Wednesday 25 March 2015

MAKALAH | SEJARAH AWAL IRIGASI DI DUNIA



BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertaniannya. Dalam dunia modern saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram. Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno. Melihat kenyataan di atas,dan sebagai salah satu tugas mata kuliah Irigasi dan Keteknikan. Kami ingin melakukan penelitian tentang pemanfaatan system perairan irigasi yang mulai kering karena musim kemarau yang berkepanjangan.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka permasalahan penting yang akan kami teliti yaitu:
Apakah pemanfaatan perairan irigasi dari sungai cimanuk masih memiliki daya tarik bagi masyarakat setempat, ditinjau dari kekeringan karena musim kemarau yang berkepanjangan? 
1.3. Tujuan  Penelitian 
Yang menjadi dasar untuk tujuan penelitian ini adalah Dorongan untuk memberikan informasi dan data secara menyeluruh mengenai system irigasi di cimanuk, serta tentang kondisi dan keadaan system irigasi tersebut kepada pembaca. Sehingga pembaca dapat mengetahui dan mengenal system irigasi. Dan mudah-mudahan dengan adanya makalah ini di tangan para pembaca,bias memberikan dorongan untuk memanfaatkan system perairan irigasi dari sungai cimanuk. Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi erosi, hasil sedimen, dan mengkaji penurunan debit minimum yang terjadi disungai Cimanuk.  Pendekatan bidang ekohidrologi sebagai pendekatan interdisipliner dalam memahami ekosistem perairan dikenal sebagai sarana manajemen yang adaptif karena didasarkan pada pengintegrasian dinamika perairan dan dinamika biota dalam suatu kerangka kerja pada suatu daerah tangkapan. Indonesia ditunjuk sebagai Pusat Ekohidrologi Regional Asia Pasific, hal itu diharapkan dapat memacu perkembangan konsep ekohidrologi sebagai pendekatan dalam penyelesaian masalah-masalah lingkungan. Dalam rangka pendirian pusat tersebut dilakukan persiapan berupa prasarana dalam bentuk penetapan waduk Saguling sebagai studi kasus permasalahan ekohidrologis yang terjadi di daerah.
1.4. Kegunaan  Penelitian
Hasil penelitian ini di harap kan dapat memberikan gambaran atau sumber pemikiran yang terbaik untuk terus mengembangkan dan melestarikan system perairan irigasi. Memiliki peranan penting bagi masyarakat sekitar.selain itu penelitian ini di harapkan dapat membantu mengenal lebih jauh tentang pemanfaatan system perairan irigasi.
1.5. Metode  Penelitian 
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Metode eksperimen atau melakukan survai yang benar-benar kuat.Yang selanjutnya data tersebut di olah secara bersama-sama dengan data yang di kumpulkan dengan cara mencari artikel-artikel tentang system perairan irigasi. Sehingga diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan yang tepat.
 BAB II
PEMBAHASAN


      A.    Sejarah Irigasi di Indonesia


            Secara umum menjelaskan perkembangan mulai dari adanya usaha pembuatan irigasi sangat sederhana, perkembangan irigasi di Mesir, Babilonia, India,dll kemudian bagaimana perkembangan irigasi di Indonesia sampai saat sekarang.

            Di Bali, irigasi sudah ada sebelum tahun 1343 M, hal ini terbukti dengan adanya sedahan (petugas yang melakukan koordinasi atas subak-subak dan mengurus pemungutan pajak atas tanah wilayahnya). Sedangkan pengertian subak adalah “ Suatu masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris relegius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha tani” (PP. 23 tahun 1982, tentang Irigasi).
Di Indonesia irigasi tradisional telah berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung kali secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa dengan ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.

      B.     Sistem  Irigasi  Zaman  Hindia  Belanda
Sistem irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa tersebut mengupayakan agar semua lahan yang dicetak untuk persawahan maupun perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksplotasi tanah jajahannya.
Sistem irigasi yang dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier. Tetapi sumber air belum memakai sistem Waduk Serbaguna seperti TVA di Amerika Serikat. Air dalam irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam sistem irigasi terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, di mana para petani diharuskan membayar uang iuran sewa pemakaian air untuk sawahnya. Waduk Jatiluhur 1955 di Jawa Barat. Tennessee Valley Authority (TVA) [1] yang diprakasai oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt pada tahun 1933 merupakan salah satu Waduk Serba Guna yang pertama dibangun di dunia [2]. Resesi ekonomi (inflasi) tahun 1930 melanda seluruh dunia, sehingga TVA adalah salah satu model dalam membangun kembali ekonomi Amerika Serikat.  Isu TVA adalah mengenai: produksi tenaga listrik, navigasi, pengendalian banjir, pencegahan malaria, reboisasi, dan kontrol erosi. Sehinga di kemudian hari Proyek TVA menjadi salah satu model dalam menangani hal yang mirip. Oleh sebab itu Proyek Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang hampir mirip dengan TVA di AS tersebut. Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (±9 km dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda, dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 milyar m3/thn.

