Wednesday 25 March 2015

Evolusi Kebijaksanaan Fiskal Dan Peranan Pemerintah Dalam Perekonomian Kolonial


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penyelidikan dampak ekonomi pemerintah Hindia-Belanda atas perekonomian indonesia yang dijajah pada abad ke-19 dan 20 sampai tahun 1940, dengan survei singkat mengenai perkembangan-perkembangan hingga tahun 1903, ketika sebuah undang-undang di sahkan di negeri belanda, yang secara jelas memisahkan keuangan pemerintah didalam negeri Belanda sendiri dari keuangan daerah jajahan. Kemudian diselidiki secara lebih rinci perkembangan-perkembangan pada empat dasawarsa pertama dari abad ke-20,
Dengan memperhatiakan evolusi dan dampak kebijaksanaan mengenai pajak, pengeluaran dan hutang, dan demikian pula soal yang semakin meluas mengenai dengan meningkatnya campur tangan pemerintah dalam perekonomian.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Mengapa pemerintah indonesia ikut campur tangan dalam pemerintah kolonial belanda?
2.      Apa peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial?

1.3  Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk menyelidiki dampak ekonomi pemerintah Hindia-Belanda atas perekonomian Indonesia yang dijajah pada abad ke-19 samapai tahun 1940.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Kebijaksanaan Fiskal Kolonial pada Abad Ke-19.
Dalam suatu survei mengenai sistem fiskal kolonial belanda yang diterbitkan pada tahun 1900, Day membagi abad ke-19 menjadi tiga periode (Day, 1900), Pertama-tama, dari tahun 1800 hingga kira-kira tahun 1830 merupakan “suatu periode percobaan-percobaan itu, yang sangat terkenal adalah usaha orang inggris untuk menetapkan suatu sistem pajak tanah yang seragam berdasarkan penilaian perorangan, telah gagal (bastin, 1945).
Setelah berakhirnya masa pemerintahan peralihan inggris, daerah jajahan itu mengalami masa administrasi keuangan yang “diselenggarakan secara buruk”, dan menjelang tahun 1829 defisit pemerintah yang telah bertumpuk mencapai 38 gulden, kira-kira lebih dari dua kali lipat nilai impor dalam tahun itu (C.I.E. Jilid 2, hal. 17). Sebahagian besar pengeluaran pemerintah pada waktu itu adalah untuk keperluan-keperluan militer, walaupun beberapa proyek kemiliteran seperti pembangunan jalan-jalan, mungkin akan mempunyai dampak penting pada perekonomian rakyat.
     Pada periode kedua, bertepatan dengan Sistem Tanam Paksa tahun 1830, pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang jawa terbesar (perang Diponegoro 1825-1830), dan perang Paderi di Sumatra Barat (1821-1837), gubernur Jendral Van den Bosh mendapat izin khusus melaksanakan sistem tanam paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau munutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem Tanam Paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Periode percobaan berubah menjadi masa pemerasan tenaga secara sistematis, yang tujuan utamanya adalah menjamin surplus fiskal sebesar mungkin, untuk dapat dikirim kenegeri belanda. Para penanam pribumi dipaksa menanam produk-produk tertentu, yang kemudian dibawa oleh agen-agen pemerintah dan dijual dipasaran Eropa, sementara para penanam hanya menerima sekedarnya sebagai pembayaran.
Oleh karena bagian yang paling besar dari seluruh penghasilan pemerintah selama masa sistem tanam paksa berasal sari hasil-hasil bumi yang dijual di negeri Belanda, dan karena sebagian besar pengeluaran pemerintah terjadi didaerah jajahan dan bukan di negeri Belanda, maka seluruh surplus anggaran belanja selama masa 1835-1875 disertai oleh defisit besar dalam anggaran belanja di daerah jajahan. Menjelang pertengahan tahun 1870-an, besarnaya defisit ini berkisar sampai kira-kira 20% dari ekspor komoditi. Diperkirakan bahwa pada waktu itu ekspor komoditi adalah kurang lebih 15% dari pendapatan Nasional, maka defisit anggaran belanja domestik adalah sekitar 3% persen dari pendapatan nasional. Suatu defisit domestik yang demikian besar mau tak mau mengakibatkan suatu dampak terhadap likuiditas dalam negeri. Bukti nyata yang ada memang menunjukkan kenaikan tiga kali lipat dalam nilai mata uang dan lembaran-lembaran uang yang beredar pada masa tahun 1855/9 hingga tahun 1875/9 (C.E.I. Jilid 6, hal.62).
2.2    Perkembangan-perkembangan dalam Abad ke-20
Empat dasawarsa terakhir dari kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia ditandai oleh sejumlah perubahan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan penghasilan dan pengeluaran, dalam kebijaksanaan berutang dan, secara lebih luas, dalam peranan pemerintah pada soal perekonomian. Perubahan-perubahan ini disertai sejumlah inovasi dalam prosedur pembukuan pemerintah, yang menyebabkan sulit membuat perbandingan langsung antara data-data abad ke-20 dan data-data dasawarsa-dasawarsa sebelumnya. Pada Undang-undang 1903 yang “secara jelas memisahkan keuangan Kerajaan Belanda di Eropa dari keuangan Hindia-Belanda dengan cara menerik provinsi sehubungan dengan pemindahan atau pengiriman uang dari Hindia-Belanda ke Kerajaan Belanda di Eropa. Perubahan kedua menyangkut perbedaan antara pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang biasa dan yang luar biasa, yang mula-mula diperkenalkan pada tahun 1907. Perubahan ketiga, yang secara serius mempengaruhi kemampuan untuk membandingkan rekening-rekening negara pada tahun berkecamuknya perang, berasal dari perwujudan Indische Bedrijvenment pada tahun 1927, Undang-undang ini merupakan seperangkat peraturan-peraturan pembukuan yang diterapkan mulai dar tahun 1930 dan selanjutnya pada sejumlah perusahaan (sarana) umum dan pemerintah.
