|
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyelidikan dampak ekonomi pemerintah Hindia-Belanda atas perekonomian
indonesia yang dijajah pada abad ke-19 dan 20 sampai tahun 1940, dengan survei
singkat mengenai perkembangan-perkembangan hingga tahun 1903, ketika sebuah
undang-undang di sahkan di negeri belanda, yang secara jelas memisahkan
keuangan pemerintah didalam negeri Belanda sendiri dari keuangan daerah
jajahan. Kemudian diselidiki secara lebih rinci perkembangan-perkembangan pada
empat dasawarsa pertama dari abad ke-20,
Dengan memperhatiakan evolusi dan dampak kebijaksanaan mengenai pajak,
pengeluaran dan hutang, dan demikian pula soal yang semakin meluas mengenai
dengan meningkatnya campur tangan pemerintah dalam perekonomian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Mengapa
pemerintah indonesia ikut campur tangan dalam pemerintah kolonial belanda?
2.
Apa
peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial?
1.3
Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk menyelidiki dampak
ekonomi pemerintah Hindia-Belanda atas perekonomian Indonesia yang dijajah pada
abad ke-19 samapai tahun 1940.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebijaksanaan
Fiskal Kolonial pada Abad Ke-19.
Dalam suatu survei mengenai sistem fiskal kolonial belanda yang diterbitkan
pada tahun 1900, Day membagi abad ke-19 menjadi tiga periode (Day, 1900),
Pertama-tama, dari tahun 1800 hingga kira-kira tahun 1830 merupakan “suatu
periode percobaan-percobaan itu, yang sangat terkenal adalah usaha orang inggris
untuk menetapkan suatu sistem pajak tanah yang seragam berdasarkan penilaian
perorangan, telah gagal (bastin, 1945).
Setelah berakhirnya masa pemerintahan peralihan inggris, daerah jajahan itu
mengalami masa administrasi keuangan yang “diselenggarakan secara buruk”, dan
menjelang tahun 1829 defisit pemerintah yang telah bertumpuk mencapai 38
gulden, kira-kira lebih dari dua kali lipat nilai impor dalam tahun itu (C.I.E.
Jilid 2, hal. 17). Sebahagian besar pengeluaran pemerintah pada waktu itu adalah
untuk keperluan-keperluan militer, walaupun beberapa proyek kemiliteran seperti
pembangunan jalan-jalan, mungkin akan mempunyai dampak penting pada
perekonomian rakyat.
Pada periode kedua, bertepatan
dengan Sistem Tanam Paksa tahun 1830, pada saat pemerintah penjajah hampir
bangkrut setelah terlibat perang jawa terbesar (perang Diponegoro 1825-1830),
dan perang Paderi di Sumatra Barat (1821-1837), gubernur Jendral Van den Bosh
mendapat izin khusus melaksanakan sistem tanam paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan
utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau munutup defisit
anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem Tanam Paksa ini jauh lebih
keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang zaman VOC
wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu
dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka
tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Periode percobaan berubah menjadi masa pemerasan tenaga secara sistematis,
yang tujuan utamanya adalah menjamin surplus fiskal sebesar mungkin, untuk
dapat dikirim kenegeri belanda. Para penanam pribumi dipaksa menanam
produk-produk tertentu, yang kemudian dibawa oleh agen-agen pemerintah dan
dijual dipasaran Eropa, sementara para penanam hanya menerima sekedarnya
sebagai pembayaran.
Oleh karena bagian yang paling besar dari seluruh penghasilan pemerintah
selama masa sistem tanam paksa berasal sari hasil-hasil bumi yang dijual di
negeri Belanda, dan karena sebagian besar pengeluaran pemerintah terjadi
didaerah jajahan dan bukan di negeri Belanda, maka seluruh surplus anggaran
belanja selama masa 1835-1875 disertai oleh defisit besar dalam anggaran
belanja di daerah jajahan. Menjelang pertengahan tahun 1870-an, besarnaya
defisit ini berkisar sampai kira-kira 20% dari ekspor komoditi. Diperkirakan
bahwa pada waktu itu ekspor komoditi adalah kurang lebih 15% dari pendapatan
Nasional, maka defisit anggaran belanja domestik adalah sekitar 3% persen dari
pendapatan nasional. Suatu defisit domestik yang demikian besar mau tak mau
mengakibatkan suatu dampak terhadap likuiditas dalam negeri. Bukti nyata yang
ada memang menunjukkan kenaikan tiga kali lipat dalam nilai mata uang dan
lembaran-lembaran uang yang beredar pada masa tahun 1855/9 hingga tahun 1875/9
(C.E.I. Jilid 6, hal.62).