C.    Irigasi  Mesir  Kuno  dan  Tradisional  Nusantara

Sejak Mesir Kuno telah dikenal dengan memanfaatkan Sungai Nil. Di Indonesia, irigasi tradisional telah juga berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung kali secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa dengan ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.


      D.    Pengertian  Irigasi
Irigasi merupakan suatu ilmu yang memanfaatkan air untuk tanaan mulai dari tumbuh sampai masa panen. Air tersebut diambil dari sumbernya, dibawa melalui saluran, dibagikan kepada tanaman yang memerlukan secara teratur, dan setelah air tersebut terpakai, kemudian dibuang melalui saluran pembuang menuju sungai kembali.
Irigasi dikehendaki dalam situasi: (a) bila jumlah curah hujan lebih kecil dari pada kebutuhan tanaman; (b) bila jumlah curah hujan mencukupi tetapi distribusi dari curah hujan tidak bersamaan dengan waktu yang dikehendaki tanaman.
      E.     Aspek  irigasi (Engineering Dan Agricultural)
Aspek Engineering menyangkut: (1) Penyimpanan, penyimpangan, dan pengangkutan (2) membawa air ke lading pertanian, (3) pemakaian air untuk persawahan, (4) pengeringan air yang berlebihan, dan (5) pembangkit tenaga air.
Aspek Agrikultural, menyangkut: (1) kedalaman pemberian air, (2) distribusi air secara seragam dan berkala, (3) kapasitan dan aliran yang berbeda, dan (4) reklamasi tanah tandus dan tanah alkaline.
  1. Perencanaan  Irigasi.
Secara umum langkah - langkah membuat perencanaan irigasi meliputi :
  1. Data yang harus ada :
Peta topografi daerah yang akan direncanakan jaringan irigasinya dan data klimatologi yang diperlukan, meliputi : data curah hujan, suhu udara, penyinaran matahari, kelembaban relatif, dan kecepatan angin.
  1. Membuat rencana berupa petak-petak tersier, sekunder, saluran pembawa, dan saluran pembuang (drainase).
  2. Menghitung angka kebutuhan air berdasar data-data yang ada.
  3. Merencanakan dimensi dari jaringan irigasi baik saluran sekunder, tersier maupun primer.
  4. Merencanakan dimensi saluran drainase , termasuk perhitungan muka air.
  5. Menggambarkan penampang memanjang untuk jaringan irigasi yang direncanakan.
  6. Membuat gambar rencana.

      G.    Tujuan  Irigasi
Disamping untuk memenuhi kebutuhan air pada tanaman, irigasi dapat digunakan untuk berbagai macam pekerjaan dengan tujuan sebagai berikut :

1.      Memupuk atau merabuk tanah.
Memupuk adalah bagian sesudah membasahi tanah. Air sungai yang membawa zat- zat yang diperlukan tanaman, sangat baik untuk pertumbuhan tanaman.
2.      Membilas air kotor.
Hal ini bisanya terdapat di daerah perkotaan dimana biasanya saluran-saluran dalam kota banyak mengandung kotoran sehingga untuk menghindari pengendapan maka perlu diglontorkan dengan air yang kita datangkan.
3.      Kultamase.
Kultamase ini hanya dapat dilakukan bila air yang mengalir banyak mengandung mineral, material kasar. Karena material ini akan mengendap bila kecepatan air tidak mencukupi untuk memindahkan material tersebut.
4.      Memberantas hama.
Gangguan hama pada tanaman seperti sudep, tikus, wereng dan ulat dapat diberantas dengan cara menggenangi permukaan tanah tersebut dengan air sampai batas tertentu.
5.      Mengatur suhu tanah
Tanaman dapat tumbuh dengan baik bila suhu tanah dapat diatur yaitu tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah. Air yang menggenangi permukaan tanah dapat berfungsi untuk menjaga agar suhu tanah konstan.

