BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Ditengah-tengah krisis
tahun 1957, di ambil langkah-langkah pertama
menuju suatu bentuk
yang oleh Soekarno
dinamakan “Demokrasi Terpimpin”.
Demokrasi terpimpin didominasi
oleh kepribadian Soekarno, walaupun prakarsa
pelaksanaannya dia ambil
bersama-sama dengan angkatan
pemimpin angktan bersenjata.
Kekuatan-kekuatan lainnya berpaling
kepada Soekarno untuk
mendapatkan bimbingan,
legitimasi, atau perlindungan.
Dengan menampilkan dirinya
kedepan dalam krisis
tahun 1957, maka ia
didukung oleh para
pemimpin lainnya dalam
mempertahankan posisi sentral.
Semua yang
dilakukan itu adalah
untuk mendukung suatu
keseimbangan politik yang
bahkan tidak dapat
ditegakkan oleh Soekarno, suatu keseimbangan
politik yang merupakan
kompromi antara kepentingan-kepentingan yang
tidak dapat dirujukkan
kembali dan oleh
karenanya tidak memuaskan
semua pihak. Sedangkan janji-janji
dari demokrasi terpimpin
adalah palsu. Soekarno sendiri
hanya memiliki sedikit
kekuatan yang terorganisasi
dan harus manipulasi, mengancam, serta membujuk
orang-orang kuat lainnya. Intrik persekongkolan menjadi
lazim dalam politik. Elit
politik menjadi himpunan
kelompok-kelompok yang mengelilingi
orang-orang berpengaruh.
System keuangan dan
system hokum menjadi
semakin sewenang-wenang dan
tidak menentu karena
hancurnya norma-norma birokrasi.
Pemerintah daerah semakin
mengandalkan para petani
sebagai tenaga kerja
yang tidak digaji.
Mustahil bahwa
demokrasi terpimpin diilhami
secara sadar ataupun
bawah sadar oleh
prinsip-prinsip asli negara
dari masa prakolonial. Tradisi-tradisi politik
jawa sudah diubah
sedemikian oleh kolonialisme
Belanda, sehingga pada tahun
1950-an tidak ada
satu pun yang
masih tersisa selain
legenda-legenda yang romantis. Peranan militer
secara pribadi dari
raja-raja prakolonial Indonesia
tidak kita jumpai
dalam demokrasi terpimpin. Sebagai satuan-satuan
kecil prajurit professional
dan pasukan-pasukan besar
yang dihimpun dari
kalangan petani kini
terdapat satuan tentara
tetap yang besar
dibawah panglima-panglimanya sendiri. Kurangnya pengalaman
dan kekuatan Soekarno
secara pribadi dibidang
militer sama dengan
ketidaktahuannya dibidang ekonomi
yang merupakan bencana
besar.
Soekarno menginginkan
revolusi yang berkesinambungan dan
mobilisasi massa, dan disini
kelihatan dampak dari
pergerakan nasional,
pendudukan Jepang, dan Revolusi, yaitu pengaruh-pengaruh yang
lebih mendasar daripada
kerajaan-kerajaan Jawa yang
sidikit diketahui Soekarno. Meledaknya jumlah
penduduk serta terjadinya
revolusi dibidang komunikasi
dan teknologi membuat
potensi munculnya suatu
tatanan dalam negeri
yang otoriter semakin
jauh lebih besar. Rakyat
dapat diamati, diberi informasi, dimobilisasi, atau dipaksa
dengan lebih berhasil
daripada di setiap kerajaan
dahulu. Ketika Soekarno dan
kekuatan-kekuatan politik lainnya
meraba-raba jalan mereka
kearah tatanan yang
lebih otoriter, maka dalam
beberapa hal mereka
kembali ke zaman dahulu. Tampak jelasa
bahwa pada tahun
1957, partai-partai politik berada
pada posisi defensive, tetapi rasa
saling bermusuhan terlalu
berat bagi mereka
untuk bekerja sama
dalam mempertahankan system
parlementer.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan dari pembahasan diatas, maka rumusan masalah
dibawah ini adalah bagaimanakah timbulnya berbagai permasalahan-permasalahan
atau dampak-dampak yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin?
