BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Irigasi merupakan upaya yang
dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertaniannya. Dalam dunia modern saat ini sudah
banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu jika
persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata
air, maka irigasi dilakukan dengan mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian.
Namun demikian irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan
menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu. Untuk irigasi
dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram. Sebagaimana telah
diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan
untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno. Melihat kenyataan di atas,dan sebagai salah satu tugas mata kuliah
Irigasi dan Keteknikan. Kami ingin melakukan penelitian tentang pemanfaatan
system perairan irigasi yang mulai kering karena musim kemarau yang
berkepanjangan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka
permasalahan penting yang akan kami teliti yaitu:
Apakah pemanfaatan perairan
irigasi dari sungai cimanuk masih memiliki daya tarik bagi masyarakat setempat,
ditinjau dari kekeringan karena musim kemarau yang berkepanjangan?
1.3. Tujuan Penelitian
Yang menjadi dasar untuk
tujuan penelitian ini adalah Dorongan untuk memberikan informasi dan data
secara menyeluruh mengenai system irigasi di cimanuk, serta tentang kondisi dan
keadaan system irigasi tersebut kepada pembaca. Sehingga pembaca dapat
mengetahui dan mengenal system irigasi. Dan mudah-mudahan dengan adanya makalah ini di tangan para
pembaca,bias memberikan dorongan untuk memanfaatkan system perairan irigasi
dari sungai cimanuk. Tujuan penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji potensi erosi, hasil sedimen, dan mengkaji penurunan
debit minimum yang terjadi disungai Cimanuk. Pendekatan bidang ekohidrologi sebagai pendekatan interdisipliner
dalam memahami ekosistem perairan dikenal sebagai sarana manajemen yang adaptif
karena didasarkan pada pengintegrasian dinamika perairan dan dinamika biota
dalam suatu kerangka kerja pada suatu daerah tangkapan. Indonesia ditunjuk
sebagai Pusat Ekohidrologi Regional Asia Pasific, hal itu diharapkan dapat
memacu perkembangan konsep ekohidrologi sebagai pendekatan dalam penyelesaian
masalah-masalah lingkungan. Dalam rangka pendirian pusat tersebut dilakukan
persiapan berupa prasarana dalam bentuk penetapan waduk Saguling sebagai studi
kasus permasalahan ekohidrologis yang terjadi di daerah.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini di
harap kan dapat memberikan gambaran atau sumber pemikiran yang terbaik untuk
terus mengembangkan dan melestarikan system perairan irigasi. Memiliki peranan
penting bagi masyarakat sekitar.selain itu penelitian ini di harapkan dapat
membantu mengenal lebih jauh tentang pemanfaatan system perairan irigasi.
1.5. Metode Penelitian
Metode yang di gunakan dalam
penelitian ini adalah Metode eksperimen atau melakukan survai yang benar-benar kuat.Yang
selanjutnya data tersebut di olah secara bersama-sama dengan data yang di
kumpulkan dengan cara mencari artikel-artikel tentang system perairan irigasi.
Sehingga diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan yang tepat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Irigasi di Indonesia
Secara umum menjelaskan
perkembangan mulai dari adanya usaha pembuatan irigasi sangat sederhana,
perkembangan irigasi di Mesir, Babilonia, India,dll kemudian bagaimana
perkembangan irigasi di Indonesia sampai saat sekarang.
Di Bali, irigasi sudah ada
sebelum tahun 1343 M, hal ini terbukti dengan adanya sedahan (petugas yang
melakukan koordinasi atas subak-subak dan mengurus pemungutan pajak atas tanah
wilayahnya). Sedangkan pengertian subak adalah “ Suatu masyarakat hukum adat di
Bali yang bersifat sosio agraris relegius yang secara historis tumbuh dan
berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha
tani” (PP. 23 tahun 1982, tentang Irigasi).
Di Indonesia irigasi
tradisional telah berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat
juga cara bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia.
Dengan membendung kali secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain
adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang
bersambung. Ada juga dengan membawa dengan ember yang terbuat dari daun pinang
atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.
B.
Sistem Irigasi Zaman Hindia Belanda
Sistem irigasi adalah
salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada
tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa tersebut mengupayakan
agar semua lahan yang dicetak untuk persawahan maupun perkebunan harus
menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksplotasi tanah jajahannya.