            Kebijaksanaan penghasilan. Perkara beban pajak dan tipudaya dari pemerintah, seperti pembebanan kerja rodi atas penduduk pribumi, mendapat perhatian penuh dari para pengusaha kolonial selama emepat dasawarsa terakhir masa penjajahan Belanda, dan berbagai penyusutan telah dilancarkan. Pada pandanagn pertama orang mendapat kesan seolah-olah perubahan-prubahan yang terjadi dalam komposisi penghasilan, terutama kecendrungan terhadap pajak, pendapatan dan cukai. Terlepas dari pajak tanah dan pajak perorangan, akan membuat beban pajak secara keseluruhan menjadi lebih adil, karena yang disebut lebih dulu jatuh pada anggota-anggota yang secara relatif lebih baik keadaannya, baik penduduk pribumi maupun bukan pribumi.
            Walaupun penghasilan yang berasal dari pajak tanah penduduk asli menurun, baik secara mutlak maupun sebagai suatu bagian dari seluruh penghasilan, pendapatan pribumi bahkan menurun lebih cepat lagi pada permulaan tahun 1930-an yang mengakibatkan meningkatnya beban pajak atas pendapatan pribumi selama tahun-tahun kelesuan ekonomi.
            Kecendrungan-kecendrungan Pengeluaran. Sesudah tahun 1913 membandingkan kenaikan pengeluaran-pengeluaran pemerintah dengan indeks harga eceran Batavia, jelas bahwa bertambahnya pengeluaran yang terjadi antara tahun 1913 dan 1918 merupakan lebih daripada hanya menggantikan kenaikan harga, tetapi setelah tahun 1918 bertambahnya pengeluaran itu melebihi kenaikan dalam indeks harga. Tercatat bahea indeks haraga eceran Batavia kembali pada tingkat harga tahun 1913 menjelang akhir tahun 1930-an, indeks pengeluaran pemerintah hampir dua kali liapat indeks tahu 1913. Tetapi indeks pengeluaran domestik (yaitu pengeluaran-pengeluaran yang dibuat didalam koloni) pada tahun 1939 hanya 68% diatas tingkat indeks tahun 1913, karena meningkatnya bagian pengeluaran eksteren dalam seluruh pengeluaran.
            Pengeluaran pemerintah terus bertambah dengan nyata pada masa antar-peperangan, tetapi dari sebagai pendapatan nasional, pengeluaran pemerintah menurun pada pertengahan tahun 1920-an, dan naik lagi pada tahun 1930-an. Oleh karena perubahan-perubahan dalam prosedur pembukuan pemerintah yang pernah digunjingkan. Pengeluaran-pengeluaran luar biasa atau pengeluaran-pengeluaran modal, turun secara drastis sebagai bagian dari seluruh pengeluaran selama dasawarsa 1920-an, dan hampir saja hilang sesudah tahun 1932.
            Defisit Anggaran Belanja dan Kebijaksanaan Hutang. Defisit anggaran belanja yang berkepanjangan pada dasawarsa-dasawarsa akhir abad ke-19, menyebabkan perlunya pinjaman-pinjaman dari departemen keuangan Belanda kepada Departemen keuangan Koloni. Salah satu tujuan utama pembuatan Undang-undang yang memisahkan administrasi keuangan Indonesia dari administrasi keuangan Belanda adalah untuk mrmungkinkan koloni/daerah jajahan merundingkan pinjaman-pinjaman atas tanggung-jawabnya sendiri, meskipun setiap pinjaman yang diputuskan demikian masih harus disetujui oleh Stagen-General di negeri Belanda.
            Dengan berakhirnya perang Aceh, menyebabakan turunnya persentase pengeluaran untuk pertahanan dalam seluruh pengeluaran. Walaupun sisa anggaran belanja secara keseluruhan positif hanya selama empat tahun, defisit-defisit itu tidak terlalu besar jika dikaitkan dengan seluruh penghasilan, dan baru pada tahun 1915 kontrak-kontrak pinjaman baru diadakan oleh pemerintah hindia belanda dengan menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanyapada tahun 1905.
            Antara tahun 1915 dab 1923 telah didapatkan 16 pinjaman negara oleh pemerintah kolonial. Pinjaman pertama dikeluarkan oleh sebuah konsorium yang terdiri dari para bankir Amsterdam, tetapi karena pengeluaran hutang secara berturut-turut di negeri Belanda tidak diizinkan, maka pinjaman-pinjaman selanjutnya di peroleh di New York dan juga di London. Antara tahun 1923 dan 1929 tidak ada pinjaman-pinjaman baru, meskipun pemerintah kolonial memanfaatkan tingkat bunga yang lebih rendah, yang sedang berlaku di pasaran modal dunia selama periode itu, untuk mengubah atau mengkonversi beberapa pinjaman yang ada. Oleh karena dalam dasawarsa 1930-an, besarnaya defisit anggaran belanja secara keseluruhan meningkat lagi, maka pinjaman-pinjaman selanjutnya dirundingkan.