2.2 Perkembangan-perkembangan
dalam Abad ke-20
Empat dasawarsa terakhir dari kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia
ditandai oleh sejumlah perubahan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan penghasilan
dan pengeluaran, dalam kebijaksanaan berutang dan, secara lebih luas, dalam peranan
pemerintah pada soal perekonomian. Perubahan-perubahan ini disertai sejumlah
inovasi dalam prosedur pembukuan pemerintah, yang menyebabkan sulit membuat
perbandingan langsung antara data-data abad ke-20 dan data-data
dasawarsa-dasawarsa sebelumnya. Pada Undang-undang 1903 yang “secara jelas
memisahkan keuangan Kerajaan Belanda di Eropa dari keuangan Hindia-Belanda
dengan cara menerik provinsi sehubungan dengan pemindahan atau pengiriman uang
dari Hindia-Belanda ke Kerajaan Belanda di Eropa. Perubahan kedua menyangkut
perbedaan antara pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang biasa dan yang luar
biasa, yang mula-mula diperkenalkan pada tahun 1907. Perubahan ketiga, yang
secara serius mempengaruhi kemampuan untuk membandingkan rekening-rekening
negara pada tahun berkecamuknya perang, berasal dari perwujudan Indische Bedrijvenment pada tahun 1927,
Undang-undang ini merupakan seperangkat peraturan-peraturan pembukuan yang
diterapkan mulai dar tahun 1930 dan selanjutnya pada sejumlah perusahaan
(sarana) umum dan pemerintah.
Kebijaksanaan
penghasilan. Perkara beban pajak dan tipudaya dari pemerintah, seperti
pembebanan kerja rodi atas penduduk pribumi, mendapat perhatian penuh dari para
pengusaha kolonial selama emepat dasawarsa terakhir masa penjajahan Belanda,
dan berbagai penyusutan telah dilancarkan. Pada pandanagn pertama orang
mendapat kesan seolah-olah perubahan-prubahan yang terjadi dalam komposisi
penghasilan, terutama kecendrungan terhadap pajak, pendapatan dan cukai.
Terlepas dari pajak tanah dan pajak perorangan, akan membuat beban pajak secara
keseluruhan menjadi lebih adil, karena yang disebut lebih dulu jatuh pada
anggota-anggota yang secara relatif lebih baik keadaannya, baik penduduk
pribumi maupun bukan pribumi.
Walaupun penghasilan yang berasal
dari pajak tanah penduduk asli menurun, baik secara mutlak maupun sebagai suatu
bagian dari seluruh penghasilan, pendapatan pribumi bahkan menurun lebih cepat
lagi pada permulaan tahun 1930-an yang mengakibatkan meningkatnya beban pajak
atas pendapatan pribumi selama tahun-tahun kelesuan ekonomi.
Kecendrungan-kecendrungan
Pengeluaran. Sesudah tahun 1913 membandingkan kenaikan pengeluaran-pengeluaran
pemerintah dengan indeks harga eceran Batavia, jelas bahwa bertambahnya
pengeluaran yang terjadi antara tahun 1913 dan 1918 merupakan lebih daripada
hanya menggantikan kenaikan harga, tetapi setelah tahun 1918 bertambahnya
pengeluaran itu melebihi kenaikan dalam indeks harga. Tercatat bahea indeks
haraga eceran Batavia kembali pada tingkat harga tahun 1913 menjelang akhir
tahun 1930-an, indeks pengeluaran pemerintah hampir dua kali liapat indeks tahu
1913. Tetapi indeks pengeluaran domestik (yaitu pengeluaran-pengeluaran yang dibuat
didalam koloni) pada tahun 1939 hanya 68% diatas tingkat indeks tahun 1913,
karena meningkatnya bagian pengeluaran eksteren dalam seluruh pengeluaran.
Pengeluaran pemerintah terus
bertambah dengan nyata pada masa antar-peperangan, tetapi dari sebagai pendapatan
nasional, pengeluaran pemerintah menurun pada pertengahan tahun 1920-an, dan
naik lagi pada tahun 1930-an. Oleh karena perubahan-perubahan dalam prosedur
pembukuan pemerintah yang pernah digunjingkan. Pengeluaran-pengeluaran luar
biasa atau pengeluaran-pengeluaran modal, turun secara drastis sebagai bagian
dari seluruh pengeluaran selama dasawarsa 1920-an, dan hampir saja hilang
sesudah tahun 1932.
Defisit
Anggaran Belanja dan Kebijaksanaan Hutang. Defisit anggaran belanja yang
berkepanjangan pada dasawarsa-dasawarsa akhir abad ke-19, menyebabkan perlunya
pinjaman-pinjaman dari departemen keuangan Belanda kepada Departemen keuangan
Koloni. Salah satu tujuan utama pembuatan Undang-undang yang memisahkan
administrasi keuangan Indonesia dari administrasi keuangan Belanda adalah untuk
mrmungkinkan koloni/daerah jajahan merundingkan pinjaman-pinjaman atas
tanggung-jawabnya sendiri, meskipun setiap pinjaman yang diputuskan demikian
masih harus disetujui oleh Stagen-General di negeri Belanda.