Sistem irigasi yang
dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier. Tetapi sumber
air belum memakai sistem Waduk Serbaguna seperti TVA di Amerika Serikat. Air
dalam irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam sistem
irigasi terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, di mana para petani
diharuskan membayar uang iuran sewa pemakaian air untuk sawahnya. Waduk Jatiluhur 1955 di Jawa
Barat. Tennessee Valley Authority
(TVA) [1] yang diprakasai oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt pada tahun
1933 merupakan salah satu Waduk Serba Guna yang pertama dibangun di dunia [2].
Resesi ekonomi (inflasi) tahun 1930 melanda seluruh dunia, sehingga TVA adalah
salah satu model dalam membangun kembali ekonomi Amerika Serikat. Isu TVA adalah mengenai: produksi tenaga listrik, navigasi,
pengendalian banjir, pencegahan malaria, reboisasi, dan kontrol erosi. Sehinga
di kemudian hari Proyek TVA menjadi salah satu model dalam menangani hal yang
mirip. Oleh sebab itu Proyek Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang hampir mirip
dengan TVA di AS tersebut. Waduk
Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (±9 km dari
pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H.
Juanda, dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai
dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air
yang tersedia sebesar 12,9 milyar m3/thn.
C. Irigasi Mesir Kuno dan Tradisional Nusantara
Sejak
Mesir Kuno
telah dikenal dengan memanfaatkan Sungai Nil. Di Indonesia, irigasi tradisional
telah juga berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara
bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung
kali secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari
sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga
dengan membawa dengan ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari
kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.
D.
Pengertian Irigasi
Irigasi merupakan suatu
ilmu yang memanfaatkan air untuk tanaan mulai dari tumbuh sampai masa panen.
Air tersebut diambil dari sumbernya, dibawa melalui saluran, dibagikan kepada
tanaman yang memerlukan secara teratur, dan setelah air tersebut terpakai,
kemudian dibuang melalui saluran pembuang menuju sungai kembali.
Irigasi dikehendaki
dalam situasi: (a) bila jumlah curah hujan lebih kecil dari pada kebutuhan
tanaman; (b) bila jumlah curah hujan mencukupi tetapi distribusi dari curah
hujan tidak bersamaan dengan waktu yang dikehendaki tanaman.
E. Aspek irigasi (Engineering Dan Agricultural)
Aspek Engineering menyangkut: (1)
Penyimpanan, penyimpangan, dan pengangkutan (2) membawa air ke lading pertanian,
(3) pemakaian air untuk persawahan, (4) pengeringan air yang
berlebihan, dan (5) pembangkit tenaga air.
Aspek Agrikultural,
menyangkut: (1) kedalaman pemberian air, (2) distribusi air secara seragam dan
berkala, (3) kapasitan dan aliran yang berbeda, dan (4) reklamasi tanah tandus
dan tanah alkaline.
- Perencanaan Irigasi.
Secara umum langkah - langkah membuat perencanaan irigasi
meliputi :
- Data yang harus ada :
Peta
topografi daerah yang akan direncanakan jaringan irigasinya dan data
klimatologi yang diperlukan, meliputi : data curah hujan, suhu udara,
penyinaran matahari, kelembaban relatif, dan kecepatan angin.
- Membuat rencana berupa
petak-petak tersier, sekunder, saluran pembawa, dan saluran pembuang
(drainase).
- Menghitung angka kebutuhan air
berdasar data-data yang ada.
- Merencanakan dimensi dari
jaringan irigasi baik saluran sekunder, tersier maupun primer.
- Merencanakan dimensi saluran
drainase , termasuk perhitungan muka air.
- Menggambarkan penampang
memanjang untuk jaringan irigasi yang direncanakan.
- Membuat gambar rencana.
G.
Tujuan
Irigasi
Disamping untuk memenuhi kebutuhan air pada
tanaman, irigasi dapat digunakan untuk berbagai macam pekerjaan dengan tujuan
sebagai berikut :
1.
Memupuk atau merabuk tanah.
Memupuk adalah bagian sesudah membasahi tanah. Air sungai yang membawa zat- zat yang diperlukan tanaman, sangat baik
untuk pertumbuhan tanaman.
2. Membilas
air kotor.