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dalam menelusuri peranan pemerintah dalam perekonomian indonesia sejak berdirinya Sistem Tanam Paksa hingga tahun 1940, kita dapat mengenal empat masa yang berbeda.
1.      Dasawarsa 1830-an hingga pertengahan dasawarsa 1860-an merupakan masa ketika pengeluaran dan penghasilan pemerintah yang nyata mantap sekali, ketika penghasilan sebahagian besar berasal dari penjualan produk-produk.
2.      Akhir tahun 1860 hingga pertengahan dasawarsa 1880-an ditandai oleh kenaikan pengeluaran-pengeluaran nyata da suatu perubahan yang menonjol dalam komposisi pengeluaran-pengeluaran ini, menjauhi administrasi (terutama pengolahan dan penjualan hasil panen) dan menuju ke sektor pekerjaan umum.
3.      Mulai dari pertengahan dasawarsa 1880-an hingga akhir abad ke-19, merupakan masa resesi yang amat berat dalam perekonomian dunia dan perekonomian Indonesia.
4.      Mulai dari pertukaran abad samapai tahun 1921, dan ditanadai oleh pertambahan yang agak mantap dalam tingkatan-tingkatan pengeluaran pemerintah yang nyata, dengan suatu penyimpangan dari kecendrungan pada atahun-tahun berkecamuknya perang, 1914-1918.
Salah satu perubahan terjadi sesudah tahun 1870 sewaktu sistem tanam paksa sedikit demi sedikit dihapus, dan diganti dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan perekonomian yang lebih liberal, serta dianggap tidak perlu lagi untuk menggunakan sebahagian besar pengeluaran pemerintah untuk pengolahan dan penjualan hasil bumi.
Perubahan-perubahan kebijaksanaan yang berturut-turut ini berakibat bahwa maksud tujuan dan juaga alat-alat campur tangan pemerintah dalam perekonomian indonesia banyak sekali mengalami perubahan dalam kurun waktu 100 tahun menjelang tahun 1940. Selama berlangsungnya sistem tanam paksa, maksud campur tangan adalah untuk menjamin agar sebanyak mungkin hasil perkebunan di jual diluar negeri, agar sumbangan daerah jajahan bagi khazanah negeri Belanda dapat dimaksimalkan.
Pada abad ke-20, waktu kesejahteraan penduduk bumi putera merupakan perhatian utama dari politik, alat-alat campur tangan pemerintah dalam perekonomian didiversifikasi dengan mencakup sejumlah tindakan yang direncanakan untuk mengatur harga dari komoditi-komoditi pokok dan untuk melindungi sektor-sektor ekonomi tertentu, seperti kerajinan tangan terhadap persaingan impor.
Hampir dapat dipastikan bahwa menjelang akhir masa penjajahan Indonesia pemerintah merupakan pelaku ekonomi yang jauh lebih penting daripada India jajahan Inggris atau demikian pula di kebanyakan wilayah jajahan lainnya. Selanjutnya, sekurang-kurangnya dapat diperdebatkan bahwa kebijaksanaan fiskal di Indonesia pada akhir abad ke-19 dan ke-20 secara sadar lebih bersifat “pembangaunan” daripada di kebanyakan negara jajahan lainnya.


















DAFTAR PUSTAKA

Booth, Anne et, ed, Sejarah Perekonomian Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988

No comments:

Post a Comment