1.3 Tujuan
1.
Tujuan
dari makalah ini supaya mengetahui dampak-damapk yang terjadi pada masa
demokrasi terpimpin, baik dari aspek politik maupun dari aspek ekonomi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Dampak-Dampak Demokrasi
Terpimpin.
Setelah Sukarno mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 maka
Indonesia memasuki babak baru dalam Sejarah. Dekrit Presiden menandai
berdirinya rezim Demokrasi Terpimpin atau istilah lainnya adalah orde lama.
Demokrasi Terpimpin didominasi oleh kehendak Presiden Soekarno, walaupun
prakarsa pelaksanaannya diambil bersama-sama dengan pimpinan angkatan
bersenjata. Banyak pengamat yang menganggap Presiden Soekarno sebagai diktator
ulung. Dia adalah ahli manipulator rakyat daan manipulator lambang-lambang. Dia
dapat berpidato dengan mudah di depan khalayak ramai.
Dalam pelaksaaan Demokrasi Terpimpin terjadi banyak
pelanggaran terhadap UUD 1945. Dari pengangkatan Presiden Soekarno sebagai
presiden seumur hidup sampai penetapan pidatonya sebagai Garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Dalam pidatonya pada hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1959,
Presiden Soekarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin yang beberapa bulan
kemudian dikenal dengan Manipol (manifesto politik).
Presiden Soekarno menyerukan untuk dibangkitkannya kembali
semangat revolusi, keadilan sosial, dan pelengkapan kembali lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkelanjutan. Pada tahun 1960
kaidah yang samat semakin rumit karena ditambahkannya kata USDEK
yang merupakan singkatan dari UUD 1945, Sosialis-Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Manipol-USDEK diperkenalkan di segala
tingkat pendidikan dan pemerintahan, dan pers diharuskan mendukungnya.
Penyebaran ideologi Manipol-USDEK ini menyebar sampai pelosok pegunungan. Bagi
redaktur yang tidak mendukungnya, maka surat kabar mereka dilarang terbit seperti
redaktur yang pro-Masyumi dan PSI. Antara tahun 1959—1961 terjadi penurunan
sepertiganya, dari 1.039.000 eksemplar untuk 90 surat kabar menjadi 710.000
eksemplar untuk 65 surat kabar.
Penerapan Manipol-USDEK menimbulkan banyak kekacauan tidak
hanya dari segi ekonomi tetapi juga terhadap kebudayaan. Dalam bidang ekonomi
pemerintah mengambil kebijakan mendevaluasi mata uang rupiah sebesar 75 % pada
tanggal 25 Agustus 1858. Semua uang kertas Tp. 500,00 dan Rp. 1000,00
diturunkan menjadi sepersepuluhnya, dan deposito-deposito bank yang besar
jumlahnya dibekukan.
2.2 Dampak ke situasi politik
Era "Demokrasi Terpimpin" diwarnai kolaborasi antara
kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani Indonesia. Kolaborasi ini tetap gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak Indonesia kala
itu.
Pendapatan ekspor
Indonesia menurun, cadangan devisa
menurun, inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi politik Indonesia
menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.
2.3. Dampak ke situasi Ekonomi
Sebagai akibat dari dekrit
presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan
struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur
oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran
bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme).
Kebijakan-kebijakan
ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan
ekonomi Indonesia, antara lain :
1. Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp
100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2. Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
3. Devaluasi
yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih
tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.
Kondisi perekonomian carut marut pada masa itu. Salah satu
“penyakit kronis” yang melanda perekonomian Indonesia adalah inflasi. Tahun
1960 inflasi di Indonesia mencapai 21,53%, dan semakin parah pada penghujung
masa demokrasi terpimpin yang mencapai 660%.