Hal ini bisanya terdapat di daerah perkotaan
dimana biasanya saluran-saluran dalam kota banyak mengandung kotoran sehingga untuk
menghindari pengendapan maka perlu diglontorkan dengan air yang kita datangkan.
3. Kultamase.
Kultamase ini hanya dapat dilakukan bila air yang
mengalir banyak mengandung mineral, material kasar. Karena material ini akan
mengendap bila kecepatan air tidak mencukupi untuk memindahkan material
tersebut.
4. Memberantas
hama.
Gangguan hama pada tanaman seperti sudep, tikus,
wereng dan ulat dapat diberantas dengan cara menggenangi permukaan tanah
tersebut dengan air sampai batas tertentu.
5. Mengatur
suhu tanah
Tanaman dapat tumbuh dengan baik bila suhu tanah
dapat diatur yaitu tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah. Air yang
menggenangi permukaan tanah dapat berfungsi untuk menjaga agar suhu tanah
konstan.
H.
Jenis
Irigasi
1.
Irigasi Permukaan
Irigasi Permukaan
terjadi di mana air dialirkan pada permukaan lahan. Di sini dikenal alur
primer, sekunder dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan pintu air.
Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih dulu.
2. Irigasi Lokal
Sistem ini air
distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana
lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya
terbatas sekali atau secara lokal.
3.
Irigasi dengan Penyemprotan.
Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot
air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut,
sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian
menetes ke akar.
4.
Irigasi Tradisional dengan Ember.
Di sini diperlukan
tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu juga
pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.
5.
Irigasi Pompa Air.
Air diambil dari sumur
dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan dengan berbagai cara,
misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus
mengairi sawah.
I. Irigasi Tanah Kering atau Irigasi Tetes
Di lahan kering, air
sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien. Jumlah air irigasi yang
diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang
air, serta sarana irigasi yang tersedia. Ada beberapa sistem irigasi untuk tanah kering, yaitu:
1. Irigasi tetes (drip
irrigation).
2. Irigasi curah (sprinkler
irrigation).
3. Irigasi saluran terbuka
(open ditch irrigation),
4. Irigasi bawah permukaan
(subsurface irrigation).
Untuk penggunaan air
yang efisien, irigasi tetes. merupakan salah satu alternatif. Misal sistem irigasi tetes
adalah pada tanaman cabai. Ketersediaan
sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air
irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater)
melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan
informasi mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk mengembangkan
irigasi suplemen.
Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter.
Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter.
- Reformasi Sumber Daya Air di Indonesia
Indonesia membutuhkan
reformasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air (SDA). Ada sejumlah alasan
mengapa reformasi tersebut perlu dilakukan. Pertama, sektor air di
Indonesia tidak mampu untuk memenuhi pertumbuhan dan berbagai tuntutan sebagai
konsekuensi akibat meningkatnya populasi. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, industri, dan pertanian
meningkat, tetapi gagal dipenuhi dan diantisipasi oleh berbagai institusi
pemerintah yang bertanggung jawab bagi penyediaan sarana air yang bersih dan
memadai. Hal ini dapat dilihat dari
reaksi berbagai pihak yang seakan-akan kebakaran jenggot dengan munculnya
gejala kekeringan di banyak daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua,
regulasi dan institusi yang mengatur SDA yang ada saat ini sangat kompleks,
tumpang tindih, dan tidak relevan terhadap berbagai kecenderungan (trends) yang
berlaku. Undang-Undang
(UU) Nomor 11 Tahun 1974 mengenai Pengairan, serta sejumlah peraturan turunan
lainnya yang mengatur sektor air tidak lagi memadai sebagai instrumen hukum
dalam mengatur sumber daya air yang perkembangan masalahnya sudah
multidimensional.
Dengan desakan dan
pinjaman (loans) dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia, proses reformasi sektor SDA dimulai sejak tahun 1999. Proses
ini diawali dengan menyiapkan perangkat UU Sumber Daya Air yang baru untuk
menggantikan UU Pengairan, yang menurut penulis prosesnya dipaksa untuk
dipercepat dan tertutup. Saat ini RUU Sumber Daya Air
sedang dibahas di DPR. Upaya lain yang sedang dilakukan adalah melakukan sejumlah
perubahan kebijakan di level makro dan mikro, misalnya kebijakan mengenai
irigasi, pembentukan sistem dan jaringan data hidrologi nasional. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah reformasi SDA dilandasi
oleh paradigma yang tepat dan apakah reformasi tersebut mampu memberikan
jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi sektor ini? Dengan membaca RUU Sumber Daya Air, dapat dipahami adanya cara
pandang yang berubah atas sumber daya air. Air tidak lagi sekadar barang publik
(public goods), tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi.