      H.    Jenis  Irigasi
            1.      Irigasi Permukaan
Irigasi Permukaan terjadi di mana air dialirkan pada permukaan lahan. Di sini dikenal alur primer, sekunder dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih dulu.
2. Irigasi Lokal
Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau secara lokal.
3.      Irigasi dengan Penyemprotan.
Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar.
4.      Irigasi Tradisional dengan Ember.
Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.
5.      Irigasi Pompa Air.
Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah.
I.       Irigasi  Tanah  Kering  atau  Irigasi  Tetes
Di lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien. Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang tersedia. Ada beberapa sistem irigasi untuk tanah kering, yaitu:
1. Irigasi tetes (drip irrigation).
2. Irigasi curah (sprinkler irrigation).
3. Irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation),
4. Irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation).
Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes. merupakan salah satu alternatif. Misal sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai. Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen.
Deteksi air bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan Terameter
.
  1. Reformasi  Sumber  Daya  Air  di  Indonesia
Indonesia membutuhkan reformasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air (SDA). Ada sejumlah alasan mengapa reformasi tersebut perlu dilakukan. Pertama, sektor air di Indonesia tidak mampu untuk memenuhi pertumbuhan dan berbagai tuntutan sebagai konsekuensi akibat meningkatnya populasi. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, industri, dan pertanian meningkat, tetapi gagal dipenuhi dan diantisipasi oleh berbagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab bagi penyediaan sarana air yang bersih dan memadai. Hal ini dapat dilihat dari reaksi berbagai pihak yang seakan-akan kebakaran jenggot dengan munculnya gejala kekeringan di banyak daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua, regulasi dan institusi yang mengatur SDA yang ada saat ini sangat kompleks, tumpang tindih, dan tidak relevan terhadap berbagai kecenderungan (trends) yang berlaku. Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1974 mengenai Pengairan, serta sejumlah peraturan turunan lainnya yang mengatur sektor air tidak lagi memadai sebagai instrumen hukum dalam mengatur sumber daya air yang perkembangan masalahnya sudah multidimensional.
Dengan desakan dan pinjaman (loans) dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, proses reformasi sektor SDA dimulai sejak tahun 1999. Proses ini diawali dengan menyiapkan perangkat UU Sumber Daya Air yang baru untuk menggantikan UU Pengairan, yang menurut penulis prosesnya dipaksa untuk dipercepat dan tertutup. Saat ini RUU Sumber Daya Air sedang dibahas di DPR. Upaya lain yang sedang dilakukan adalah melakukan sejumlah perubahan kebijakan di level makro dan mikro, misalnya kebijakan mengenai irigasi, pembentukan sistem dan jaringan data hidrologi nasional. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah reformasi SDA dilandasi oleh paradigma yang tepat dan apakah reformasi tersebut mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi sektor ini? Dengan membaca RUU Sumber Daya Air, dapat dipahami adanya cara pandang yang berubah atas sumber daya air. Air tidak lagi sekadar barang publik (public goods), tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi.
Pandangan tradisional melihat air sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapa pun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons), sumber daya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna keuntungan tertentu.
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dapat menciptakan air. Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinsik dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air, serta dibutuhkannya investasi atau biaya untuk penyediaan air bersih. Perdebatan antarkelompok yang mengusung kedua paradigma tersebut masih terus berlangsung. Kalangan organisasi nonpemerintah (ornop) menganggap bahwa air sudah seharusnya menjadi bagian hak asasi manusia dan menjadi tugas negara untuk menyediakannya. Dengan demikian, segala upaya komodifikasi dan privatisasi air seharusnya tidak diperbolehkan. Penjelasan pasal RUU SDA juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan peran masyarakat dan swasta, pemerintah dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan badan usaha dan perorangan dalam bentuk pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air maupun dalam penyediaan jasa pelayanan atau pengoperasian prasarana pengairan. Bentuknya dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya. Implikasi dari dominannya peran swasta adalah dalam hal menetapkan biaya penyediaan air dan harga air. Dari pengalaman selama ini, perusahaan swasta selalu menetapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full cost recovery) untuk memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal. Prinsip tersebut pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air, terlebih pada kelompok masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin kota dan petani kecil adalah contoh kelompok-kelompok yang rentan terampas hak dasarnya atas air.
Dominannya paradigma air sebagai komoditas ekonomi dalam RUU SDA melahirkan sejumlah tantangan untuk memenuhi tujuan akhir dari proses reformasi ini, yaitu penyediaan air yang efisien dan berkeadilan (equitable). Sangatlah penting memberi perlindungan terhadap hak atas air sebagai hak dasar umat manusia dari upaya-upaya komersialisasi air yang berlebihan dan menjamin bahwa reformasi sumber daya air dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang lebih baik bagi kelompok miskin dengan harga yang terjangkau. Reformasi SDA harus mampu mempersiapkan aspek kelembagaan dan peraturan yang dapat menjadi platform bersama bagi tujuan-tujuan di atas.

