Thursday 26 March 2015

MAKALAH | dAMPAK DEMOKRASI TERPIMPIN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  latar Belakang
Ditengah-tengah  krisis  tahun  1957, di ambil  langkah-langkah  pertama  menuju  suatu  bentuk  yang  oleh  Soekarno  dinamakan  “Demokrasi Terpimpin”. Demokrasi  terpimpin  didominasi  oleh  kepribadian  Soekarno, walaupun  prakarsa  pelaksanaannya  dia  ambil  bersama-sama  dengan  angkatan  pemimpin  angktan bersenjata. Kekuatan-kekuatan  lainnya  berpaling  kepada  Soekarno  untuk  mendapatkan  bimbingan, legitimasi, atau  perlindungan. Dengan  menampilkan  dirinya  kedepan  dalam  krisis  tahun  1957, maka  ia  didukung  oleh  para  pemimpin  lainnya  dalam  mempertahankan  posisi  sentral.
Semua  yang  dilakukan  itu  adalah  untuk  mendukung  suatu  keseimbangan  politik  yang  bahkan  tidak  dapat  ditegakkan  oleh  Soekarno, suatu  keseimbangan  politik  yang  merupakan  kompromi  antara  kepentingan-kepentingan  yang  tidak  dapat  dirujukkan  kembali  dan  oleh  karenanya  tidak  memuaskan  semua  pihak. Sedangkan  janji-janji  dari  demokrasi  terpimpin  adalah  palsu. Soekarno  sendiri  hanya  memiliki  sedikit  kekuatan  yang  terorganisasi  dan  harus  manipulasi, mengancam, serta  membujuk  orang-orang  kuat  lainnya. Intrik  persekongkolan  menjadi  lazim  dalam  politik. Elit  politik  menjadi  himpunan  kelompok-kelompok  yang  mengelilingi  orang-orang  berpengaruh. System  keuangan  dan  system  hokum  menjadi  semakin  sewenang-wenang  dan  tidak  menentu  karena  hancurnya  norma-norma  birokrasi.  Pemerintah  daerah  semakin  mengandalkan  para  petani  sebagai  tenaga  kerja  yang  tidak  digaji.
Mustahil  bahwa  demokrasi  terpimpin  diilhami  secara  sadar  ataupun  bawah  sadar  oleh  prinsip-prinsip  asli  negara  dari  masa  prakolonial. Tradisi-tradisi  politik  jawa  sudah  diubah  sedemikian  oleh  kolonialisme  Belanda, sehingga  pada  tahun  1950-an  tidak  ada  satu  pun  yang  masih  tersisa  selain  legenda-legenda  yang  romantis. Peranan  militer  secara  pribadi  dari  raja-raja  prakolonial  Indonesia  tidak  kita  jumpai  dalam  demokrasi  terpimpin. Sebagai  satuan-satuan  kecil  prajurit  professional  dan  pasukan-pasukan  besar  yang  dihimpun  dari  kalangan  petani  kini  terdapat  satuan  tentara  tetap  yang  besar  dibawah  panglima-panglimanya  sendiri. Kurangnya  pengalaman  dan  kekuatan  Soekarno  secara  pribadi  dibidang  militer  sama  dengan  ketidaktahuannya  dibidang  ekonomi  yang  merupakan  bencana  besar.
Soekarno  menginginkan  revolusi  yang  berkesinambungan  dan  mobilisasi  massa, dan  disini  kelihatan  dampak  dari  pergerakan  nasional, pendudukan  Jepang, dan  Revolusi, yaitu  pengaruh-pengaruh  yang  lebih  mendasar  daripada  kerajaan-kerajaan  Jawa  yang  sidikit  diketahui  Soekarno. Meledaknya  jumlah  penduduk  serta  terjadinya  revolusi  dibidang  komunikasi  dan  teknologi  membuat  potensi  munculnya  suatu  tatanan  dalam  negeri  yang  otoriter  semakin  jauh  lebih  besar. Rakyat  dapat  diamati, diberi  informasi, dimobilisasi, atau  dipaksa  dengan  lebih  berhasil  daripada  di setiap  kerajaan  dahulu. Ketika  Soekarno  dan  kekuatan-kekuatan  politik  lainnya  meraba-raba  jalan  mereka  kearah  tatanan  yang  lebih  otoriter, maka  dalam  beberapa  hal  mereka  kembali  ke zaman  dahulu. Tampak  jelasa  bahwa  pada  tahun  1957, partai-partai  politik  berada  pada  posisi  defensive, tetapi  rasa  saling  bermusuhan  terlalu  berat  bagi  mereka  untuk  bekerja  sama  dalam  mempertahankan  system  parlementer.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan dari pembahasan diatas, maka rumusan masalah dibawah ini adalah bagaimanakah timbulnya berbagai permasalahan-permasalahan atau dampak-dampak yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin?
1.3  Tujuan
1.      Tujuan dari makalah ini supaya mengetahui dampak-damapk yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin, baik dari aspek politik maupun dari aspek ekonomi.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dampak-Dampak Demokrasi Terpimpin.
Setelah Sukarno mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 maka Indonesia memasuki babak baru dalam Sejarah. Dekrit Presiden menandai berdirinya rezim Demokrasi Terpimpin atau istilah lainnya adalah orde lama. Demokrasi Terpimpin didominasi oleh kehendak Presiden Soekarno, walaupun prakarsa pelaksanaannya diambil bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. Banyak pengamat yang menganggap Presiden Soekarno sebagai diktator ulung. Dia adalah ahli manipulator rakyat daan manipulator lambang-lambang. Dia dapat berpidato dengan mudah di depan khalayak ramai.
Dalam pelaksaaan Demokrasi Terpimpin terjadi banyak pelanggaran terhadap UUD 1945. Dari pengangkatan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup sampai penetapan pidatonya sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam pidatonya pada hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin yang beberapa bulan kemudian dikenal dengan Manipol (manifesto politik).