Pandangan tradisional melihat air sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapa pun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons), sumber daya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna keuntungan tertentu. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dapat menciptakan air. Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinsik dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air, serta dibutuhkannya investasi atau biaya untuk penyediaan air bersih. Perdebatan antarkelompok yang mengusung kedua paradigma tersebut masih terus berlangsung. Kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) menganggap bahwa air sudah seharusnya menjadi bagian hak asasi manusia dan menjadi tugas negara untuk menyediakannya. Dengan demikian, segala upaya komodifikasi dan privatisasi air seharusnya tidak diperbolehkan. Penjelasan pasal RUU SDA juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan peran masyarakat dan swasta, pemerintah dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan badan usaha dan perorangan dalam bentuk pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air maupun dalam penyediaan jasa pelayanan atau pengoperasian prasarana pengairan. Bentuknya dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya. Implikasi dari dominannya peran swasta adalah dalam hal menetapkan biaya penyediaan air dan harga air. Dari pengalaman selama ini, perusahaan swasta selalu menetapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full cost recovery) untuk memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal. Prinsip tersebut pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air, terlebih pada kelompok masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin kota dan petani kecil adalah contoh kelompok-kelompok yang rentan terampas hak dasarnya atas air.
Pandangan tradisional melihat air sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapa pun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons), sumber daya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna keuntungan tertentu. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dapat menciptakan air. Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinsik dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air, serta dibutuhkannya investasi atau biaya untuk penyediaan air bersih. Perdebatan antarkelompok yang mengusung kedua paradigma tersebut masih terus berlangsung. Kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) menganggap bahwa air sudah seharusnya menjadi bagian hak asasi manusia dan menjadi tugas negara untuk menyediakannya. Dengan demikian, segala upaya komodifikasi dan privatisasi air seharusnya tidak diperbolehkan. Penjelasan pasal RUU SDA juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan peran masyarakat dan swasta, pemerintah dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan badan usaha dan perorangan dalam bentuk pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air maupun dalam penyediaan jasa pelayanan atau pengoperasian prasarana pengairan. Bentuknya dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya. Implikasi dari dominannya peran swasta adalah dalam hal menetapkan biaya penyediaan air dan harga air. Dari pengalaman selama ini, perusahaan swasta selalu menetapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full cost recovery) untuk memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal. Prinsip tersebut pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air, terlebih pada kelompok masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin kota dan petani kecil adalah contoh kelompok-kelompok yang rentan terampas hak dasarnya atas air.
Dominannya paradigma
air sebagai komoditas ekonomi dalam RUU SDA melahirkan sejumlah tantangan untuk
memenuhi tujuan akhir dari proses reformasi ini, yaitu penyediaan air yang
efisien dan berkeadilan (equitable). Sangatlah penting memberi perlindungan
terhadap hak atas air sebagai hak dasar umat manusia dari upaya-upaya
komersialisasi air yang berlebihan dan menjamin bahwa reformasi sumber daya air
dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang lebih baik bagi kelompok miskin
dengan harga yang terjangkau. Reformasi
SDA harus mampu mempersiapkan aspek kelembagaan dan peraturan yang dapat
menjadi platform bersama bagi tujuan-tujuan di atas.