Dengan berakhirnya perang Aceh,
menyebabakan turunnya persentase pengeluaran untuk pertahanan dalam seluruh
pengeluaran. Walaupun sisa anggaran belanja secara keseluruhan positif hanya
selama empat tahun, defisit-defisit itu tidak terlalu besar jika dikaitkan
dengan seluruh penghasilan, dan baru pada tahun 1915 kontrak-kontrak pinjaman
baru diadakan oleh pemerintah hindia belanda dengan menggunakan kekuasaan yang
diberikan kepadanyapada tahun 1905.
Antara tahun 1915 dab 1923 telah
didapatkan 16 pinjaman negara oleh pemerintah kolonial. Pinjaman pertama
dikeluarkan oleh sebuah konsorium yang terdiri dari para bankir Amsterdam,
tetapi karena pengeluaran hutang secara berturut-turut di negeri Belanda tidak
diizinkan, maka pinjaman-pinjaman selanjutnya di peroleh di New York dan juga
di London. Antara tahun 1923 dan 1929 tidak ada pinjaman-pinjaman baru,
meskipun pemerintah kolonial memanfaatkan tingkat bunga yang lebih rendah, yang
sedang berlaku di pasaran modal dunia selama periode itu, untuk mengubah atau
mengkonversi beberapa pinjaman yang ada. Oleh karena dalam dasawarsa 1930-an,
besarnaya defisit anggaran belanja secara keseluruhan meningkat lagi, maka
pinjaman-pinjaman selanjutnya dirundingkan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam menelusuri peranan pemerintah dalam
perekonomian indonesia sejak berdirinya Sistem Tanam Paksa hingga tahun 1940,
kita dapat mengenal empat masa yang berbeda.
1.
Dasawarsa
1830-an hingga pertengahan dasawarsa 1860-an merupakan masa ketika pengeluaran
dan penghasilan pemerintah yang nyata mantap sekali, ketika penghasilan
sebahagian besar berasal dari penjualan produk-produk.
2.
Akhir
tahun 1860 hingga pertengahan dasawarsa 1880-an ditandai oleh kenaikan
pengeluaran-pengeluaran nyata da suatu perubahan yang menonjol dalam komposisi pengeluaran-pengeluaran
ini, menjauhi administrasi (terutama pengolahan dan penjualan hasil panen) dan
menuju ke sektor pekerjaan umum.
3.
Mulai
dari pertengahan dasawarsa 1880-an hingga akhir abad ke-19, merupakan masa
resesi yang amat berat dalam perekonomian dunia dan perekonomian Indonesia.
4.
Mulai
dari pertukaran abad samapai tahun 1921, dan ditanadai oleh pertambahan yang
agak mantap dalam tingkatan-tingkatan pengeluaran pemerintah yang nyata, dengan
suatu penyimpangan dari kecendrungan pada atahun-tahun berkecamuknya perang,
1914-1918.
Salah satu
perubahan terjadi sesudah tahun 1870 sewaktu sistem tanam paksa sedikit demi
sedikit dihapus, dan diganti dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan perekonomian
yang lebih liberal, serta dianggap tidak perlu lagi untuk menggunakan
sebahagian besar pengeluaran pemerintah untuk pengolahan dan penjualan hasil
bumi.
Perubahan-perubahan
kebijaksanaan yang berturut-turut ini berakibat bahwa maksud tujuan dan juaga
alat-alat campur tangan pemerintah dalam perekonomian indonesia banyak sekali
mengalami perubahan dalam kurun waktu 100 tahun menjelang tahun 1940. Selama
berlangsungnya sistem tanam paksa, maksud campur tangan adalah untuk menjamin
agar sebanyak mungkin hasil perkebunan di jual diluar negeri, agar sumbangan
daerah jajahan bagi khazanah negeri Belanda dapat dimaksimalkan.
Pada abad ke-20,
waktu kesejahteraan penduduk bumi putera merupakan perhatian utama dari
politik, alat-alat campur tangan pemerintah dalam perekonomian didiversifikasi
dengan mencakup sejumlah tindakan yang direncanakan untuk mengatur harga dari
komoditi-komoditi pokok dan untuk melindungi sektor-sektor ekonomi tertentu,
seperti kerajinan tangan terhadap persaingan impor.
Hampir dapat
dipastikan bahwa menjelang akhir masa penjajahan Indonesia pemerintah merupakan
pelaku ekonomi yang jauh lebih penting daripada India jajahan Inggris atau
demikian pula di kebanyakan wilayah jajahan lainnya. Selanjutnya,
sekurang-kurangnya dapat diperdebatkan bahwa kebijaksanaan fiskal di Indonesia
pada akhir abad ke-19 dan ke-20 secara sadar lebih bersifat “pembangaunan”
daripada di kebanyakan negara jajahan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Booth, Anne et,
ed, Sejarah Perekonomian Indonesia, Jakarta:
LP3ES, 1988
No comments:
Post a Comment