KONSEP PENDIDIKAN DILIHAT DARI
SEGI PSIKOLOGIS
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Pendidikan
bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkan potensi-potensi
kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi
manusia . Tugas mendidik hanya dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, jika
pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa itu sebenarnya. Manusia
memiliki ciri khas yang secara prinsip berbeda dari hewan. Ciri khas manusia
yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang
disebut dengan hakikat manusia.
Disebut sifat
hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia
dan tidak terdapat pada hewan. Sifat hakikat manusia diartikan sebagai
ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil membedakan manusia dan hewan.
Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira
bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan
yang dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air
karena perubahan temperature lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran
rekayasa pendidikan orang hutan dapat dijadikan manusia.
Yang lebih
istimewa ialah bahwa manusia di karuniai kemampuan untuk membuat jarak diri
dengan akunya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugrah yang luar biasa, yang
menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk
menyempurnakan diri.
1.2
Rumusan
masalah
-
Apa yang melatar belakangi hubungan
pendidikan dengan psikologis?
-
Bagaimana hubungan pendidikan dari sudut
psikologis?
BAB
II
LANDASAN
PSIKOLOGIS
1.3
Manusia
Dalam Tinjauan Psikologis
Manusia
merupakan subjek dalam kehidupan, sebab sebagai makhluk ciptaan Tuhan dialah
yang selalu melihat, bertanya, berpikir dan mempelajari segala sesuatu yang ada
dalam kehidupannya. Manusia bukan hanya tertarik mempelajari apa yang ada pada
lingkungannya atau sesuatu di luar dirinya tetapi juga hal-hal tentang dirinya.
Dengan kata lain manusia ingin mengetahui keadaan manusia sendiri, manusia
menjadi objek study dari manusia.
Landasan
psikologis merupakan dasar-dasar pemahaman dan pengkajian sesuatu dari sudut
karekteriaristik dan prilaku manusia, khususnya manusia sebagai individu.
Dasar-dasar pemahaman dan pengkajian tersebut diambil dari suatu cabang ilmu yang
disebut psikologi.
Secara
garis besar manusia terdiri atas aspek jasmani dan rohani atau aspek fisik dan
psikis. Walaupun dapat disebutkan berpisah secara terpisah, tetapi dalam
kenyataannya kedua aspek itu tidak dapat dpisahkan, keduanya merupakan satu
kesatuan, yaitu jasmani-rohani atau kesatuan psiko-fisik. Memang perkataan
individu berasal dari bahasa Yunani “in dividuum” yang berarti sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan. Selama berstatus sebagai individu (manusia itu masih
hidup) maka aspek fisik dan psikis itu membentuk satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, dan akan terpisah apabila individu telah meninggal.
Individu
memiliki satu ciri yang esensial, yaitu bahwa dia selalu berprilaku atau
melakukan kegiatan. Individu adalah individu selama ia masih melakukan kegiatan
atau berprilaku. Apabila tidak, maka dia bukan individu.
Prilaku
(behafior) atau kegiatan (activity) adalah segala manifestasi
hayati atau manifestasi hidup individu, yaitu semua cirri-ciri yang menyatakan
bahwa individu manusia itu hidup. individu tidak berada dalam ruangan hampa, ia
selalu berada dalam lingkungan tertentu. Demikian halnya dengan perilaku
individu, selalu berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan. Lingkungan
yang berpengaruh ini tidak harus selalu
berada di dekat atau sekitar individu, dapat juga meliputi hal-hal yang jauh
atau hal-hal yang telah lama berlalu.
1.4
pengertian
psikologis
Secara harfiah
memang psikologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa,
sebab kata psikologis berasal dari bahasa Yunani,psyche berarti jiwa,roh atau
sukma,sedangkan logy atau logos berarti ilmu atau pengetahuan. Bagi pendapat
ahli umumnya sepakat bahwa psikologi
tidak lagi diartikan sebagai ilmu jiwa, tetapi sebagai ilmu tetapi sebagai ilmu
yang mempelajari perilaku atau kegiatan individu.
Terhadap
pandangan lama, yaitu psikologi sebagai ilmu jiwa ada beberapa keberatan.
Pertama, jiwa adalah suatu hal yang sukar sekali atau tidak dapat diamati
secara langsung. Pada manusia jiwa itu selalu berada bersama badan, oleh karena
itu kita tidak dapat hanya mempelajari jiwanya saja tanpa kesatuannya dengan
badan. Kedua, jiwa adalah sesuatu yang ada, akan tetapi tidak dapat diteliti
secara langsung dengan menggunakan metode-metode biasa ( metode penelitian
ilmiah). Masalah jiwa adalah urusan tuhan, kepada kita hanya diberi pengetahuan
yang sedikit tentang hal itu. Ketiga mempelajari jiwa berarti hanya mempelajari
sebagaian saja dari individu atau manusia, dengan demikian studi tersebut tidak
lah lengkap.
Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap
proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan
pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan
belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan
yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena
itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan
bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan
kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan
yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan
belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni
persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen
utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang
dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan
fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang
besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.
B. Mendorong
Tindakan Belajar
Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki
sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada
orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang
bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan
pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan
semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan
yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup
tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi
pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik
menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi itu, semakin tidak
relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang
dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang
dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan
berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai
dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat
ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak
banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi
bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik
untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi
ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus
dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu
subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan
tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan
bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di
dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang
setiap hari mengepung kehidupan mereka.
Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak
sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya
apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi
pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan
kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar
dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar
mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai
kebutuhan-kebutuhannya.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu
tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan
kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan
dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning
to be”.
Adalah
tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya
tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari
sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks,
melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu
subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan
(Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator
dari seorang pendidik.
C.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Agar
fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan
dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan
atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis
(Depdikbud, 1985 :11).
1. Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material
pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi
individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses
dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi
pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat
kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari
tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan
lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam
yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar
padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari.
Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang
kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah
faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan
belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai
sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu
mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi
efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang
berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek
didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan
kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang
segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.
2. Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses
dan hasil belajar jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat
dibahas secara terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku
belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil
akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan,
ingatan, pikiran dan motif.
2.1. Perhatian
Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan
perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian
intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar.
Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui
strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan
teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role
playing), debat dan sebagainya.
Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing
perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan
adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari
dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan
untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan
lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian
spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada
perhatian yang disengaja.
2.2. Pengamatan
Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik
melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan
merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek
didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para
pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan
menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan
itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi
tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata
lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan
melalui penglihatan dan pendengaran.
Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan
penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat
merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat
peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan
sebagainya.
2.3. Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan
berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2) menyimpan kesan, dan
(3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan”
selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan
mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam
belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang
dipelajarinya. Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh
beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik
pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya
kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan
teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan
bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau
urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat
nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau
mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun
demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah
seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi.
Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian
berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan
tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut
kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang
dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini
dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek
didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah
dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah
satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi
ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan.
Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk
memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia
sekitar.
Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal
ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang
telah diberikan.
2.4. Berfikir
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya
ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri
seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses
penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi
seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat
bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan
berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan
(3) penarikan kesimpulan.
Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia
yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini
dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam
proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya
melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan
penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung
melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik
yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau
konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya
mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan
menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan
kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
2.5. Motif
Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang
mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi
timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat
menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif
ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik
sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar
membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih
baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik
tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya
motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui
penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik.
Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi
yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat
agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motif
ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni
menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap
subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus
membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat
grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya
tidak berada di bawah prestasi orang lain.
No comments:
Post a Comment