K. Pengalaman Sistem Irigasi Pertanian di Niigata Jepang
Sistem irigasi pertanian milik Mr. Nobutoshi Ikezu di
Niigata Prefecture. Di sini terlihat adanya manajemen persediaan air yang cukup
pada pengelolaan pertaniannya. Sekitar 3 km dari tempat tersebut tedapat sungai
besar yang debit airnya cukup dan tidak berlebih. Air sungai dinaikan ke tempat
penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar. Air dari tempat
penampungan dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah berdiameter 30 cm
ke pertanian di sekitarnya. Pada setiap pemilik sawah terdapat tempat pembukaan
air irigasi tersebut. Pembagian air ini bergilir berselang sehari, yang berarti
sehari keluar, sehari tutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan sawah
setempat yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup secara
manual. Dari pintu pengeluaran air tersebut dialirkan ke sawahnya melalui pipa
yang berada di bawah permukaan sawahnya. Kalau di tanah air kita pada umumnya
air dialirkan melalui permukaan sawah. Sedangkan untuk mengatur ketinggian air
dilakukan dengan cara menaikan dan menurunkan penutup pintu pembuangan air
secara manual. Pembuangan air dari sawah masuk saluran irigasi yang terbuat
dari beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai kecil, tanpa merembes
terbuang ke bawah tanah. Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat
efisien.
L. Pengalaman Irigasi Perkebunan Kelapa Sawit
Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama
bagi produksi kelapa sawit. Kekeringan menyebabkan penurunan laju fotosintesis
dan distribusi asimilat terganggu, berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman
baik fase vegetatif maupun fase generatif. Pada fase vegetatif kekeringan pada
tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan
terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air
menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan
pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya
penurunan produksi tanaman akibat terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya
jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil
dan rendemen minyak buah rendah.
Manajemen
irigasi perkebunan kelapa sawit, yaitu: membuat bak pembagi, pembangunan alat
pengukur debit manual di jalur sungai, membuat jaringan irigasi di lapang untuk
meningkatkan daerah layanan irigasi suplementer bagi tanaman kelapa sawit
seluas kurang lebih 1 ha, percobaan lapang untuk mengkaji pengaruh irigasi
suplementer (volume dan waktu pemberian) terhadap pertumbuhan vegetatif kelapa
sawit dan dampak peningkatan aliran dasar (base flow) terhadap performa
kelapa sawit pada musim kemarau, identifikasi lokasi pengembangan dan membuat
untuk 4 buah Dam Parit dan upscalling pengembangan dam parit di daerah
aliran sungai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari teori kesetimbangan ini
curah hujan yang jatuh di sawah (Reff) bukan 70% seperti pada metoda
konvensional. Akan tetapi besarnya jadi bervariasi sesuai dengan kondisi di
lapangan dan air yang dibutuhkan untuk sawah setelah teijadi infiltrasi dan
genangan, sehingga dari basil perhitungannya Reff ini dapat diklasifikasikan
sesuai dengan curah hujannya.
Secara garis besar dari
kajian ini dapa disimpulkan bahwa perhitungan kebutuhan air dengan metode
keseimbangan air lebih efisien dengan hasil yang lebih optimal bila
dibandingkan dengan metode konvensional. Ini juga sangat cocok dilaksanakan
pada DI Leuwi Goong mengingat kondisi alamnya yang mempunyai perbedaan tinggi
curah hujan yang sangat jauh antara musim bujan dan musim kemarau. Kebutuhan
air dengan metode konvensional 1.95 I/dt/ha sedangkan dengau metode
keseimbangan 1.06 lt/dt/ha sehingga dari hasil simulasi untuk Intensitas tanam
yang dihasilkan dengan metoda kesetimbangan lebih besar daripada metoda
konvensional yaitu diperoleh intensitas tanam yang mempunyai luas 6771 ha yaitu
278,17%, angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan intensitas tanamnya
dengan metoda konvensional dari luas 5271 ha yaitu 215%. Karena perbedaan
luasnya yang cukup tinggi mencapai 1500 ha memungkinkan sekitar 20 areal
irigasi tadah hujan menjadi areal irigasi teknis.
B. Saran
Sebagai saran dari
kesimpulan yang diambil mengenai pemilihan besar intensitas tanam agar kajian
dilanjutkan, lebih menguntungkan mana areal yang lebih besar atau intensitas
tanam yang lebih besar, ditinjau dari segi ekonomi.
DAFTARPUSTAKA
Ahmad, Zakaria,
2008.Pengembangan
sumber Daya Air. Bandung: Yayasan peNA.
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan
Irigasi
Indonesia. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
(http://id.wekipedia.org/wiki/Irigasi Indonesia [23/11/2011]
(http://id.indopedia.org/wiki/Se [23/11/2011]
(http://blog.re.or.id/Geografi.htm [23/11/2011]
(http://emjee11.blogspot.com/2011/01/tentang-irigasi.html)
No comments:
Post a Comment