa menjadi satu tingkat saja ( ngoko). Mendapat tanggapan dari penduduk pedesaan. Dengan cita-cita demokrasi,simbol yang berupa bahasa ingin pula diganti. Tentu proses demokratisasi dari simbol ini terjadi terutama di daerah kejawen tempat dua kerajaan jawa berkuasa. Perubahan mental dan budaya semacam ini barangkali hanya dapat ditangkap melalui ungkapan bahasa, hasil sastra dan dari ingatan-ingatan langsung para saksi zaman. Dalam hal ini kita dapat bertumpu pada hasil sastra tulisan, tradisi lisan, dan sejarah lisan.

No comments:

Post a Comment