Ironisnya, inflasi ini berasal dari perilaku pemerintah yang
melakukan pencetakkan uang dalam jumlah besar, demi membiayai proyek mercusuar
bung Karno (pembangunan komplek olahraga senayan, Monas, anggaran militer, dll)
dan proyek “sosialis” dari bung Karno (subsidi BBM yang mencapai 20% dari total
anggaran, subsidi berbagai komoditas secara berlebihan, dll). Pemerintah
membutuhkan uang yang sangat besar untuk membiayai proyek-proyek politik
tersebut, sehingga anggaran setiap tahun selalu defisit. Pada tahun 1966
pengeluaran negara mencapai 7 kali lipat dari pemasukan negara (Prawiro, 1966).
Untuk menutupi lubang defisit ini pemerintah mengambil jalan
pintas dengan melakukan pencetakan uang. Pencetakkan uang ini jelas menambah
jumlah uang yang beredar secara drastis. Pada tahun 1960, jumlah uang beredar
“hanya” Rp. 47 miliar. Jumlah ini melonjak drastis pada tahun 1966 yang
mencapai Rp. 5,3 Triliun. Banyaknya jumlah uang beredar ini menyebabkan banyak
orang yang memegang uang. Hal tersebut menyebabkan permintaan meningkat tajam
tanpa diikuti dengan kemampuan produksi. Sehingga terjadi kelebihan permintaan
dan kelangkaan. Efek selanjutnya mudah ditebak,
Inflasi
yang melambung tinggi. Indonesia juga terus mengalami defisit perdagangan
internasional. Pada tahun 1960, Indonesia masih mendapat surplus US $ 97 Juta, akan tetapi, pada tahun 1965,
Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran US $ 157 juta (Budiman dan
Soesatro, 2005).
Ada beberapa sebab ekonomi Indonesia semakin buruk, yaitu :
1. Menumpas pemberontakan PRRI/PERMESTA.
2. Adanya inflasi yang cukup tinggi ± 400.
3. Konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora).
4. Defisit negara mencapai 7,5 miliar rupiah.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi
kondisi ekonomi dan keuangan yang semakin buruk yaitu :
1. Mata uang bernilai nominal Rp.
500,00 didevaluasi menjadi Rp. 50,00 dan bernilai Rp. 1.000,00 dihapuskan.
2.
Semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000,00 dibekukan.
3.
Tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan Dekon ( Deklarasi Ekonomi) untuk mencapai
ekonomi yang bersifat nasinal, demokrasi, dan bebas dari sisa-sisa
imperialisme.
Usaha-usaha tersebut mengalami kegagalan karena :
1. Penanganan ekonomi tidak rasional, lebih bersifat politis, dan tidak ada kontrol.
2. Tidak adanya ukuran yang objektif dalam menilai suatu usaha atau hasil orang.
1. Penanganan ekonomi tidak rasional, lebih bersifat politis, dan tidak ada kontrol.
2. Tidak adanya ukuran yang objektif dalam menilai suatu usaha atau hasil orang.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pada masa demokrasi terpimpin banyak timbulnya
dampak-dampak atau permasalahan-permasalahan, seperti:
1.
Dampak ke situasi politik
Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi politik Indonesia
menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.
2.
Damapak ke situasi
ekonomi.
Kondisi perekonomian carut marut
pada masa demokrasi terpimpin.
Salah satu “penyakit kronis” yang melanda perekonomian Indonesia adalah
inflasi. Tahun 1960 inflasi di Indonesia mencapai 21,53%, dan semakin parah
pada penghujung masa demokrasi terpimpin yang mencapai 660%.
DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs. M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008. PT SERAMBI
PUSTKA.
Ghaffar, Afan, Politik Indonesia Transisi
Menuju Memokrasi, 1999, Pustaka Pelajar
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1959-1966)
No comments:
Post a Comment