Presiden Soekarno menyerukan untuk dibangkitkannya kembali semangat revolusi, keadilan sosial, dan pelengkapan kembali lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkelanjutan. Pada tahun 1960 kaidah yang samat semakin rumit karena ditambahkannya kata USDEK yang merupakan singkatan dari UUD 1945, Sosialis-Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Manipol-USDEK diperkenalkan di segala tingkat pendidikan dan pemerintahan, dan pers diharuskan mendukungnya. Penyebaran ideologi Manipol-USDEK ini menyebar sampai pelosok pegunungan. Bagi redaktur yang tidak mendukungnya, maka surat kabar mereka dilarang terbit seperti redaktur yang pro-Masyumi dan PSI. Antara tahun 1959—1961 terjadi penurunan sepertiganya, dari 1.039.000 eksemplar untuk 90 surat kabar menjadi 710.000 eksemplar untuk 65 surat kabar.
Penerapan Manipol-USDEK menimbulkan banyak kekacauan tidak hanya dari segi ekonomi tetapi juga terhadap kebudayaan. Dalam bidang ekonomi pemerintah mengambil kebijakan mendevaluasi mata uang rupiah sebesar 75 % pada tanggal 25 Agustus 1858. Semua uang kertas Tp. 500,00 dan Rp. 1000,00 diturunkan menjadi sepersepuluhnya, dan deposito-deposito bank yang besar jumlahnya dibekukan.
2.2 Dampak ke situasi politik
Era "Demokrasi Terpimpin" diwarnai kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani Indonesia. Kolaborasi ini tetap gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak Indonesia kala itu.
Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi politik Indonesia menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.
2.3. Dampak ke situasi Ekonomi
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme).
Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
3. Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kondisi perekonomian carut marut pada masa itu. Salah satu “penyakit kronis” yang melanda perekonomian Indonesia adalah inflasi. Tahun 1960 inflasi di Indonesia mencapai 21,53%, dan semakin parah pada penghujung masa demokrasi terpimpin yang mencapai 660%.
Ironisnya, inflasi ini berasal dari perilaku pemerintah yang melakukan pencetakkan uang dalam jumlah besar, demi membiayai proyek mercusuar bung Karno (pembangunan komplek olahraga senayan, Monas, anggaran militer, dll) dan proyek “sosialis” dari bung Karno (subsidi BBM yang mencapai 20% dari total anggaran, subsidi berbagai komoditas secara berlebihan, dll). Pemerintah membutuhkan uang yang sangat besar untuk membiayai proyek-proyek politik tersebut, sehingga anggaran setiap tahun selalu defisit. Pada tahun 1966 pengeluaran negara mencapai 7 kali lipat dari pemasukan negara (Prawiro, 1966).
Untuk menutupi lubang defisit ini pemerintah mengambil jalan pintas dengan melakukan pencetakan uang. Pencetakkan uang ini jelas menambah jumlah uang yang beredar secara drastis. Pada tahun 1960, jumlah uang beredar “hanya” Rp. 47 miliar. Jumlah ini melonjak drastis pada tahun 1966 yang mencapai Rp. 5,3 Triliun. Banyaknya jumlah uang beredar ini menyebabkan banyak orang yang memegang uang. Hal tersebut menyebabkan permintaan meningkat tajam tanpa diikuti dengan kemampuan produksi. Sehingga terjadi kelebihan permintaan dan kelangkaan. Efek selanjutnya mudah ditebak,
Inflasi yang melambung tinggi. Indonesia juga terus mengalami defisit perdagangan internasional. Pada tahun 1960, Indonesia masih mendapat surplus US $ 97 Juta, akan tetapi, pada tahun 1965, Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran US $ 157 juta (Budiman dan Soesatro, 2005).
Ada beberapa sebab ekonomi Indonesia semakin buruk, yaitu :
1. Menumpas pemberontakan PRRI/PERMESTA.
2. Adanya inflasi yang cukup tinggi ± 400.
3. Konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora).
4. Defisit negara mencapai 7,5 miliar rupiah.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi kondisi ekonomi dan keuangan yang semakin buruk yaitu :
1. Mata uang bernilai nominal Rp. 500,00 didevaluasi menjadi Rp. 50,00 dan bernilai Rp. 1.000,00 dihapuskan.
2. Semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000,00 dibekukan.
3. Tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan Dekon ( Deklarasi Ekonomi) untuk mencapai ekonomi yang bersifat nasinal, demokrasi, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme.
Usaha-usaha tersebut mengalami kegagalan karena :
1. Penanganan ekonomi tidak rasional, lebih bersifat politis, dan tidak ada kontrol.
2. Tidak adanya ukuran yang objektif dalam menilai suatu usaha atau hasil orang.
  



BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
            Pada masa demokrasi terpimpin banyak timbulnya dampak-dampak atau permasalahan-permasalahan, seperti:
1.      Dampak ke situasi politik
Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi politik Indonesia menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.

2.      Damapak ke situasi ekonomi.
Kondisi perekonomian carut marut pada masa demokrasi terpimpin. Salah satu “penyakit kronis” yang melanda perekonomian Indonesia adalah inflasi. Tahun 1960 inflasi di Indonesia mencapai 21,53%, dan semakin parah pada penghujung masa demokrasi terpimpin yang mencapai 660%.




DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs. M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008. PT SERAMBI
                       PUSTKA.
Ghaffar, Afan, Politik Indonesia Transisi Menuju Memokrasi, 1999, Pustaka Pelajar
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1959-1966)

No comments:

Post a Comment