K.   Pengalaman  Sistem  Irigasi  Pertanian  di  Niigata  Jepang
Sistem irigasi pertanian milik Mr. Nobutoshi Ikezu di Niigata Prefecture. Di sini terlihat adanya manajemen persediaan air yang cukup pada pengelolaan pertaniannya. Sekitar 3 km dari tempat tersebut tedapat sungai besar yang debit airnya cukup dan tidak berlebih. Air sungai dinaikan ke tempat penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar. Air dari tempat penampungan dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya. Pada setiap pemilik sawah terdapat tempat pembukaan air irigasi tersebut. Pembagian air ini bergilir berselang sehari, yang berarti sehari keluar, sehari tutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan sawah setempat yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup secara manual. Dari pintu pengeluaran air tersebut dialirkan ke sawahnya melalui pipa yang berada di bawah permukaan sawahnya. Kalau di tanah air kita pada umumnya air dialirkan melalui permukaan sawah. Sedangkan untuk mengatur ketinggian air dilakukan dengan cara menaikan dan menurunkan penutup pintu pembuangan air secara manual. Pembuangan air dari sawah masuk saluran irigasi yang terbuat dari beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah tanah. Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat efisien.

L.    Pengalaman  Irigasi  Perkebunan  Kelapa  Sawit
Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama bagi produksi kelapa sawit. Kekeringan menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan distribusi asimilat terganggu, berdampak negatif pada pertumbuhan tanaman baik fase vegetatif maupun fase generatif. Pada fase vegetatif kekeringan pada tanaman kelapa sawit ditandai oleh kondisi daun tombak tidak membuka dan terhambatnya pertumbuhan pelepah. Pada keadaan yang lebih parah kekurangan air menyebabkan kerusakan jaringan tanaman yang dicerminkan oleh daun pucuk dan pelepah yang mudah patah. Pada fase generatif kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman akibat terhambatnya pembentukan bunga, meningkatnya jumlah bunga jantan, pembuahan terganggu, gugur buah muda, bentuk buah kecil dan rendemen minyak buah rendah.
Manajemen irigasi perkebunan kelapa sawit, yaitu: membuat bak pembagi, pembangunan alat pengukur debit manual di jalur sungai, membuat jaringan irigasi di lapang untuk meningkatkan daerah layanan irigasi suplementer bagi tanaman kelapa sawit seluas kurang lebih 1 ha, percobaan lapang untuk mengkaji pengaruh irigasi suplementer (volume dan waktu pemberian) terhadap pertumbuhan vegetatif kelapa sawit dan dampak peningkatan aliran dasar (base flow) terhadap performa kelapa sawit pada musim kemarau, identifikasi lokasi pengembangan dan membuat untuk 4 buah Dam Parit dan upscalling pengembangan dam parit di daerah aliran sungai.















BAB III
PENUTUP


      A.    Kesimpulan
Dari teori kesetimbangan ini curah hujan yang jatuh di sawah (Reff) bukan 70% seperti pada metoda konvensional. Akan tetapi besarnya jadi bervariasi sesuai dengan kondisi di lapangan dan air yang dibutuhkan untuk sawah setelah teijadi infiltrasi dan genangan, sehingga dari basil perhitungannya Reff ini dapat diklasifikasikan sesuai dengan curah hujannya.
Secara garis besar dari kajian ini dapa disimpulkan bahwa perhitungan kebutuhan air dengan metode keseimbangan air lebih efisien dengan hasil yang lebih optimal bila dibandingkan dengan metode konvensional. Ini juga sangat cocok dilaksanakan pada DI Leuwi Goong mengingat kondisi alamnya yang mempunyai perbedaan tinggi curah hujan yang sangat jauh antara musim bujan dan musim kemarau. Kebutuhan air dengan metode konvensional 1.95 I/dt/ha sedangkan dengau metode keseimbangan 1.06 lt/dt/ha sehingga dari hasil simulasi untuk Intensitas tanam yang dihasilkan dengan metoda kesetimbangan lebih besar daripada metoda konvensional yaitu diperoleh intensitas tanam yang mempunyai luas 6771 ha yaitu 278,17%, angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan intensitas tanamnya dengan metoda konvensional dari luas 5271 ha yaitu 215%. Karena perbedaan luasnya yang cukup tinggi mencapai 1500 ha memungkinkan sekitar 20 areal irigasi tadah hujan menjadi areal irigasi teknis.

      B.     Saran
Sebagai saran dari kesimpulan yang diambil mengenai pemilihan besar intensitas tanam agar kajian dilanjutkan, lebih menguntungkan mana areal yang lebih besar atau intensitas tanam yang lebih besar, ditinjau dari segi ekonomi.




DAFTARPUSTAKA



Ahmad, Zakaria, 2008.Pengembangan sumber Daya Air. Bandung: Yayasan peNA.
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Irigasi Indonesia. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
(http://id.wekipedia.org/wiki/Irigasi Indonesia [23/11/2011]
(http://id.indopedia.org/wiki/Se  [23/11/2011]
(http://blog.re.or.id/Geografi.htm [23/11/2011]
(http://emjee11.blogspot.com/2011/01/tentang-irigasi.html)

No comments:

Post a Comment